Rohani (45) masih ingat jelas ketika anak keduanya, Titin Suhartini, dirujuk dari klinik bersalin ke rumah sakit awal Oktober 2012. Titin mengalami mulas-mulas tanda hendak melahirkan pada pagi hari dan langsung dibawa ke klinik bersalin yang berada tidak jauh dari rumahnya.
"Bidan meminta untuk segera dirujuk ke rumah sakit. Alasannya sungsang," kata Rohani yang merupakan warga Desa Pasir Gadung, Tangerang, Banten itu.
Tak lama berada di rumah bersalin, dengan setengah memaksa bidan memintanya untuk dirujuk ke rumah sakit dengan alasan sungsang.
Bidan merujuknya ke sebuah rumah sakit. Begitu tiba di rumah sakit, dokter segera melakukan tindakan Sectio Caesaria (SC) tanpa terlebih dahulu berbicara dengan keluarga.
Rohani hanya bisa pasrah dengan apa yang terjadi. Operasi itu menghabiskan dana sebesar Rp7 juta. Bagi Rohani yang berjualan bunga di pasar, biaya operasi itu sangat besar.
Apalagi menantunya, Ahmadi, hanya bekerja sebagai buruh kontrak di pabrik konveksi. Perusahaan itu tidak menanggung biaya pengobatan.
Cucunya, Muhammad Irfan Daffa Syaputra, lahir selamat dan sehat. Rohani dan keluarga besarnya sangat gembira menyambut kehadiran cucu keduanya itu.
Namun kebahagian tidak berlangsung lama, selang 25 hari setelah melahirkan Titin meninggal dunia. Dokter menjelaskan penyebab kematiannya adalah infeksi pada rahim. "Kalau ingat itu, saya suka menangis sendiri," ujarnya lirih.
Warga Tangerang lainnya, Suryani (28), mengaku pernah dirujuk oleh yang sama saat melahirkan anak pertamanya. Alasan rujukannya adalah kehamilan yang sudah lewat waktu, padahal sebelumnya bidan klinik itu mengatakan kehamilannya tidak ada masalah.
Awalnya, Yani enggan dirujuk namun bidan bersikukuh harus dirujuk. Proses rujuk-merujuk berlangsung singkat, bidan meminta untuk segera membawa Yani ke rumah sakit tujuan dan ditangani dokter yang juga praktik di klinik itu.
Sesampai di rumah sakit, dokter di rumah sakit itu segera meminta untuk melakukan operasi caesar, tanpa melakukan observasi dahulu.
Kisah rujuk-merujuk saat persalinan tidak hanya dialami oleh Titin dan Suryani. Mantan pegawai Klinik menyebutkan rujuk-merujuk itu kerap terjadi.
Dari rata-rata tujuh persalinan setiap bulannya di klinik itu, sebanyak lima diantaranya dirujuk ke rumah sakit. "Sebagian besar memang dirujuk ke rumah sakit yang ada di dekat sini," ujarnya.
Sejak dua tahun terakhir jarang pasien melahirkan di klinik tersebut. Kalaupun ada pasien, itu pun adalah pasien yang sebelumnya operasi caesar di rumah sakit.
Fenomena Umum
Ketua Indonesia Hospital Watch (Inhotch) Fikri Suadu mengatakan fenomena rujuk-merujuk yang menimpa Titin dan Yani itu merupakan fenomena umum yang sudah lama terjadi.
Bidan merujuk pasien ke rumah sakit tertentu, untuk segera dilakukan tindakan operasi Sectio Caesar (SC). Dokter yang menanganinya pun, tak lain tak bukan adalah dokter kandungan yang juga praktek di klinik bidan tersebut.
Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi itu mengatakan idealnya sebelum melakukan operasi, minimal harus dilakukan tindakan observasi hingga 24 jam. Tidak langsung dilakukan operasi.
"Besar uang yang didapat bidan, tergantung biaya operasi. Jika biaya operasi Rp5 juta, ya bidan bisa mendapatkan uang sekitar Rp1 hingga Rp2 juta," jelas dia.
Praktik-praktik seperti itu kerap terjadi dan sangat merugikan masyarakat.
Salah satu penyebab fenomena itu adalah rendahnya kesejahteraan tenaga kesehatan. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyebutkan dokter-dokter di daerah penghasilannya Rp2,5 juta per bulan. Sementara gaji bidan di daerah hanya Rp1,5 juta dan bidan daerah terpencil Rp1,7 juta.
Pelopor gerakan Gentle Birth Untuk Semua (GBUS) Bidan Yesie Aprilia mengatakan Hari Perkiraan Lahir (HPL) bukan harga mati kelahiran bayi. HPL hanya sekedar perkiraan. Dia meyakini bahwa bayi mempunyai waktu sendiri untuk lahir.
"Bayi punya waktunya sendiri untuk lahir. Lagi pula, darimana kita tahu bahwa perhitungan HPL itu tepat?," tanya dia.
Yesie yang menetap di Klaten itu mengatakan seorang perempuan dengan kondisi kehamilan sungsang pun, masih mempunyai kesempatan untuk melahirkan secara normal asalkan memenuhi persyaratan seperti janin tidak terlalu besar, plasenta dalam keadaan baik, dan tidak ada kelainan.
Yesie mengakui sulit mencari tenaga kesehatan yang pro melahirkan secara normal terutama di kota besar. "Operasi caesar hanya memerlukan waktu singkat, tidak perlu menunggu lama untuk observasi," ujar perempuan cantik itu.
Kurang Komunikasi
Namun Ketua Pengurus Besar Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) dr Nurdadi Saleh SpOG melihat permasalahan itu disebabkan kurangnya komunikasi pada pasien.
Akibatnya, pasien sering berburuk sangka pada dokter dan menganggap tindakan yang dilakukan dokter semata karena uang.
Seharusnya, sebelum keluarga menandatangani "inform concent", mereka mendapat penjelasan lebih rinci mengenai kondisi pasien dan tindakan yang akan dilakukan serta dampaknya.
Operasi caesar mempunyai resiko tinggi seperti infeksi, nyeri maupun eboli udara yang menyebabkan kematian. Operasi caesar juga dapat menempatkan beberapa wanita pada peningkatan resiko psikologis.
Ketua Komisi IX Ribka Tjiptaning mengatakan adanya indikasi bisnis saat bidan merujuk pasiennya merupakan kisah lama yang masih tetap berlanjut hingga kini.
Perempuan yang akrab disapa Ning itu, menjelaskan seharusnya operasi caesar seharusnya dilakukan dikarenakan adanya indikasi medis bukan indikasi bisnis.
Bahkan keluarga Ning sendiri pernah mengalaminya yakni menantunya yang divonis oleh dokter kandungan harus melahirkan melalui operasi.
"Saya bingung, saya yang dokter mengecek tidak masalah apa-apa. Dan terbukti, menantu saya akhirnya melahirkan normal," jelas perempuan yang juga dokter itu. Ning menyayangkan jika ada dokter yang melakukan operasi caesar terhadap pasiennya tanpa adanya indikasi medis.
"Saat ini sebagian besar dokter sudah mulai kehilangan idealisme. Menurut dia, dokter seharusnya bekerja untuk kemanusiaan bukan karena ingin memiliki banyak uang," tegas dia.
Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengimbau para dokter tidak mudah memberi rekomendasi operasi caesar untuk pasiennya. Angka kelahiran melalui operasi caesar mencapai 60 persen dari rata-rata kelahiran yang mencapai 4,7 juta jiwa. Angka itu jauh melampaui batasan internasional yang diterapkan oleh WHO, yakni 26 persen.
Operasi caesar seyogyanya dilakukan jika kondisi pasien benar-benar tidak memungkinkan untuk melahirkan secara normal. Bukan karena setengah hati atau "dipaksa" oleh tenaga kesehatan.
Oleh Indriani
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2014