Moskow (ANTARA) - Seorang aktivis veteran Bangladesh berbagi cerita kepada Sputnik tentang pengalaman traumatisnya selama berada dalam tahanan polisi akibat menggelar aksi demonstrasi, serta menjelaskan rencananya membangun masa depan lebih baik bagi tanah airnya.

Seperti diketahui, unjuk rasa selama berminggu-minggu memaksa Perdana Menteri Shaikh Hasina mengundurkan diri dan melarikan diri ke India.

Strategi awal Sheikh Hasina, penguasa lama Bangladesh, untuk menekan pendemo terhadap sistem kuota yang kontroversial di Bangladesh dengan kekerasan, menyebabkan bentrokan yang menewaskan ratusan demonstran, sebagian besar mahasiswa.

Setelah situasi tidak terkendali, Hasina, yang telah menjabat sebagai perdana menteri sejak 2009, harus mengundurkan diri dan melarikan diri dari negara itu.

Seiring semakin banyak orang bergabung dengan protes, Hasina meninggalkan Bangladesh menuju India pada Senin (5/8) bersama saudara perempuannya, beberapa jam sebelum para demonstran yang marah akibat kekerasan mengerikan yang mereka saksikan selama bentrokan mematikan, menyerbu kediaman PM di Dhaka.

Keselamatan keluarga

Sebagai seseorang yang memimpin protes terhadap sistem kuota kontroversial di Bangladesh sejak 2018, Nurul Haq Nur menjelaskan kepada Sputnik mengapa perdana menteri lama tersebut tidak bisa mempertahankan kekuasaannya dengan kekerasan brutal.

"Militer sebenarnya mendukung perdana menteri hingga hari terakhir. Tetapi ketika mereka melihat orang-orang dari setiap kelas bergabung dalam protes, mereka tidak bisa melakukan apa-apa. Kami tidak bisa membayangkan bahwa hampir semua orang akan turun ke jalan. Tidak peduli apakah mereka kaya, miskin, selebriti, penulis, jurnalis, dan orang-orang biasa dari setiap komunitas. Demi keselamatan mereka sendiri dan keselamatan perdana menteri, militer sebenarnya mengirimnya ke India," kata Nur, 32 tahun, kepada Sputnik.

Aktivis tersebut menunjukkan bahwa militer di Bangladesh memilih untuk tidak menumpas protes dengan kekerasan brutal karena khawatir akan keselamatan anggota keluarga mereka sendiri.

"Orang-orang marah di mana-mana. Petugas polisi dibunuh. Anggota keluarga aparat penegak hukum diserang. Mereka menjadi takut. Mereka memahami: 'Oke, saya punya senjata. Saya bisa melindungi diri saya sendiri. Tetapi saya tidak akan bisa menyelamatkan keluarga atau anak-anak saya.' Itulah mengapa militer memilih untuk tidak menembak rakyat demi keselamatan anggota keluarga mereka sendiri," katanya.

Kekerasan mengerikan yang terjadi ketika perdana menteri mencoba menumpas protes inilah yang membuat orang-orang dari hampir semua kelas sosial di Bangladesh marah dan mendorong lebih banyak orang untuk bergabung dalam gerakan tersebut.

Selama jumpa pers pada 14 Juli, Hasina menggunakan frasa merendahkan terhadap para pengunjuk rasa yang sebagian besar adalah mahasiswa.

Ketika para pengunjuk rasa muda menggelar demonstrasi lebih lanjut keesokan harinya, faksi pro-pemerintah di berbagai universitas, termasuk anggota Liga Mahasiswa Bangladesh (BSL), melancarkan serangan ganas terhadap para mahasiswa pengunjuk rasa.

Banyak pengunjuk rasa mahasiswa wanita yang tidak bersenjata juga terluka dalam bentrokan tersebut, dan lebih dari 200 pengunjuk rasa dilaporkan tewas.

Pasukan keamanan yang dikerahkan untuk mencegah protes lebih lanjut menembaki para pengunjuk rasa, dan ketegangan terus meningkat, sementara pemerintah juga memilih untuk memutus akses internet di banyak kampus universitas.

Pengalaman traumatis

Sementara itu, aparat penegak hukum di Bangladesh mulai menindak orang-orang yang dianggap sebagai pemimpin gerakan protes.

Selain para pemimpin mahasiswa vokal seperti Nahid Islam dan Asif Mahmud, Nur juga diambil dari rumahnya di tengah malam dengan cara yang serupa.

"Mereka seperti sekelompok perampok. Mereka mendobrak pintu depan saya dan mendobrak pintu kamar tidur saya. Mereka membawa saya pergi seperti anak elang pada pukul 3 pagi, saat saya masih tidur bersama dua putri saya yang masih kecil, yang berusia 4,5 dan 1,5 tahun," ungkap Nur.

Putri saya yang lebih muda memegangi baju tidur saya dan tidak ingin saya pergi. Mereka bahkan tidak memberi saya waktu untuk mengganti pakaian. Mereka hanya menutup mata saya dan membawa saya ke mobil mereka," lanjutnya.

Meskipun tidak berada di garis depan protes yang sedang berlangsung seperti para pemimpin mahasiswa lainnya, Nur juga dituduh memimpin gerakan antipemerintah.

"Mereka mengatakan kepada saya, 'Kamu adalah dalang dari gerakan ini. Kamu memimpin gerakan antipemerintah ini.' Saya sangat terkejut dengan pengalaman tersebut," katanya.

Ketika mahasiswa di Universitas Dhaka memulai gerakan untuk mereformasi sistem kuota yang kontroversial untuk pekerjaan pemerintah di Bangladesh pada 2018, Nur menjadi pemimpin kelompok mahasiswa yang memimpin protes tersebut.

Setelah berbulan-bulan demonstrasi dan bentrokan kekerasan, pemerintah akhirnya mundur dan melonggarkan alokasi kuota pada pekerjaan pemerintah tertentu.

"Kami memimpin gerakan ini selama delapan bulan pada tahun 2018. Pada akhirnya, pemerintah mengeluarkan surat yang menghapuskan kuota untuk pekerjaan kelas satu dan kelas dua," ujar Nur.

"Namun, setelah lebih dari lima tahun, perintah pengadilan tahun ini mengatakan surat yang dikeluarkan oleh pemerintah pada 2018 adalah ilegal. Karena perintah pengadilan baru ini, saya mulai berdiskusi dengan rekan-rekan dan rekan sejawat saya, yang juga aktivis muda, tentang bagaimana memulai gerakan lagi," tambahnya.

Setelah memimpin protes pada 2018, Nur terpilih sebagai wakil presiden Serikat Mahasiswa Pusat Universitas Dhaka pada tahun berikutnya.

"Saya mengajukan delapan tuntutan dan mengirimkannya langsung melalui ponsel saya. Pemerintah telah memantau nomor telepon dan pesan kami. Mungkin itulah sebabnya mereka menjemput saya pada pukul 3 pagi tanggal 19 Juli. Itu adalah tentara dari Batalyon Aksi Cepat dan Direktorat Jenderal Intelijen Angkatan Bersenjata," katanya.

Seperti pemimpin mahasiswa muda lainnya yang dibawa ke dalam tahanan polisi, Nur juga mengatakan bahwa dia disiksa selama penahanan.

"Mereka memukul saya dengan tongkat. Mereka memberikan sengatan listrik ke organ seksual saya. Saya disiksa secara brutal. Saya menjadi sangat lemah dan tidak bisa berhenti gemetar. Itulah mengapa seorang dokter memberi saya suntikan. Tetapi saya tidak tahu jenis suntikan apa itu. Itulah mengapa saya meminta pengadilan untuk memberikan saya perawatan yang baik karena penyiksaan itu," tuturnya

Namun, Nur mengemukakan bahwa dirinya belum menerima perawatan apa pun. Beruntung, setelah pengunduran diri Hasina, Nur dibebaskan pada Selasa (6/8) dan dapat berkumpul kembali dengan keluarganya.

"Putri saya yang lebih muda yang berusia 1,5 tahun tidak mengerti apa yang terjadi. Tetapi putri saya yang lebih tua yang berusia 4,5 tahun mengalami trauma mental yang serius, karena dia melihat apa yang dilakukan oleh para petugas polisi kepada saya," katanya.

Pemimpin muda

Setelah pembebasan dirinya, Nur segera beraksi untuk mencoba membangun kembali negaranya dari kekacauan yang ditinggalkan oleh kekerasan dan bentrokan mematikan selama protes.

"Partai politik saya yang bernama Gono Odhikar Parishad (GOP) telah terlibat dalam politik nasional selama lebih dari lima tahun. Pemerintahan ad interim baru dibentuk pada Kamis. Itulah mengapa kami sangat sibuk," katanya.

Akibat marah dengan serangan dari pendukung pemerintah Hasina, banyak pengunjuk rasa ingin membalas dendam setelah keberhasilan gerakan protes tersebut.

Namun, Nur menekankan bahwa rekonsiliasi adalah kunci bagi negara untuk melangkah menuju masa depan yang lebih baik.

"Sebagai kelompok politik baru, kami mengajak rakyat biasa dan semua partai politik untuk tidak hidup di masa lalu. Kita harus melihat ke depan. Kita tidak bisa mengulangi apa yang dilakukan Liga Awami selama 15 tahun terakhir," kata Nur.

Pendukung Liga Awami juga mencoba untuk menggoyang situasi karena tidak adanya pemerintahan saat ini.

"Itulah mengapa posisi partai saya adalah mengajak untuk harmoni. Saya berharap orang-orang tetap tenang. Saya akan mencoba mengunjungi setiap distrik dan daerah setempat untuk mengajak rekonsiliasi," katanya.

Ketika Nur berjuang untuk membuat karier politik demi membangun Bangladesh yang baru setelah keberhasilan gerakan mahasiswa, partainya memilih untuk tidak ambil bagian dalam pemerintahan sementara.

"Sebagai pemimpin muda yang baru berusia 32 tahun, kami tidak ingin menjadi bagian dari pemerintahan sementara. Itu karena setelah satu atau dua tahun di bawah pemerintahan sementara, akan ada pemilihan baru," paparnya.

"Kami sedang mencoba menjadi partai arus utama untuk memimpin pemerintahan baru selama lima tahun. Kami berharap untuk menjalankan pemerintahan yang terpilih di masa depan. Kami berharap perubahan politik yang signifikan akan terjadi di pemerintahan berikutnya," pungkas Nur.

Sumber: Sputnik-OANA

Baca juga: Militer dukung sepenuhnya M Yunus sebagai PM ad interim Bangladesh
Baca juga: Bangladesh dipimpin Yunus, Pakistan ingin perkuat kerja sama bilateral
Baca juga: Kondisi tak stabil, India kurangi kehadiran diplomatik di Bangladesh


Penerjemah: Primayanti
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2024