Istanbul (ANTARA) - Sebuah badan PBB pada Jumat mendesak aksi untuk membendung krisis kemanusiaan yang semakin memburuk di Republik Demokratik (RD) Kongo.
Ketidakamanan pangan, pengungsian internal hingga aksi kekerasan berbasis gender telah mencapai tingkat rekor di Kongo, menurut Organisasi Migrasi Internasional (IOM).
"Di RD Kongo timur, saya bertemu dengan orang-orang yang terkena dampak konflik sepanjang hidup mereka, hidup dalam kondisi yang sangat sulit di kamp-kamp sementara."
"Situasi yang dihadapi perempuan dan anak-anak - yang menanggung beban konflik tersebut - sangat menyedihkan, dengan meningkatnya aksi kekerasan seksual dan berbasis gender," kata kepala IOM Amy Pope, setelah melakukan perjalanan ke Kongo.
Pertempuran antara pasukan Kongo dan kelompok bersenjata M23, yang paling aktif dari ratusan kelompok di negara itu, telah menyebabkan lebih dari 7 juta penduduk mengungsi sejak sekitar tahun 1990.
Selain itu, hujan deras dan banjir telah menyebabkan puluhan ribu orang mengungsi, memperburuk kondisi kemanusiaan.
"Kebutuhan kemanusiaan di sini sangat besar. Namun, keluarga pengungsi yang saya ajak bicara di sini mengatakan kepada saya bahwa, lebih dari apa pun, mereka membutuhkan kedamaian untuk bisa membangun kembali kehidupan mereka," kata Pope.
Konflik terkait tanah dan klaim adat di RD Kongo barat meletus pada Juni 2022 antara komunitas yang disebut "asli" dan "non-asli" yang menyebabkan pembunuhan dan pengungsian ratusan orang, menurut Human Right Watch (HRW).
Pada Juli lalu, aksi kekerasan meletus setelah sebuah kelompok yang menyebut diri mereka Mobondo menyerang warga desa Teke dengan parang dan senapan serbu militer.
Pasukan keamanan Kongo melakukan operasi tetapi gagal meredakan kekerasan tersebut.
Sumber: Anadolu-OANA
Baca juga: PBB: kelaparan ancam Kongo Tengah yang dilanda konflik
Baca juga: 29 Negara Alami Tingkat Kelaparan Mengerikan
Baca juga: Pasukan Kongo-Uganda selamatkan 23 korban penculikan pemberontak ADF
Penerjemah: Katriana
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2024