“Pelanggarannya membuat paspor dengan menggunakan dokumen palsu,” ujar Kepala Kantor Imigrasi Belakangpadang Moch. Andri Budiman di Batam, Kepulauan Riau, Jumat.
Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 126 huruf c UU Keimigrasian.
Pada 29 Juli 2024 pengadilan memutuskan hukuman delapan bulan penjara dan denda sebesar Rp10.000.000.
Kasus ini merupakan salah satu dari tiga kasus deportasi yang dilakukan oleh Kantor Imigrasi Belakangpadang pada tahun 2024.
“Sebelumnya ada dua orang Malaysia yang kami lakukan tindakan administratif keimigrasian (TAK),” ungkapnya.
Sesuai dengan Pasal 75 UU Keimigrasian, pejabat imigrasi berwenang untuk melakukan TAK terhadap orang asing yang melakukan kegiatan berbahaya dan patut diduga membahayakan keamanan dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau tidak menaati peraturan perundang-undangan.
“Kami menekankan pentingnya koordinasi antar instansi terkait, terutama dalam mengawasi dokumen kependudukan di wilayah perbatasan,” ujarnya.
Mengenai pengawasan dokumen kependudukan, pihak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) yang memiliki data resmi.
Pihak kantor imigrasi berkoordinasi dengan Dukcapil untuk melakukan crosscheck dokumen jika ada yang diduga melanggar.
Pengawasan di wilayah kepulauan seperti Belakangpadang memang menghadapi tantangan tersendiri karena akses antar pulau yang sulit dan terbatasnya koordinasi antara instansi terkait.
Namun peristiwa ini menyoroti keberhasilan Kantor Imigrasi Kelas II TPI Belakangpadang dalam menegakkan hukum keimigrasian di Kepulauan Riau.
Baca juga: Imigrasi Batam deportasi WNA Jepang buronan Interpol
Baca juga: Imigrasi deportasi 10 WNA tersangka pemeras bermodus telepon seks
Pewarta: Amandine Nadja
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024