Washington (ANTARA) - Undang-undang tentang larangan sementara impor uranium dari Rusia mulai berlaku di Amerika Serikat (AS) pada Senin (12/8).
Undang-undang ini sebelumnya disetujui oleh Kongres AS dan ditandatangani oleh Presiden Joe Biden pada 13 Mei, namun menyisakan celah bagi pembeli Amerika dengan harapan pasokan tetap berlanjut.
Norma legislatif ini berlaku hingga 31 Desember 2040, setelah itu larangan impor uranium, menurut undang-undang, akan dicabut.
Pada saat yang sama, hingga 1 Januari 2028, Departemen Energi AS, dengan berkonsultasi kepada Departemen Luar Negeri dan Departemen Perdagangan, berhak membuat pengecualian untuk melanjutkan pengiriman jika hal tersebut demi kepentingan Washington.
Inisiatif legislasi untuk melarang impor uranium dari Rusia diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat AS pada Februari 2023 oleh Anggota Kongres Republik Cathy McMorris Rodgers dari Washington.
Pada Maret, Senator John Barrasso dari Wyoming, yang merupakan salah satu pusat penambangan uranium di AS, memperkenalkan inisiatif serupa ke Senat.
Ketergantungan impor dan penurunan produksi
Dalam komentar kepada Sputnik, Rosatom menyebut undang-undang ini diskriminatif dan tidak sesuai pasar.
Rosatom adalah satu-satunya perusahaan di dunia yang memiliki semua teknologi siklus bahan bakar nuklir, dari penambangan uranium hingga siklus hidup fasilitas nuklir.
Keputusan semacam ini, yang memiliki motivasi politik, merusak fungsi berkelanjutan pasar global untuk barang dan jasa siklus bahan bakar nuklir, kata korporasi negara Rusia tersebut.
Rosatom menegaskan posisinya sebagai pemimpin global dalam teknologi nuklir dan akan terus mengembangkan hubungan dengan mitra asing yang tertarik pada kerja sama jangka panjang.
Departemen Luar Negeri menjelaskan undang-undang tersebut sebagai kebutuhan untuk mengurangi dan akhirnya menghilangkan ketergantungan AS pada uranium Rusia, yang aktif digunakan dalam energi nuklir Amerika.
Saat ini, pangsa energi nuklir di AS adalah 20 persen, tetapi negara tersebut hanya dapat memenuhi 30 persen dari kebutuhan bahan bakarnya sendiri.
Rusia menyediakan 20 persen dari pasokan uranium dan, menurut Departemen Energi AS, Rosatom memasok uranium yang diperkaya, yang digunakan sebagai bahan bakar, untuk lebih dari 90 reaktor komersial di AS, menjadikannya sebagai pemasok asing nomor satu untuk AS.
Namun, keinginan pihak berwenang AS untuk meningkatkan tekanan sanksi terhadap Moskow dengan mengurangi ekspor uranium Rusia, bersama dengan harapan untuk mengangkat industri uranium mereka sendiri dari stagnasi mengingat penurunan tajam dalam produksi domestik, telah menyebabkan pengesahan undang-undang ini.
Selain larangan impor, undang-undang ini juga mencakup ketentuan investasi sebesar 2,7 miliar dolar AS (Rp43,1 triliun) untuk pengembangan kapasitas pemrosesan uranium domestik di AS.
Menurut data dari layanan statistik AS yang dipelajari Sputnik, AS telah mengurangi impor uranium hampir dua pertiga pada bulan Juni tahun ini, dengan pembelian dari Rusia, China, dan Kazakhstan dihentikan sepenuhnya.
Pada bulan Juni, AS membeli uranium paling banyak dari Prancis, yang menyumbang dua pertiga dari total volume pasokan, atau 243,3 juta dolar AS (Rp38,8 triliun), serta dari Belanda 78,9 juta dolar AS (sekitar Rp1,2 triliun) dan Jerman 42,1 juta dolar AS (sekitar Rp 672,8 miliar).
Sementara itu, pada bulan Mei, China menjual uranium yang diperkaya ke AS senilai 323,6 juta dolar AS (Rp5,1 triliun), Rusia 209,5 juta dolar AS (Rp3,3 triliun), dan Kazakhstan 8 juta dolar AS (Rp127,8 miliar).
Sejak awal tahun, AS telah membeli uranium dari Rusia tidak setiap bulan lagi melainkan hanya pada setiap bulan ganjil.
Pada saat yang sama, AS telah mulai secara bertahap meningkatkan produksi konsentrat uranium.
Menurut Badan Informasi Energi negara tersebut, sekitar 37 ton konsentrat uranium diproduksi pada kuartal pertama 2024, melampaui volume produksi total untuk seluruh tahun 2023 yang mencapai 22,7 ton, yang merupakan angka terendah dalam beberapa tahun terakhir.
PERJUANGAN DENGAN SUKU ASLI DAN HARAPAN IMPORTIR
Fokus AS pada peningkatan produksi domestik telah menyebabkan ketegangan yang meningkat di kalangan penduduk asli Amerika.
Penambangan uranium oleh perusahaan Amerika di tanah suku Navajo selalu menyebabkan konsekuensi yang merusak bagi kesehatan manusia, pencemaran tanah dan air, kata Justin Ahasteen, direktur eksekutif Kantor Washington Navajo Nation, dalam wawancara dengan Sputnik.
Navajo adalah suku Indian terbesar di AS, yang menempati wilayah seluas 70.000 kilometer persegi di negara bagian Arizona, New Mexico, dan Utah.
Menurut data terbaru, jumlah orang Navajo yang terdaftar secara resmi mendekati 400.000.
Pada bulan Mei, suku Navajo menyatakan penolakan terhadap rencana untuk meningkatkan produksi uranium di daerah yang padat penduduk dan transportasinya untuk menggantikan pasokan Rusia akibat larangan impor logam dari Rusia.
Dan pada bulan Juli, ketegangan antara suku Navajo dengan industri uranium meningkat menjadi konfrontasi langsung setelah Presiden Suku Navajo Buu Nygren membawa polisi suku untuk memblokir arus lalu lintas selama transportasi uranium melalui tanah suku di Arizona.
Ketidakpastian mengenai prospek produksi domestik telah mendorong Centrus, perusahaan siklus bahan bakar nuklir terbesar AS, untuk mengumumkan niatnya meminta pihak berwenang untuk membuat pengecualian terhadap larangan impor bahan strategis ini dari Rusia untuk melanjutkan pasokan ke pelanggan mereka dan memastikan kepentingan seluruh industri nuklir AS.
Dalam wawancara dengan media AS, juru bicara perusahaan Lindsay Geisler menekankan bahwa membuat pengecualian dengan cepat terhadap larangan impor uranium Rusia sangat penting tidak hanya bagi Centrus, tetapi juga untuk seluruh industri nuklir AS.
Sumber: Sputnik
Baca juga: AS, Eropa bahas pelarangan impor minyak Rusia
Baca juga: Dubes : larangan impor uranium Rusia akan hantam perekonomian AS
Baca juga: Biden teken undang-undang larangan impor uranium dari Rusia
Penerjemah: Primayanti
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2024