Padang (ANTARA) -
FOF, remaja 16 tahun, harus rela menjadi orang cacat seumur hidup akibat tawuran. Tangan kirinya sebatas pergelangan putus kena tebas samurai. Ibu jari tangan kanannya juga kena luka bacok. Entah bisa pulih entah tidak.

Tidak terbayang bagaimana perasaannya saat mengetahui tidak lagi memiliki tangan yang lengkap. Mungkin di antara tangisnya, ada rasa sesal mengentak-entak dada. Entah bagaimana masa depannya nanti.

Tidak terbayang pula perasaan orang tuanya  yang telah susah payah melahirkan dan membesarkannya. Orang tua yang juga akan menanggung pedih tiap kali memandang tangan anaknya yang kutung.

Rasa iba, emosi bercampur marah terasa membuncah di dada saat melihat FOF terbaring tak berdaya di tempat tidur rumah sakit. Terbayang bila hal yang sama terjadi anak-anak lain. Anak-anak yang tidak bersalah. Bocah-bocah yang punya mimpi besar namun harus buyar karena jadi korban tawuran.

Sayangnya, FOF bukan sepenuhnya sebagai korban tawuran. Kepolisian Sektor (Polsek) Lubuk Begalung, Padang, memastikan bocah yang baru menginjak masa remaja itu adalah salah satu peserta tawuran yang terjadi di Jembatan Emilindo, Lubuk Begalung, Padang, pada Sabtu (10/8) sekitar pukul 03.30 WIB. Hanya malang, ia kalah. Tangannya tertebas. Ia jadi orang cacat.

Malangnya lagi, pada beberapa media sosial yang memuat informasi tawuran itu, tidak ada komentar simpati dari warganet. Yang ada malah dipenuhi umpatan dan caci. Begitu geramnya warga Padang dengan para pelaku tawuran.

Tawuran di Kota Padang, Sumatera Barat, memang telah menjadi sangat mengerikan. Bocah-bocah usia sekolah yang seharusnya menjadi harapan masa depan bangsa itu kini seolah menjelma menjadi monster brutal tidak berperasaan. Rasa kemanusiaan mereka seperti hilang saat telah memegang senjata tajam. Tidak ada rasa iba saat senjata itu menebas tubuh lawannya.

Bisa jadi, bekas darah pada senjata tajam adalah sebuah kebanggaan bagi bocah-bocah itu. Mereka yang senjatanya berlumur darah setelah tawuran mendapatkan prestise dalam kelompok. Diagungkan. Darah manusia yang tertumpah itu, yang seharusnya mengetuk rasa kemanusiannya itu, bagi mereka malah menjadi pupuk. Menumbuhkan rasa superioritas yang tidak jelas. Menumbuhkan jiwa yang beringas.​​​​​​

Mirisnya, gerombolan bocah yang menggunakan sepeda motor dan senjata tajam itu, ketika tidak mendapatkan lawan, juga menargetkan orang yang pulang malam secara acak. Tidak jarang masyarakat umum yang pulang kerja tengah malam, dikejar gerombolan bocah hingga terjadi kecelakaan.

Sebagai Generasi Z (Gen Z) yang sangat akrab dengan dunia digital, dunia internet, bocah-bocah pelaku tawuran itu bukannya bodoh. Mereka melek informasi. Banyaknya literatur di mesin pencarian membuat mereka sangat memahami bahwa anak-anak pada usia mereka (di bawah 18 tahun), tidak mudah untuk dihukum secara pidana. Ada UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang bisa menjadi tameng.

UU itu membuat mereka seolah tidak kenal takut. Mereka merasa kebal hukum. Meskipun tertangkap, paling-paling tindakan anarkis mereka hanya akan digiring pada perilaku kenakalan remaja, bukan pidana. Sanksi paling tinggi hanya sebatas dipanggil orang tua, tanda-tangan surat pernyataan untuk tidak mengulangi, pembinaan, lalu bebas.

Tertangkap, masuk kantor polisi, lalu melenggang bebas, juga menjadi sebuah kebanggaan bagi mereka. Seakan menjadi pembuktian bahwa tindakan mereka yang meresahkan, yang berpotensi menghilangkan nyawa orang lain, benar-benar tidak bisa dipidana.

Sanksi yang sangat ringan itu membuat jumlah bocah yang masuk jadi anggota geng untuk membuktikan keberanian juga bertambah.

Memberikan sanksi tegas, kadang bagai makan buah simalakama. Selain ada UU Perlindungan Anak, sering kali juga terbentur pada pembelaan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang hukum atau hak asasi manusia. Rumit.

Padahal, menurut sosiolog Universitas Negeri Padang (UNP), Erianjoni, aksi tawuran itu jika tidak dikendalikan bisa meningkat pada perilaku menyimpang seperti aksi begal, memalak, bahkan merampok pada objek atau sasaran tertentu seperti minimarket, kafe, dan unit usaha lainnya yang buka 24 jam.

Respons pemda
 
Pemerintah daerah di Sumatera Barat bukannya lepas tangan terhadap maraknya perilaku tawuran yang semakin meresahkan itu. Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi, misalnya, berulang-ulang minta orang tua di kota ini aktif mengawasi aktivitas anak, terutama saat malam hari. Karena berdasarkan data dari kepolisian, tawuran paling sering terjadi lewat tengah malam.

Anak-anak usia sekolah idealnya tidak diperbolehkan lagi keluar tengah malam tanpa kepentingan jelas. Orang tua yang memiliki anak usia sekolah harus memastikan kegiatan anak jika belum pulang di atas pukul 22.00 WIB.
 
Anak-anak yang tidak pulang pada jam itu, perlu dipantau karena berpotensi akan ikut tawuran. Apalagi jika keluar menggunakan sepeda motor  karena hampir semua kasus yang terjadi, pelaku selalu menggunakan sepeda motor untuk menjangkau lokasi tawuran atau mengejar target.

Artinya, orang tua sebenarnya memiliki dua indikator yang wajib diwaspadai agar anak tidak ikut terlibat tawuran. Anak keluar lewat pukul 22.00 WIB dan menggunakan motor. Jika dua indikator ini terpenuhi, orang tua wajib untuk mengantisipasi.

Jika tidak, jangan menyalahkan pihak lain bila anak terluka atau tewas dalam tawuran atau tertangkap dan dipidana karena melukai orang lain.

Penjabat Wali Kota Padang Andree Algamar juga mengeluarkan surat edaran untuk mengantisipasi tawuran sejak mulai dari lingkungan sekolah. Dalam SE Nomor 100.3.4.3/63-43/BU-PDG/2024 itu disampaikan pihak sekolah harus menyosialisasikan pada peserta didik dan orang tua siswa terkait larangan menggunakan sepeda motor ke sekolah bagi siswa yang belum memenuhi syarat, membawa dan merokok di lingkungan atau luar sekolah.

Kemudian, larangan membawa senjata tajam, melakukan tindakan asusila, melakukan perkelahian, pemerasan, perundungan, dan tawuran di dalam dan luar lingkungan sekolah.
 
Bagi siswa yang melanggar akan dikenai sanksi tegas mulai dari teguran, sanksi hukum sesuai UU hingga dikembalikan kepada orang tua atau dikeluarkan dari sekolah.

Pihak sekolah juga diminta melakukan razia rutin bersama pihak terkait termasuk kepolisian sebagai tindak lanjut atas surat edaran itu.

Sanksi tegas bagi pelaku tawuran
 
Para pelaku tawuran, meski masih di bawah umur, harus diberikan sanksi tegas yang bisa memberikan efek jera, terutama pada pelaku yang telah berulang kali tertangkap. Kalau perlu diberikan sanksi pidana.

Jangan biarkan mereka merasa tindakan yang bisa menghilangkan nyawa orang lain itu, akan aman-aman saja karena dinaungi oleh UU Perlindungan Anak.

Sanksi yang diberikan harus bisa memberikan kesadaran bahwa tawuran dengan senjata tajam yang mereka lakukan itu bukan lagi dalam ranah kenakalan remaja, melainkan kejahatan serius.
 
Tindakan tegas yang diambil Polresta Padang menindaklanjuti tawuran di Jembatan Emilindo, Lubuk Begalung, Padang pada Sabtu (10/8) sekitar pukul 03.30 WIB, yang menyebabkan salah satu pelaku tawuran mengalami cacat permanen, patut diapresiasi.

Tim yang diturunkan Polresta Padang dan Polsek Lubek Begalung bergerak cepat menangkap 10 pelaku tawuran. Enam dari 10 pelaku tawuran bersenjata tajam itu akan diproses secara pidana dengan Undang-undang Darurat Nomor 12/1951 atas kepemilikan senjata tajam.

Senjata tajam yang digunakan untuk tawuran, antara lain, celurit, katana, dan parang panjang dengan ukuran bervariasi.

Tindakan tegas disertai dengan kebijakan yang jelas dari pemerintah daerah bisa memberantas hingga tuntas tawuran di Kota Padang.

Kemenangan dalam tawuran tidak pernah bisa menyembuhkan luka dan duka. Apalagi mengembalikan nyawa manusia.

Editor: Achmad Zaenal M
 

 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024