Jakarta (ANTARA) - Gotong royong sudah menjadi budaya bangsa Indonesia yang diwariskan secara turun-temurun dan sudah menjadi bagian dalam kehidupan bermasyarakat.

Berbicara tentang gotong royong di Indonesia, ada berbagai macam tradisi di berbagai daerah, mulai dari istilah penyebutan gotong royongnya yang berbeda-beda hingga jenis gotong royong yang dilakukan.

Tradisi gotong royong, khususnya dalam menghadapi musibah kematian, sangat lumrah terjadi di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Bentuk gotong royong yang dilakukan bermacam-macam, tergantung dari daerahnya masing-masing.

Macam-macam gotong royong itu, mulai dari membantu membereskan rumah, mengurus jenazah, upacara pemakaman, bahkan sampai pelaksanaan pengajian atau doa bersama.

Di Toraja, dikenal tradisi Rambu Solo’ dan di Bali ada tradisi Ngaben yang merupakan upacara kematian yang pelaksanaannya dilakukan secara gotong royong melibatkan banyak orang.

Di Jawa Barat dikenal tradisi "Beas perelek" yang serupa dengan tradisi jimpitan di wilayah Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Beras atau uang yang dikumpulkan dari warga dikelola sebagai dana sosial yang akan digunakan untuk kepentingan bersama.

Salah satu pemanfaatan dana tersebut adalah sebagai santunan kematian yang digunakan untuk kepentingan pengurusan jenazah saat ada warga yang meninggal dunia.

Semua bentuk gotong royong di berbagai daerah tersebut dilakukan untuk membantu warga yang terkena musibah dalam lingkup RT, RW, atau kampung dan desa.


Jaminan kematian

Saat ini sudah ada program pemerintah yang mengajak masyarakat untuk ikut berpartisipasi dan bergotong royong membantu keluarga yang terkena musibah kematian dalam lingkup yang lebih luas, yaitu di seluruh wilayah Indonesia.

Apalagi, terselenggaranya program jaminan sosial ketenagakerjaan, sebenarnya juga tidak hanya menjadi tanggung jawab Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, melainkan perlu dukungan serius dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan seluruh elemen masyarakat di Tanah Air.

Maka semua punya kesempatan untuk dapat membantu yang terkena musibah, tanpa memandang asal tempat tinggal, suku, ras, golongan, ataupun agama.

Orang Sulawesi dapat membantu keluarga yang terkena musibah kematian di Pulau Sumatera. Orang Aceh dapat memberikan andil terhadap keberlanjutan pendidikan anak-anak di Papua.

Program gotong royong berskala besar tersebut dikenal dengan nama program Jaminan Kematian (JKM) yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Skema gotong royong dalam program JKM sejalan dengan skema yang dijalankan oleh tradisi Beas Perelek atau jimpitan.

Iuran yang dibayar oleh peserta untuk program JKM akan menjadi satu kumpulan dana yang bernama Dana Jaminan Sosial (DJS) Kematian.

Dana inilah yang kemudian dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan dan dipergunakan untuk memberikan manfaat bagi keluarga peserta sebagai ahli waris dalam bentuk santunan kematian.

Diharapkan santunan ini dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak bagi ahli waris, ketika peserta yang menjadi tulang punggung keluarga meninggal dunia.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2019, ahli waris dari peserta program JKM akan mendapatkan santunan kematian dengan total manfaat sebesar Rp42 juta.

Selain itu, jika peserta telah terdaftar dan membayar iuran dalam program JKM, minimal selama tiga tahun, maka anak dari peserta tersebut memiliki kesempatan mendapatkan beasiswa pendidikan untuk maksimal dua orang anak.

Manfaat ini akan dibayarkan secara berkala setiap tahun, sesuai dengan tingkat pendidikan anak hingga ia mencapai usia 23 tahun atau menikah atau bekerja.

Rincian besaran manfaat beasiswa pendidikan tersebut adalah untuk tingkat TK dan SD sebesar Rp1,5 juta per orang per tahun, tingkat SMP sebesar Rp2 juta per orang per tahun, tingkat SMA sebesar Rp3 juta per orang per tahun, dan tingkat pendidikan tinggi maksimal Strata 1 (S1) atau pelatihan sebesar Rp12 juta per orang per tahun.

Untuk bisa mendapatkan manfaat tersebut di atas, pekerja harus terdaftar sebagai peserta aktif dalam program Jaminan Kematian BPJS Ketenagakerjaan.

Lantas, berapakah besar iuran yang harus dibayarkan oleh pekerja untuk dapat ikut berperan aktif dalam program tersebut? Bagi pekerja penerima upah (PU), kewajiban pembayaran iuran jatuh kepada perusahaan atau pemberi kerja.

Pemberi kerja wajib mendaftarkan pekerjanya pada program Jaminan Kematian dengan membayar iuran sebesar 0,3 persen dari upah sebulan.

Karena itu, sebagai pekerja, peserta harus memastikan bisa mendapatkan hak untuk didaftarkan dalam program jaminan sosial oleh pemberi kerja.

Sementara bagi pekerja bukan penerima upah (BPU) atau pekerja mandiri dapat mendaftarkan diri sendiri secara langsung dalam program ini dengan nilai iuran yang harus dibayar setiap bulan sebesar Rp6.800.

Nilai ini dipandang sangat terjangkau bagi semua pekerja, terutama jika dibandingkan dengan nilai manfaat yang akan diberikan kepada ahli waris.

Namun, menjadi peserta JKM bukan hanya tentang manfaat yang diperoleh jika mengalami risiko kematian, tetapi lebih dari itu. Di sana ada rasa kepedulian dan saling membantu kepada sesama pekerja.

Dengan menjadi peserta JKM berarti peserta telah memberikan perlindungan bagi keluarga sendiri maupun keluarga pekerja lain yang mengalami risiko kematian.

Pada akhirnya, bukan seberapa besar seseorang mendapatkan untung dari program Jaminan Kematian, tetapi seberapa besar perannya dalam memberikan manfaat dan meringankan beban orang lain yang sedang terkena musibah.

Dengan berperan sebagai peserta aktif dalam program Jaminan Kematian, semua berharap bisa menjadi orang yang berperan dalam memberikan manfaat bagi orang lain.


*) Neni Sri Wahyuni adalah Asisten Deputi Pengkajian Aktuaria BPJS Ketenagakerjaan

 

Copyright © ANTARA 2024