Jakarta (ANTARA News) - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di pasar spot antar-bank Jakarta, Selasa pagi, merosot hingga menembus level Rp9.150 per dolar AS menjadi Rp9.150//9.155 dibanding penutupan hari sebelumnya pada posisi Rp9.105/9125 per dolar AS atau turun 45 poin. "Penurunan rupiah itu merupakan yang terbesar sepanjang bulan ini, sehingga bisa mencapai level Rp9.150 per dolar AS," kata Analis Valas PT Bank Mega Tbk, Adrian, di Jakarta, Selasa. Menurut dia, rupiah terpuruk, karena berbagai faktor eksternal yang menekan, antara lain kenaikan harga minyak mentah dunia akibat pemogokan di Nigeria dan penundaan peluncuran anjungan minyak raksasa milik BP di Teluk Meksiko. Meski demikian, pelaku asing cenderung hati-hati bermain di pasar menjelang pertemuan bank sentral AS (The Fed) pada hari Rabu nanti yang diperkirakan akan membahas mengenai tingkat suku bunga AS. The Fed diperkirakan tidak akan menaikkan suku bunga AS, meski inflasi cenderung menguat, namun pemerintah berusaha menekan inflasi dengan tetap mempertahankan tingkat bunga tersebut, tuturnya. Rupiah, lanjut Adrian, seharusnya menguat, melihat pasar saham Asia yang menguat, karena aksi beli investor di pasar terutama pada sektor perbankan. Namun membaiknya pasar saham Asia dan mata uang yen, Jepang terhadap dolar AS setelah negara-negara industri maju (G7) menyatakan akan melakukan apresiasi yen untuk mendukung mata uang Jepang itu menguat. Karena menguat atau merosotnya suatu mata uang itu, menunjukkan kinerja suatu negara itu baik atau buruk, katanya. Dia mengatakan rupiah ketika pasar dibuka langsung melemah di level Rp9.140 per dolar AS, bahkan menjelang penutupan sesi pagi kembali merosot hingga sampai Rp9.150 per dolar AS yang akhirnya ditutup pada level tersebut. Kuatnya tekanan pasar pada sesi itu, maka diperkirakan pada penutupan nanti, rupiah masih tetap terpuruk dan akan bisa melampau level Rp9.150 per dolar AS, katanya. Kami memperkirakan rupiah akan terus terpuruk hingga melewati angka batas psikologis Rp9.150 per dolar As, melihat tekanan pasar semakin besar, meski indikator ekonomi makro Indonesia cukup besar, katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2006