Jakarta (ANTARA) - Pemerintah, melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), menargetkan perluasan kawasan konservasi perairan hingga 30 persen pada 2025, atau yang lebih populer disebut dengan Marine Protected Area (MPA) Vision 30x45. Artinya, dari total luas laut teritorial Indonesia yang hampir 325 juta hektare (ha), dalam 21 tahun ke depan sebanyak 97,5 juta ha harus sudah ditetapkan dan dikelola sebagai kawasan konservasi.

Per 2023, pemerintah telah berhasil mengerjakan 29,2 juta ha, atau 9 persen dari keseluruhan wilayah. Membayangkan laut Indonesia yang sangat luas itu, lantas apa yang harus ditanggung jika target tersebut tidak tercapai sesuai tenggat yang direncanakan?

Sebelum membahas lebih jauh, mari berkenalan dengan MPA atau Kawasan Konservasi Laut (KKL). Pada dasarnya, KKL merupakan kawasan di lautan, dimana aktivitas manusia dikelola lebih ketat dibandingkan perairan di sekitarnya. Seperti halnya kawasan lindung dan taman yang beroperasi di daratan.

World Conservation Union mendefinisikan KKL sebagai ruang geografis lautan yang diakui, didedikasikan, dan dikelola melalui cara-cara legal atau cara efektif lainnya untuk mencapai tujuan konservasi alam jangka panjang yang terkait dengan ekosistem dan nilai-nilai budaya. Secara umum, MPA atau KKL memiliki tujuan ekologi, sosial, dan ekonomi.

MPA Vision 30x45 diprakarsai Pemerintah Indonesia untuk mencapai tiga tujuan utama. Tidak seperti sekarang, dimana KKL dibangun dengan tujuan perlindungan keanekaragaman hayati laut. Dalam Visi baru, KKL dibangun berdasarkan tujuan pengelolaan perikanan berkelanjutan dan perlindungan ekosistem karbon biru. Selanjutnya, tujuan ini digunakan sebagai landasan dalam proses identifikasi dan perancangan spasial penambahan luasan kawasan konservasi.

Kita tahu, ekosistem laut Indonesia memiliki nilai ekologi dan ekonomi yang tinggi. Tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga bagi dunia. Tengok saja laut Indonesia yang mampu menghasilkan 10,5 juta ton produk perikanan setiap tahunnya, sekaligus menjadi penghasil produk perikanan kedua terbesar di dunia.

Produk perikanan dari laut Indonesia berkontribusi sebesar 27 miliar dolar AS secara tahunan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dan menyediakan 12 juta lapangan pekerjaan. Artinya, ada keterkaitan erat antara konservasi perairan dengan produksi.

Belum lagi peran laut yang menjadi tolok ukur dalam menyiapkan mitigasi, sekaligus adaptasi terhadap krisis iklim. Mengutip pernyataan Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono, karbon yang dapat diserap dari MPA Vision 30x45 mencapai 188 juta ton CO2eq lewat ekosistem mangrove dan lamun. Secara ekonomi, nilainya diperkirakan setara Rp300 triliun.

Namun, dengan kondisi ekosistem laut Indonesia yang terancam saat ini, seperti kondisi 19 persen hutan bakau kritis, 40 persen tumbuhan tingkat tinggi (antophyta) atau seagrass lenyap, 70 persen terumbu karang di Indonesia terancam, dan 38 persen perikanan dieksploitasi berlebihan, butuh kerja ekstra keras untuk mencapai MPA Vision 30x45.

Belum lagi ditambah fakta, estimasi capaian wilayah perairan terproteksi dalam tujuh tahun (periode 2023-2030) hanya 3,3 juta ha, dari 29,2 juta ha menjadi 32,5 juta ha pada 2030, sedangkan sisanya, 65 juta ha bakal dikebut realisasinya dalam 15 tahun untuk mencapai 97,5 juta ha MPA.

Tentu saja, ini bukan pekerjaan mudah, tetapi bukan pula pekerjaan yang mustahil. Dalam studi Cost Benefit Analysis, Konservasi Indonesia (KI) mencatat butuh US$2,6 miliar-US$3,6 miliar atau sekitar Rp41,6 triliun - Rp57,6 triliun (kurs Rp16.000) untuk implementasi penuh MPA Vision 30x45.

Hitung-hitungan itu terdiri dari biaya langsung, yakni pendirian kawasan konservasi perairan baru, ekspansi dari kawasan konservasi perairan yang sudah ada, dan implementasi manajemen. Sementara itu, biaya tidak langsung meliputi potensi biaya yang timbul bagi masyarakat yang terkena dampak negatif, hingga biaya lain, seperti manajemen Wilayah Pengelolaan Perikanan, yang meliputi upaya membangun program kemitraan hingga rehabilitasi ekosistem.


Potensi Kerugian

Tujuan perlindungan keanekaragaman hayati bermanfaat bagi ekosistem laut, melindungi spesies-spesies yang rentan dari kepunahan dan melestarikannya. Selain itu juga memberikan manfaat ekonomi melalui berbagai sektor, seperti pariwisata dan aplikasi bioteknologi farmasi. Lebih dari itu, ada pula manfaatnya dalam menjaga nilai budaya, spiritual, serta estetika yang tercermin dalam tradisi dan adat istiadat masyarakat pesisir.

Hal yang tidak kalah penting adalah tujuan perikanan berkelanjutan, terutama untuk memastikan kelangsungan hidup jangka panjang stok ikan yang mendukung produktivitas jangka panjang.

Tidak ketinggalan, tujuan untuk memerangi perubahan iklim. Karbon biru yang tersimpan pada ekosistem pesisir dan laut, seperti hutan bakau dan lamun, tidak bisa disepelekan. Ekosistem karbon biru bisa menyerap dan menyimpan karbon dioksida (CO2) dalam jumlah besar dari atmosfer, yang pada akhirnya bisa mendukung perlawanan perubahan iklim dan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK).

Peran karbon biru juga mampu bertindak sebagai penyangga alami terhadap ancaman abrasi atau pelelasan, redaman gelombang, dan perlindungan pantai. Ujung-ujungnya, upaya konservasi dapat melindungi kehidupan manusia, terutama masyarakat pesisir dari dampak cuaca ekstrem.

Artinya, apabila tujuan-tujuan itu tidak tercapai, berarti terjadi kegagalan dalam MPA Vision 30x45, yang selanjutnya melepaskan manfaat ekonomi dari genggaman sedikitnya US$87 miliar hingga US$98 miliar atau setara Rp 1.424 triliun-Rp 1.568 triliun. Keuntungan fantastis itu akan menguap begitu saja, menjadi potential loss. Tentu kita akan menyayangkan kerugian itu.

Karenanya, untuk merealisasikan MPA Vision 30x45, pemerintah tidak bisa berjalan sendirian. Perlu ada gotong royong dari berbagai pihak untuk saling mendukung dan berkontribusi, mengingat target konservasi perairan di Indonesia bukan "sejumput". Bahkan, boleh dibilang target wilayah itu sebesar dua kali luasan Spanyol. Konservasi seluas itu tentu saja bukan tanpa risiko.

Alhasil, perlu investasi sektor maritim berkelanjutan dan juga pendanaan yang memadai, mengingat alokasi anggaran nasional hanya 4 persen dari total pendanaan yang diperlukan untuk pengelolaan dan penegakan efektif MPA.

Patungan antara pemerintah, sektor swasta, lembaga internasional, termasuk lembaga nonprofit (NGO) akan meringankan beban biaya konservasi laut. Bahkan, rasa-rasanya wajar jika negara-negara maju ikut urunan untuk bersama-sama membiayai target MPA Indonesia melalui pendanaan hibah.

Toh, kelak manfaat tidak langsung, seperti karbon biru dari lautan Indonesia juga akan dirasakan oleh negara-negara lain di dunia, terutama negara tetangga yang perairannya berbatasan langsung dengan Indonesia, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Papua Nugini, hingga Australia.



*) Victor Nikijuluw, Ph.D. – Senior Ocean Program Advisor Konservasi Indonesia

 

Copyright © ANTARA 2024