Beijing (ANTARA) - Makanan saat ini lebih dari sekadar kebutuhan manusia untuk memberikan nutrisi kepada tubuh, tetapi juga sebagai aktivitas rekreasi sekaligus cerita pembawa pesan budaya.

Rasa sentimental juga tak jarang datang ketika mencecap tekstur suatu makanan, khususnya sajian yang pernah dirasakan tapi kemudian sedikit terlupakan karena tidak lagi berada di tempat masakan itu banyak ditemukan. Makanan menimbulkan rasa rindu.

Kerinduan terhadap makanan Indonesia saat berada di Beijing itulah yang membuat Anisah Rahmawati (38) tergerak untuk menghadirkan sendiri rasa yang ia "kangeni" dan kemudian mewujudkan rasa tersebut dalam bentuk restoran Indonesia "Nom Nom" di Beijing.

"Awalnya karena di Beijing tidak ada makanan Indonesia, dan bumbu khas Indonesia juga tidak ada di sini," kata Anisah.

Anisah tinggal di Beijing sejak 2011 untuk mengikuti suaminya Robin Wang, warga negara China, yang bekerja di Beijing. Anisah sendiri sebelumnya pernah bekerja di bidang teknologi informasi (TI) di Singapura dan mendapat gelar sarjana TI di sana.

Namun, ia juga sempat mengikuti beberapa program diploma yang diadakan sejumlah koki terkenal di Negeri Singa tersebut karena Anisah memang gemar memasak dan sang ibu juga memiliki memiliki pengalaman usaha kuliner di Indonesia selama 20 tahun.

Suami meminta Anisah untuk belajar bahasa Mandarin, sehingga ia pun belajar di Beijing Language and University (BLCU), tapi karena keinginan untuk menghadirkan masakan cita rasa Indonesia, ia pun sering mengundang teman-temannya untuk makan masakan Indonesia di rumah.

Masakan-masakan Indonesia buatan Anisah pun mendapat pujian enak dari teman-temannya. Belakangan beberapa temannya juga meminta Anisah untuk memasak makanan mereka.
Restoran Nom Nom yang menyajikan masakan Indonesia di Beijing. ANTARA/Desca Lidya Natalia/am.

"Akhirnya malah jadi suka ambil 'orderan' makanan Indonesia dari rumah, saat itu saya masih mengerjakan sendirian dari dapur di rumah, kadang ibu suka bantu tapi lama-lama kok 'orderan' jadi banyak ya dan dapur di rumah jadi tidak muat lagi untuk ambil pesanan," ungkap Anisah.

Kelahiran Nom Nom

Perempuan asal Jakarta namun besar di Surabaya itu kemudian memutuskan untuk membuka rumah makan Indonesia di daerah Distrik Haidian (Tsinghua East Road) Beijing yang berdekatan dengan area kampus pada 2014 dengan nama "Nom Nom".

"Yang kasih nama itu teman saya, orang Australia, karena dia bilang kalau saya buka restoran, namanya 'Nom Nom' saja, karena masakan saya enak," cerita Anisah.

Frasa "nom nom" adalah istilah "slang" Bahasa Inggris untuk menggambarkan suara seseorang yang sedang menikmati makanan lezat. Para penggemar makanan sering menyertakan istilah "nom nom" dalam unggahan mereka di media sosial untuk menunjukkan kecintaan atas berbagai hidangan. Anisah menambahkan dalam bahasa Jawa, "nom-noman" berarti yang masih muda.

Restoran Nom Nom pun mulai dikenal oleh banyak orang dari berbagai kalangan, mulai dari orang Indonesia --termasuk para pelajar Indonesia yang banyak tinggak di kawasan Haidian--, kalangan ekspaktriat dari Australia, Jerman maupun negara lain, dan tentu saja orang lokal China.

Anisah menuturkan bahwa orang yang berperan untuk promosi restorannya adalah teman-temannya dari mancanegara. Mereka mencetak brosur dan bahkan membagikannya ke rumah-rumah menggunakan sepeda.

Untuk pemilihan menu, Anisah menyebut Nom Nom memiliki 5-6 menu utama namun disajikan bergantian setiap harinya. Menu utama Nom Nom adalah ayam kremes, rendang sapi, ayam geprek dan sate. Menu lainnya adalah ayam bumbu rujak, nasi uduk, soto ayam, ikan garang asem, nasi bakar cumi. Namun, Nom Nom juga melayani pemesanan nasi tumpeng maupun kue seperti risoles.
Sajian nasi bakar dan es teh manis di restoran Nom Nom, Beijing, China. ANTARA/Desca Lidya Natalia/am.

Masakan-masakan tersebut disajikan dari resep keluarga Anisah dengan tetap menjaga kesesuaian rasa.

"Penyesuaian rasa dengan lidah saya saja, ha ha ha. Ya kami sampaikan kalau sambal di sini tetap sambal pedas seperti di Indonesia, kalau 'customer' tidak suka pedas ya jangan memesan sambal," ungkap Anisah.

Anisah pun terjun langsung sebagai koki untuk memasak sajian di Nom Nom, termasuk membuat berbagai bumbu hingga garnis pelengkap seperti bawang goreng.

Untuk mendapatkan bahan baku yang dapat menjaga cita rasa Indonesia, Anisah bercerita memang ia harus mendatangi pasar-pasar besar di Beijing untuk mendapatkan bumbu tersebut.

Bila tidak ada di pasar, Anisah pun harus memesan dari luar negeri seperti sejumlah daun-daunan untuk bumbu dari Thailand. Sedangkan untuk daging-dagingan baik sapi maupun ayam, ia mencari "supplier" yang memiliki sertifikat halal sehingga meski harga dagingnya sedikit lebih mahal namun bersih tapi tidak cepat basi bila disimpan secara tepat.

Pandemi COVID-19

Tantangan yang cukup berat dialami Nom Nom dan Anisah saat pandemi COVID-19 pada 2020-2022. Karena kebijakan "lock down" oleh pemerintah China, Nom Nom harus tutup selama 6 bulan dan Anisah sendiri tidak bisa keluar rumah selama 3 bulan, padahal sewa restoran tetap harus dibayar.

Salah seorang stafnya pun tidak ikut bekerja lagi karena pandemi. Saat kebijakan "buka-tutup" diterapkan, Nom Nom bisa beroperasi selama 2 bulan kemudian tutup lagi 2 bulan, dan berjalan terus seperti itu selama 2 tahun.

Operasional Nom Nom sangat terdampak karena banyak pelajar Indonesia yang kembali ke tanah air dan tidak kembali ke Tiongkok karena pandemi.

Bisnis bergantung pada pemesanan katering dan pengiriman daring baik di dalam maupun luar kota. Menu pun dibuat lebih variatif seperti gulai, sambal hati kentang, siomay, pempek, kue lapis, bolu pandan, es dawet, nastar dan lainnya.

Hingga pada akhir 2022, harga sewa tempat di Haidian naik, Anisah pun memutuskan mencari tempat baru dan didapat lokasi Huachuang Life Plaza, Olympic Village, distrik Chaoyang, Beijing.

Lokasi tersebut menurut Anisah dekat dengan rumahnya sehingga ia dan keluarga tidak membutuhkan waktu lama untuk datang ke restoran dari rumah. Lokasi itu juga dekat dengan kompleks stadion Olimpiade Beijing sehingga banyak turis yang dapat menjadi "market" ditambah dengan manajemen gedung yang rapi dan bersih.
Restoran Nom Nom yang menyajikan masakan Indonesia di Beijing. ANTARA/Desca Lidya Natalia/am.

Namun tak banyak perkantoran di tempat baru Nom Nom, pun perumahan di sekitar restoran termasuk elit, tapi hanya didatangi pada akhir pekan karena penghuninya bekerja di tengah kota Beijing sehingga pada hari kerja, pengunjung tak terlalu banyak, tapi sebaliknya pada akhir pekan Nom Nom selalu dipadati peminat.

Restoran Nom Nom yang buka pukul 11.00 dan tutup 20.30 waktu setempat itu bisa menampung 30-40 orang pengunjung pada waktu bersamaan.

Nom Nom juga punya dua dapur di lantai satu dan dua. Dapur bersih ada di lantai satu yaitu lokasi penyajian makanan, sedangkan dapur kotor ada di lantai dua, yang digunakan mulai dari mengupas bawang, mengolah daging, menumis bumbu dan lainnya.

Pemisahan dapur tersebut kata Anisah, bertujuan agar pengunjung tidak terganggu dengan bau maupun suara saat proses memasak.

Banyak pengunjung Nom Nom, menurut Anisah, adalah pengunjung lama yang mengajak teman-teman dan keluarganya. Ada pengunjung yang tadinya pelajar, kemudian menikah dan punya anak tetap datang ke Nom Nom meski restoran itu sudah pindah lokasi. Anisah pun kerap meluangkan waktu untuk ngobrol dengan pengunjung di restoran.

Para pelanggan juga lebih memilih untuk makan langsung di restoran dibanding "delivery" menggunakan aplikasi pemesanan makanan online China seperti Meituan, Eleme yang sejenis dengan GoFood dan GrabFood Indonesia.

Hal itu dimaklumi karena lokasi Nom Nom yang agak di pinggir kota sehingga bila memilih cara pesan-antar maka makanan akan dingin di jalan dan ongkos antarnya juga akan cukup mahal, tapi kelebihannya, Nom Nom menjadi lokasi pertemuan sambil menjajal makanan Indonesia.

Untuk menu favorit, Anisah menyebut orang dari Asia Tenggara suka ayam kremes, anak muda China suka berbagai hidangan dari ayam sementara orang-orang tua China memilih rendang sapi.
Restoran Nom Nom yang menyajikan masakan Indonesia di Beijing. ANTARA/Desca Lidya Natalia/am.

Autensitas rasa Indonesia

Meski begitu, Anisah mengakui bahwa bisnisnya masih belum pada posisi seperti sebelum pandemi COVID-19.

"Saat ini sebenarnya bisnis masih naik turun, kalau sebelum COVID-19, pelanggan bisa antri untuk masuk. Dulu juga kami bisa masak hingga ratusan ayam sehari, sedangkan saat ini tidak sampai seratus sehari, harga bahan-bahan juga naik," ungkap Anisah.

Apalagi tipe orang lokal di Beijing, menurut Anisah, bukan masyarakat yang royal untuk jajan makanan seperti mereka yang tinggal di China bagian selatan seperti Shanghai.

"Di Beijing kadang orang patok maksimal untuk makan 15-20 yuan, karena mereka juga sudah dapat makan siang dan makan sore dari kantor. Padahal harga di Nom Nom bisa di atas 40 yuan, jadi kami tidak bisa saingan untuk harga, hanya tetap menjaga rasa," kata Anisah.

Soal rasa itu juga menjadi salah satu tantangan. Menurut Anisah, makanan Indonesia di Beijing bersaing dengan Thailand dan Vietnam yang sudah lebih terkenal dan tersedia di banyak restoran. Sedangkan restoran Indonesia baru ada di Nom Nom dan Warisan Roemah Indonesia (WRI) yang baru buka pada Maret 2024.
Pemilik sekaligus koki Restoran Nom Nom Anisah Rahmawati (kanan) menyajikan makanan di dapur bersih dibantu dengan dua orang pegawainya. ANTARA/Desca Lidya Natalia/am.

Karena peminat dan pasar makanan Thailand lebih banyak, maka bahan baku makanan Thailand pun dapat lebih mudah masuk ke China, dan harga makanan juga dapat bersaing.

Anisah juga menilai penikmat makanan makanan Indonesia yang datang ke Nom Nom, adalah mereka yang sebelumnya sudah pernah mencicipi makanan Indonesia di Indonesia dan ingin merasakan rasa yang sama, atau setidaknya mereka pernah mencoba masakan Indonesia di tempat lain dan ingin mencobanya lagi.

"Jadi sebenarnya saya berharap makin banyak turis China yang datang ke Indonesia, mencoba makanan Indonesia dan ketika kembali ke China, mereka mencari makanan Indonesia dan datang ke Nom Nom. Saya pernah kesal karena ada satu orang yang menyampaikan 'Itu ayam kremes dikasih tepung roti ya? Gak tau dia untuk dapat kremes itu yang goreng seperti masuk ke penggorengan karena berhadapan dengan api," cerita Anisah.

Artinya, Anisah menyebut, bisa seseorang belum pernah ke Indonesia dan melihat, mencicipi, merasakan sendiri makanan Indonesia, maka mereka bisa salah paham mengenai sajian makanan Indonesia atau bahkan menilai masakannya adalah "frozen food".

Masakan Thailand yang lumayan terkenal di China, ungkap Anisah, juga karena banyak orang China yang berwisata ke Thailand dan menikmati makanan Thailand.

Anisah berharap akan semakin banyak orang China yang datang ke Indonesia dan mencicipi makanan khas Indonesia sehingga saat kembali ke China, khususnya ke Beijing, mereka pun mencari Nom Nom untuk mengobati kekangenan atas masakan Indonesia.

Untuk sekarang, Anisah bersama 6 orang pegawainya tetap fokus menjaga autensitas cita rasa masakan Indonesia.

"Fokus saja memperkenalkan budaya Indonesia lewat makanan, sama paling tetap pakai sandal jepit walau musim dingin, ini kan ciri khas Indonesia," kata Anisah sambil tertawa.

Untuk lebih memperkenalkan masakan Indonesia, Anisah juga aktif dalam acara-acara yang diadakan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Beijing, termasuk Indonesia Fair pada 17 Agustus 2024 yang berlokasi di KBRI Beijing dan menampilkan berbagai produk makanan, fesyen, budaya Indonesia.

Akhirnya, seperti kalimat dari Po, pendekar kungfu di Kungfu Panda yang mengatakan "There is no secret ingredient. It's just you", rahasia autensitas masakan ada di tangan sang koki, untuk Nom Nom, rahasianya ada di kelincahan tangan Anisah Rahmawati.


Baca juga: BPKH Limited kelola restoran khas Indonesia di Zamzam Tower Makkah
Baca juga: Menparekraf mengapresiasi alumni Poltekpar hadirkan restoran di Dubai

Editor: Sri Haryati
Copyright © ANTARA 2024