Berbicara apa adanya dan polos. Itulah yang hingga sekarang masih menjadi identitas penganut ajaran Samin atau yang dikenal dengan Sedulur Sikep. Jika orang awam yang belum pernah mengerti tabiat orang Sedulur Sikep yang terkesan lebih menutup diri dan biasa menjawab pertanyaan dengan kalimat singkat, maka mereka dibuatnya canggung. Tapi sebenarnya senjang pengertian itu terjadi, "hanya" karena masalah bahasa. Seperti halnya ajaran Samin yang menolak membayar pajak hingga sekarang, itu lebih pada persoalan bahasa. Pemahaman Sedulur Sikep mengenai pajak, adalah kependekan dari frasa "sipatan sing jejek" atau perilaku yang mulia, yang tidak mungkin diberikan kepada orang lain. "Sebenarnya tidak salah Sedulur Sikep yang menolak membayar pajak. Sekarang bentuk atau wujud pajak itu seperti apa? Sebagai contoh jika menarik kertas, maka wujudnya kertas kan terlihat," kata Gunretno, salah seorang pengikut ajaran Samin sambil mempratikkan menarik kertas yang ada di meja tamu. Lain halnya jika mereka minta uang, maka Sedulur Sikep akan memberi uang. Oleh karena itu, akhirnya pemerintah mengubah istilah pajak dengan iuran pendapatan daerah, yang harus dibayar setelah Sedulur Sikep memanen hasil pertanian. "Begitu halnya dengan istilah membeli dan menukar barang. Kedua istilah tersebut tidak ada perbedaan, hanya beda cara mengucapkan. Membeli barang sama artinya dengan menukar barang. Misal motor ditukar dengan uang, dengan kerbau, atau dengan yang lainnya. Sebenarnya sama antara membeli dengan menukar," kata Gunretno yang menggunakan bahasa Jawa ngoko. Warga Desa Baturejo Dukuh Bombong, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah ini menjelaskan, meski dalam sehari-hari Sedulur Sikep lebih banyak menggunakan istilah ijol atau saling menukar, saat mereka berinteraksi dengan orang luar mereka menggunakan istilah membeli. "Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti orang lain, untuk mempermudah komunikasi. Kami tidak memaksakan menggunakan istilah ijol, meski dalam hati kita berpikiran bahwa kalimat yang kami gunakan tidak tepat," katanya.Larangan berjualan Bukan hanya dalam bahasa, ajaran Samin juga menerapkan larangan berjualan. Ajaran Samin menyebutkan jika membeli barang seharga Rp1.000, maka harus menjual dengan harga Rp800. "Jika ada yang untung, maka ada yang rugi. Kejujuran juga sangat sulit didapat jika masih memikirkan untung dan rugi. Karena itu, Sedulur Sikep tidak ada yang berdagang, tetapi menjadi petani," katanya. Jual-beli bagi penganut Samin berpotensi untuk menyakiti orang lain, padahal dalam ajaran Samin terdapat hukum yang berbunyi Ojo drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput, mbedog colong maksudnya, Sedulur Sikep dilarang berhati jahat, berperang mulut, iri hati pada orang lain, dan dilarang mengambil milik orang lain. "Mengambil milik orang lain saja tidak boleh, apalagi sampai mencuri. Namun, karena di suatu tempat tidak semua pengikut ajaran Samin, maka tetap harus waspada dan hati-hati," katanya. Bantuan Pemerintah Ajaran Samin juga tidak pernah mengukur seseorang berdasarkan materi, tetapi dari tingkah lakunya. Oleh karena itu, Sedulur Sikep selalu menolak jika mendapat bantuan dari pemerintah, apalagi jika bantuan tersebut terkesan dipaksakan. Akibat sikap itu Sedulur Sikep dinilai terisolasi dan ketinggalan pemikiran, serta daerahnya termasuk desa tertinggal. "Karena pemaksaan bantuan itulah, kami melihat kami dijadikan obyek. Sedulur Sikep tidak tercatat di data Badan Statistik Kabupaten Pati, namun tercatat di Dinas Sosial," katanya. "Bantuan pemerintah pada tahun 2004 senilai Rp74 juta untuk perbaikan rumah dan pemberian ternak ditolak karena tidak sesuai dengan kebutuhan Sedulur Sikep. Kami Sedulur Sikep, masing-masing memiliki rumah dan ternak. Kami tidak membutuhkan bantuan tersebut," katanya. Namun, karena Dinsos yang memaksakan bantuan terkait dengan program kerja pengentasan desa tertinggal, maka muncul pro dan kontra di antara Sedulur Sikep. Dari 123 Sedulur Sikep, 97 menyatakan menolak dan 26 sisanya berpikiran bantuan bisa saja diterima, namun dimanfaatkan untuk perbaikan jembatan dan kepentingan umum. "Jika bantuan itu diatasnamakan Sedulur Sikep, seharusnya dipilih daerah mana yang lebih tidak mampu dan tertinggal, bukan justru memaksakan bantuan diberikan di Desa Baturejo saja," katanya. Ia menyebutkan, di Kecamatan Sukolilo Sedulur Sikep tersebar di empat desa, yakni Desa Baleadi Dukuh Galiran, Desa Kedumulyo Dukuh Curuk, Desa Sukolilo Dukuh Bowong, dan Desa Baturejo Dukuh Bombong. Akhirnya bantuan bagi Sedulur Sikep justru diterima oleh lurah setempat, dan hingga uang itu habis tidak ada pembangunan apapun. Berdasarkan pengalaman itu, pada tahun 2005, Sedulur Sikep meminta kepada bupati setempat untuk memfasilitasi pertemuan Sedulur Sikep dan sejumlah instansi terkait membahas hal tersebut. "Sedulur Sikep berharap tidak ada bantuan, meski akhirnya tetap saja ada bantuan yang dipaksakan," ujarnya. Pada tahun itu, sedulur Sikep dibantu dengan dua alat traktor dan bahan bangunan untuk perbaikan rumah, seperti pasir dan batu. Tapi lagi-lagi bantuan itu ditolak dan akhirnya mereka hanya menumpuk barang-barang tersebut. "Pada akhir Desember 2005 barang itu digunakan untuk perbaikan jalan," katanya. Tidak Sekolah Formal Meski Sedulur Sikep mengaku tidak menutup diri dengan perkembangan zaman, karena mereka memiliki motor, handphone, komputer, atau handycam, mereka bersikukuh tidak mau belajar di sekolah formal. Sedulur Sikep menilai sekolah formal bukan bagian dari kebutuhan mereka. Gunretno menjelaskan, sampai sekarang di Pati tidak ada Sedulur Sikep yang sekolah formal. Mereka beranggapan sekolah formal bertujuan untuk mengejar cita-cita seperti menjadi pegawai dan jabatan yang lain. Padahal Sedulur Sikep mengaku tidak membutuhkan itu. "Kami tidak ada yang berkeinginan menjadi pegawai. Karena itu tidak sekolah formal. Kami juga menjaga anak-anak agar tidak menonton televisi tapi membentuk kelompok belajar," ujarnya. Saat orang tua pergi ke sawah, di rumah hanya ada televisi. Jika ada kelompok belajar, maka perhatian mereka terhadap televisi akan berkurang, katanya. Sedulur Sikep mengajarkan pada anak-anak mereka pelajaran membaca, menulis, berhitung, dan yang utama adalah belajar bahasa Jawa, sejarah ajaran Samin, dan perkembangan dunia luar. Gunretno menceritakan, pada tahun 1987, pernah pemerintah memaksa menjalankan program Bebas Buta Aksara, Buta Angka, dan Buta Tulis atau B3B dengan posisi Sedulur Sikep ditempatkan sebagai murid. Karena dipaksakan, Sedulur Sikep mematuhi seluruh kesepakatan yakni, murid harus mematuhi seluruh hal yang diajarkan oleh guru. Bahkan setiap ucapan dan gerak guru ditirukan oleh Sedulur Sikep, sehingga akhirnya gurunya meninggal dunia diduga karena stres dan hingga kini tidak ada lagi program serupa. Bukan hanya soal pendidikan, pada tahun yang sama 1987 pemerintah memaksakan Sedulur Sikep mengikuti salah satu dari lima agama yang ada di Indonesia. Seorang pendeta dikirim ke Sedulur sikep untuk memberi ajaran. Karena tidak berkenan, saat pendeta mengajarkan semedi menghadap timur, sedulur sikep justru semedi menghadap barat. Semua tindakan sedulur sikep, memang terlihat menuruti permintaan. Namun, hal itu adalah bentuk perlawanan. "Akhirnya pendeta itu pergi dari wilayah Sedulur Sikep dan tidak pernah kembali. Kami agamanya adam, kok dipaksakan," katanya sambil menyebutkan saat ini kebanyakan dalam KTP Sedulur Sikep disesuaikan dengan agama yang ada di Indonesia. Karena kuatnya ajaran yang dipegang, jawaban Sedulur Sikep pun kadang di luar dugaan, seperti saat ditanya mengenai harapan, Gunretno justru menjawab harapan yang paling utama adalah keluarganya sehat dan berperilaku baik. "Jika kaitannya dengan negara, negara dasarnya adalah keluarga yang tenteram, rukun sehingga bisa mewujudkan tatanan yang baik. Jika setiap keluarga mampu melepas ketergantungan dan ketakutan seperti tidak memiliki pekerjaan karena dampak kebijakan pemerintah yang tidak berpihak rakyat kecil, maka akan tercipta situasi yang baik," katanya.(Nur Istibsaroh)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006