"Sejarah bangsa-bangsa di dunia menunjukkan pluralitas dapat tingkatkan produktivitas bangsa dalam kemajuan pembangunan maupun perkembangan peradabannya," kata Habibie dalam seminar nasional "Konflik Kekerasan dan Konsolidasi Demokrasi Pasca Gerakan Reformasi di Indonesia", di Jakarta, Kamis.
Dia menilai fenomena konflik di Indonesia terkesan meningkat karena di era reformasi terjadi keadaan "social fortex". Hal itu menurut dia akibat berubahnya pendekatan "top down" menjadi "bottom up"
"Konflik dapat menjadi modal kemajuan suatu masyarakat asal dapat berlangsung atau dikelola dengan baik," ujarnya.
Habibie mengatakan syarat utama agar konflik dapat dikelola dengan baik adalah tersedianya informasi atau data yang akurat dan komprehensif mengenai konflik. Kedua menurut dia, dibutuhkan kepemimpinan yang tegas dan tanggap.
"Data yang akurat dan komprehensif diperlukan untuk menyusun kebijakan pembangunan pada umumnya maupun mengelola konflik itu sendiri," katanya.
Deputi Bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agus Sartono mengatakan pemerintah berkomitmen bahwa pencegahan konflik sebagai prioritas dan pendekatan kesejahteraan digunakan sebagai strateginya.
Dia menilai konflik yang terjadi disebabkan adanya disparitas dalam masyarakat sehingga harus diperkecil.
"Gap antar individu dan daerah bisa menimbulkan konflik. Misalnya sumbangan Produk Domestik Bruto ada di Pulau Jawa padahal sumber daya alam lebih banyak di luar Jawa," ujarnya.
Dia menjelaskan untuk memperkecil disparitas itu, sumber daya manusia harus ditingkatkan agar SDA dapat nilai lebih dari pengelolaannya.
Selain itu menurut dia, pemerintah berkomitmen dalam penanganan konflik itu dengan membuat peraturan seperti Undang-Undang nomor 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
"Lalu ada Instruksi Presiden nomor 2 tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri," katanya.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2014