Jakarta (ANTARA) - Banyak orang mungkin menganggap layanan kesehatan daring (telemedicine) merupakan solusi di era pandemi semata untuk pemeriksaan dokter, karena saat itu ruang-ruang publik mendadak sunyi. Nyaris tidak ada lagi kerumunan, karena semua aktivitas dilakukan di rumah lewat layar ponsel atau komputer.

Sementara kini, semua sudah kembali normal. Pusat-pusat keramaian mulai berdenyut kembali, meski tidak seramai dahulu, sebelum pandemi. Layanan kesehatan juga sudah bisa dilakukan secara luring (offline), meski sekarang sudah bisa hybrid.

Telemedicine terus berkembang dan membentuk cara kita mendekati layanan kesehatan, bahkan sampai saat ini di tahun 2024.

Telemedicine menawarkan panduan medis dari penyedia dan isi ulang resep, semuanya dari dokter. Pelayanan yang mengutamakan kenyamanan dari rumah, biaya pemeriksaan yang lebih hemat, dengan penilaian medis yang tidak kalah baik.

Kemajuan teknologi, perubahan preferensi pasien dan dokter, undang-undang baru, dan perubahan model bisnis serta cara orang bekerja juga berkontribusi terhadap permintaan untuk menyediakan layanan kesehatan bagi masyarakat di tempat mereka tinggal.

Makin banyak bukti yang menunjukkan bahwa telemedicine adalah pilihan yang baik bagi banyak pasien dan dalam banyak situasi. Beberapa perubahan kebijakan medicare dan medicaid yang memfasilitasi telemedis pada masa awal pandemi telah dijadikan permanen. Lantas juga melahirkan beberapa perusahaan telemedicine terbaik.


Demam telemedicine

Untuk menentukan perusahaan telemedicine terbaik, Majalah Forbes membuat pemeringkatan berdasarkan biaya keanggotaan, jenis layanan yang ditawarkan, dan ketersediaan penyedia layanan. Untuk perusahaan terbaik dalam hal perawatan, Forbes menempatkan perusahaan Telemedicine HealthTap.

Didirikan pada tahun 2010 dengan kantor pusat di Palo Alto, HealthTap merupakan layanan telemedis paling ternama di Semenanjung San Fransisco. Biaya keanggotaannya 15 dolar AS per bulan, tanpa asuransi. Harga per sekali layanan adalah 44 dolar AS untuk beberapa layanan, seperti kesehatan perempuan, anak dan pria, kesehatan wisata (travel medicine), layanan darurat, hingga manajemen kondisi kronis.

HealthTap juga menggunakan kecerdasan buatan (AI) dan machine learning untuk membantu pengguna mengidentifikasi potensi penyakit mereka dan kemungkinan penyebabnya.

Sementara untuk kategori "best doctor choice", Forbes menempatkan perusahaan telemedicine yang dibangun David Goldhil tahun 2018, SESAME. Ini merupakan platform telemedicine, dimana individu dapat memesan dan membayar sesi terapi langsung melalui penyedia, dengan harga transparan. Ide awalnya adalah membangun layanan kesehatan yang sesungguhnya dan menargetkannya bagi masyarakat Amerika yang peduli dengan besarnya biaya layanan kesehatan mereka. 

Sesame telah merawat ratusan ribu pasien sejak diluncurkan dan mengklaim telah menghemat lebih dari 10 juta dolar AS total biaya perawatan kesehatan.

Di Indonesia, diskursus mengenai telemedicine dalam layanan kesehatan sudah dimulai sejak 1990-an. Isu ini menjadi menarik ketika dalam penerapannya ternyata mengalami berbagai tantangan, seperti keterbatasan infrastruktur, kapasitas SDM yang kurang, permasalahan regulasi, dan ethical practice. Namun demikian, telemedicine sebagai salah satu bentuk transformasi digital kesehatan dinilai dapat menjadi pilihan jawaban atas berbagai masalah yang dihadapi dalam pelayanan kesehatan.

Sama seperti di Negeri Paman Sam, telemedicine berkembang pesat di Indonesia saat pandemi COVID-19. Sejak awal pandemi, pemerintah mendorong penggunaan layanan telemedicine untuk menekan risiko penularan penyakit hingga penggunaan teknologi ini sempat melonjak hingga 600 persen dari sebelum adanya pandemi.

Perusahaan konsultan teknologi untuk perawatan kesehatan Healthadvances memetakan adopsi telemedicine sebelum dan sesudah COVID-19. Berdasarkan penyedia, adopsi pengguna, jumlah perusahaan yang tersedia, platform telemedicine, panduan regulasi, dan reimbursement, Indonesia dan Jepang disebut sebagai negara dengan adopsi lebih cepat dibandingkan Korea Selatan dan Hong Kong.


Problem regulasi

Telemedicine awalnya digunakan untuk pertolongan pertama mencegah konsultasi medis tatap muka selama pandemi. Kenyamanan dan keamanan yang diberikan serta biaya minim, lantas membuat telemedicine banyak diminati.

Sayangnya, kebutuhan konsultasi medis secara daring belum disertai kesiapan baik dari pemangku kebijakan, penyedia layanan, maupun penggunanya sendiri (literasi digital kesehatan). Akibatnya perkembangan telemedicine malah melahirkan persoalan baru, khususnya dalam hal perlindungan hukum data pribadi pasien.

Perlindungan hukum data pribadi dalam pelayanan praktik kedokteran melalui telemedicine di Indonesia juga masih belum optimal. Pasal 15 Undang-Undang ITE yang mengatur tanggung jawab pengamanan data pada penyelenggara sistem elektronik, misalnya, masih merupakan norma samar (vouge normen) yang membutuhkan kepastian hukum pada pengaturan telemedicine.

Begitu pula Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang merupakan aturan dan ketentuan lanjutan dari UU Nomor 17 Tahun 2024 tentang Kesehatan ternyata hanya mengatur telemedicine antarfasilitas pelayanan kesehatan. Tidak sampai pada telemedicine antara dokter dengan pasien, khususnya soal perlindungan hukum bagi pasien maupun data pribadi dan rekam medisnya.

Apalagi pascakejadian peretasan Pusat Data Nasional (PDN), beberapa waktu lalu, beberapa aturan terkait keamanan data pasien perlu dibuat lebih rinci. Pertama, regulasi yang berhubungan dengan instrumen telekomunikasi dan alat yang digunakan dalam pelaksanaan pelayanan telemedicine. PP Nomor 28 tahun 2024 kurang memberikan spesifikasi teknis yang detail mengenai teknologi apa yang mesti digunakan penyedia layanan telemedicine untuk memastikan keamanan data.

Kedua, regulasi yang berhubungan dengan fasilitas pelayanan telemedicine. Ketiga, regulasi tenaga dokter dan tenaga paramedis/teknisi telemedicine. Keempat, regulasi yang berhubungan dengan registrasi dan sertifikasi telemedicine.

Catatan lainnya, adalah soal pengawasan dan penegakan hukum. PP No 28 tahun 2024 kurang memuat mekanisme pengawasan yang efektif dan independen untuk memastikan kepatuhan penyedia layanan telemedicine soal perlindungan data pribadi.

Begitu pula soal infrastruktur, PP Nomor 28 Tahun 2024 belum cukup mengatasi masalah kesenjangan akses infrastruktur teknologi di berbagai daerah, yang dapat menghambat pelaksanaan telemedicine secara merata di seluruh Indonesia.


Hak privasi

Kita tahu, perlindungan akan hak privasi ini sudah tegas dikatakan dalam Pasal 28 G ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa: "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi." Ketentuan ini, termasuk dalam konteks pelayanan kesehatan menggunakan telemedicine.

Data seorang pasien wajib mendapatkan perlindungan hukum, terutama dalam praktiknya yang berada di dunia siber sebagai upaya menghindari kerugian besar dan pemenuhan hak-hak yang diterima oleh pasien telemedicine. Hanya saja, dalam pelaksanaannya, saat ini, perlindungan hukum untuk pasien telemedicine belum diatur secara khusus melalui peraturan perundang-undangan tentang penyelenggaraan telemedicine.

Tanggung jawab tenaga kesehatan dalam melindungi data pribadi pasien pada pelayanan praktik kedokteran melalui telemedicine di Indonesia masih lemah karena sebatas hubungan kontraktual antara tenaga kesehatan dengan penyedia layanan telemedicine. Belum ada ruang tanggung jawab yang dapat dipenuhi oleh tenaga kesehatan, ketika layanan kesehatan melalui telemedicine dimulai, berproses dan selesai.

Sudah begitu, tenaga kesehatan yang terikat kode etik profesi ternyata hanya sebatas menjalankan pekerjaan yang diminta oleh layanan telemedicine. Tidak ada ruang upaya pertanggungjawaban yang lebih konkret yang dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan ketika pasien telemedicine meminta tanggung jawab kesalahan diagnosa dan atau kesalahan arahan pada layanan kesehatan yang diberikan.

Begitu pula dengan layanan telemedicine yang menutup ruang layanan pasien ketika proses layanan dinyatakan selesai secara sistem, menyulitkan pemenuhan riwayat tanggung jawab tenaga kesehatan yang melayaninya. Padahal kemungkinan gejala penyakit dan atau respons kesehatan pasien masih memerlukan pendampingan dan pelayanan dari tenaga kesehatan yang memeriksa. Hal ini dapat dikatakan sebagai upaya pemaksaan pengakhiran perjanjian layanan kesehatan yang seolah sudah selesai, namun pada dasarnya mengandung cacat karena pemenuhan prestasi yang tidak sempurna.

Konsep regulasi perlindungan hukum terhadap data pribadi pasien dalam pelayanan praktik kedokteran perlu lebih detail mengatur kekhasan pelayanan kesehatan menggunakan telemedicine. Meskipun sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan UU Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan melalui Telemedicine ditambah dengan UU ITE dan UU Perlindungan Data Pribadi, namun perlindungan hukum terhadap data pribadi pasien telemedicine masih perlu terus disempurnakan.

Pengaturan perlindungan data pribadi pasien pada pelayanan kesehatan telemedicine perlu lebih detail mengatur upaya hukum pasien untuk memperjuangkan hak-haknya jika ada pelanggaran yang dilakukan oleh penyedia layanan telemedicine. Inform consent yang berupa pernyataan persetujuan pasien akan dapat berlaku sebaliknya mengikat penyedia layanan telemedicine, sehingga perjanjiannya menjadi seimbang.

Penyelenggara telemedicine dengan begitu wajib melindungi data pribadi pasien dalam prosesnya, meliputi perolehan atau pengumpulan data, pengolahan, penyimpanan, perbaikan, penampilan/pengumuman serta penghapusan atau pemusnahan data pasien. Selain itu hubungan dokter dan pasien serta penyelenggara layanan telemedicine perlu diatur dengan jelas batasan tanggung jawabnya masing-masing serta upaya hukum yang dapat melindungi hak pasien terhadap perlindungan data pribadinya.

​​​​​​​Secara yuridis tanggung jawab tenaga kesehatan dalam pelayanan telemedicine perlu lebih dikuatkan dengan memberikan ruang tanggung jawab penuh dalam hubungan kontraktual yang sempurna. Layanan telemedicine perlu disempurnakan dengan memberikan jaminan keberlanjutan penanganan pasien meliputi data-data pribadinya dalam rekam medis oleh tenaga kesehatan yang menanganinya agar tidak disalahgunakan oleh sistem layanan atau tenaga kesehatan pengganti.


*) Dr. dr. Nurul Wahdah, Sp.Kp., S.H., M.H adalah dokter aviation medical examiner di Balai Penerbangan Kemayoran​​​​​​​

​​​​​​​

Copyright © ANTARA 2024