“Jika MK menolak, maka putusan MA yang memaknai umur 30 tahun calon gubernur saat pelantikan harus dinyatakan cacat dan tidak berlaku dikarenakan badan peradilan, yaitu MA dan MK, tidak berhak dan tidak berwenang untuk memaknai ketentuan umur 30 tahu
Jakarta (ANTARA) - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Jawa Tengah, Arkaan Wahyu Re A meminta agar Mahkamah Konstitusi (MK) mengatur syarat usia calon kepala daerah (cakada) terhitung pada saat pelantikan pasangan calon.
Permintaan itu merupakan petitum perbaikan yang diajukan Arkaan dalam perkara uji materi Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada). Perkara tersebut teregistrasi dengan nomor 89/PUU-XXII/2024.
“Pemohon telah memperbaiki permohonan ini berdasarkan nasihat majelis hakim pada sidang pendahuluan. Lalu, mengubah petitum umur 30 tahun calon gubernur menjadi [terhitung] pada saat pelantikan yang sebelumnya [dimohonkan] pada saat penetapan calon,” kata Arkaan dalam sidang perbaikan permohonan di Gedung I MK, Jakarta, Senin.
Pada sidang pendahuluan, Arkaan mengajukan petitum yang pada pokoknya ingin MK mengatur syarat usia cakada terhitung saat penetapan pasangan calon. Kemudian, pada sidang kali ini, ia mengubah petitum tersebut menjadi terhitung saat pelantikan pasangan calon.
Arkaan yang mengikuti persidangan secara daring itu mengatakan, perubahan petitum ini memberikan banyak alternatif kepada MK untuk memilih pemaknaan syarat umur cakada. Hal ini mengingat sejumlah perkara uji materi pasal yang sama tengah bergulir di MK.
“Perubahan petitum memberikan banyaknya alternatif pada MK untuk memilih satu di antara empat pilihan pemaknaan umur 30 tahun [calon gubernur/wakil gubernur], yaitu saat pendaftaran, saat penetapan, saat pencoblosan, dan saat pelantikan,” katanya.
Kendati mengubah petitumnya menjadi terhitung saat pelantikan pasangan calon, Arkaan mengaku lebih condong agar pasal dimaksud dimaknai terhitung saat penetapan pasangan calon.
“Meskipun pemohon mengubah petitum, tidak menjadi halangan hakim MK mengabulkan uji materi permohonan umur 30 tahun [calon gubernur/wakil gubernur] saat penetapan, dikarenakan terdapat pihak lain yang mengajukan uji materi dengan petitum umur 30 tahun pada saat penetapan calon gubernur,” katanya.
Pokok permohonan yang diperbarui Arkaan itu sama persis sebagaimana Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024, dalam perkara uji materi Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2021, yang diajukan oleh Partai Garuda.
Melalui putusan tersebut, MA menyatakan Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9 Tahun 2021 bertentangan dengan UU Pilkada dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga syarat usia paling rendah 30 tahun bagi calon gubernur/wakil gubernur dan 25 tahun bagi calon bupati/wakil bupati atau wali kota/wakil wali kota dimaknai terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.
Arkaan menyebut, ia mengubah petitumnya untuk mengantisipasi apabila MK menolak semua permohonan uji materi Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada dengan alasan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang menjadi wewenang pembentuk undang-undang.
“Jika MK menolak, maka putusan MA yang memaknai umur 30 tahun calon gubernur saat pelantikan harus dinyatakan cacat dan tidak berlaku dikarenakan badan peradilan, yaitu MA dan MK, tidak berhak dan tidak berwenang untuk memaknai ketentuan umur 30 tahun calon gubernur,” ucapnya.
Lebih lanjut, ia berharap jika MK pada akhirnya menolak semua opsi uji materi Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada, hakim konstitusi berkenan memberikan pertimbangan yang menyatakan Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 cacat dan batal demi hukum.
“Sehingga siapa pun, termasuk Kaesang (Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia Kaesang Pangarep, red.), tidak dapat mencalonkan diri sebagai gubernur apabila belum berumur 30 tahun, maksimal pada saat penetapan pasangan calon,” ujar Arkaan.
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024