Warga memanggil harimau dengan nama "datuk", sebuah gelar yang diberikan oleh orang dihormati atau dituakan
Jambi (ANTARA) - Dunia baru saja memperingati Hari Harimau Sedunia atau Global Tiger Day pada 29 Juli lalu. Momentum ini sebagai penanda penting untuk menyelamatkan harimau sumatera.

Tanpa tindakan penyelamatan terintegrasi yang mengakomodasi kepentingan manusia dengan fauna "karimastik" itu, spesies kucing terbesar berbulu loreng tersebut bisa punah, alih-alih berkembang populasinya.

Indonesia menjadi salah satu rumah bagi harimau loreng, yang dulu tersebar luas di berbagai kawasan Asia tapi mengalami penurunan populasi hingga 93 persen sejak awal abad ke-20.

International Union for Conservation of Nature (IUCN) mencatat dua populasi harimau sudah punah di Indonesia, yakni harimau jawa (Panthera tigris sondaica) dan harimau bali (Panthera tigris balica). Kini, tersisa hanya harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang bisa ditemukan di beberapa bagian Pulau Sumatera.

Namun, wilayah jelajah yang semakin kecil akibat ekspansi perkebunan, habitat yang terfragmentasi, serta perburuan liar yang terjadi, menjadikan hewan yang berstatus terancam kritis ini di ambang kepunahan.

Taman Nasionan Berbak dan Sembilang (TNBS) menjadi salah satu rumah yang tersisa bagi populasi harimau sumatera. Populasinya saat ini diperkirakan berkisar 600 ekor. Namun untuk memastikan jumlahnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) masih menyelesaikan Sumatera Wide Tiger Survey 2024.

Kepala Seksi Wilayah I TNBS Bobby Sandra menyatakan kepada ANTARA di Jambi, khusus untuk wilayah TN Berbak--pengawasan sejak 2011--mengidentifikasi lebih dari 30 individu yang hidup di wilayah konservasi hutan rawa terbesar di Asia Tenggara itu, beberapa di antaranya terlihat dengan anak mereka.

Masing-masing individu itu teridentifikasi dengan pola belang di tubuhnya, kebanyakan sudah memiliki nama untuk mempermudah mengenalinya ketika terlihat di perangkap kamera (camera trap). Beberapa dari mereka memiliki nama unik seperti Jamantara dan Pandawa, yang lainnya diambil dari nama petugas atau pihak yang terlibat dalam konservasi harimau TN Berbak, seperti Feni dan Agus.

Namun, harimau di TN Berbak menghadapi beberapa masalah yang mengancam populasinya, termasuk kehilangan habitat akibat pembalakan kayu ilegal, perambahan kawasan hutan, kebakaran hutan dan lahan, selain juga ancaman perburuan liar.

Namun, Pemerintah tidak tinggal diam untuk mengatasi berbagai masalah tersebut. Pengawasan terus dilakukan TNBS, selain lewat perangkap kamera, juga patroli di dalam kawasan konservasi.

Pihaknya juga melibatkan pemerintah daerah untuk melakukan pendekatan kepada masyarakat di wilayah sekitar kawasan konservasi, termasuk 10 desa yang berbatasan langsung dengan TN Berbak.

"Yang punya masyarakat ini kan pemerintah daerah. Ketika kami melarang atau melakukan tindakan hukum ke masyarakat, otomatis peran pemerintah daerah hilang di situ. Maka kami selalu melakukan pendekatan ke pemerintah daerah dan masyarakat," katanya.

Oleh karena itu, penegakan hukum menjadi jalan terakhir yang dilakukan setelah sosialisasi dan peringatan tidak diacuhkan oleh pihak-pihak tersebut, terutama mereka yang masuk ke dalam kawasan untuk tujuan merusak.

Interaksi negatif juga tercatat di wilayah kawasan konservasi tersebut, terutama di pinggir kawasan, yang kebanyakan melibatkan ternak masyarakat desa. Hal ini biasanya terjadi ketika kondisi kekeringan dan berkurangnya satwa yang menjadi mangsa harimau.

Untungnya, sebagian masyarakat yang berada di wilayah tersebut sudah mulai memahami pentingnya hidup berdampingan dan berbagi ruang dengan satwa, terutama masyarakat asli yang memiliki kearifan lokal dengan harimau. Warga memanggil harimau dengan nama "datuk", sebuah gelar yang diberikan oleh orang dihormati atau dituakan.

Beberapa tokoh adat bahkan menjadi penghubung yang melaporkan ketika mendengar auman harimau dari dalam hutan. Melaporkannya sebagai penanda ada suatu kejadian di hutan, entah sumber air yang mengering atau mungkin keberadaan api.

Bahkan terdapat juga tradisi di sebuah desa dekat TN Berbak, untuk meletakkan jeroan dari hewan yang dipotong saat mengadakan pesta atau kenduri, di beberapa titik yang dipercaya masyarakat akan diambil oleh harimau.

Harmoni tersebut terus dipelihara tidak hanya oleh pihak TNBS tapi juga pemerintah setempat, sebagai salah satu cara menjaga eksistensi harimau sekaligus menerapkan hidup berdampingan dengan satwa liar.


Kolaborasi konservasi

Untuk mencegah agar harimau sumatera tidak hanya menjadi kenangan di buku-buku sejarah, upaya konservasi perlu terus ditingkatkan bersamaan dengan pendekatan baru dalam penanganan konflik harimau dan manusia.

Ketua Forum Harimau Kita, Erni Suyanti, menjelaskan bahwa interaksi negatif sebagian besar terjadi karena aktivitas manusia, misalnya, akibat adanya perubahan tutupan hutan dan pergerakan manusia di habitat harimau, seperti di kawasan untuk perkebunan dan pertambangan.

Selain itu juga terdapat faktor dari harimau itu sendiri. Contohnya, ketika individu harimau sakit cenderung mengalami kesulitan berburu serta individu jantan muda yang memiliki wilayah jelajah baru, cenderung mengalami konflik dengan manusia atau ternak.

Untuk menangani konflik manusia dengan satwa, perlu mengetahui secara pasti faktor-faktor yang memengaruhi kejadian di wilayah tersebut karena setiap kasus memiliki penyebab dan permasalahan yang berbeda. Oleh karena itu, kolaborasi perlu terus dilakukan untuk mencegah konflik manusia dan satwa tersebut.

KLHK sendiri sudah merilis panduan penanggulangan konflik harimau pada 2017, bekerja sama dengan Forum Harimau Kita.

Senior Management Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC), Ardi Bayu Firmansyah, menyatakan terkait upaya konservasi, perlu adanya kerja sama yang baik antara Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, pihak swasta, dan berbagai unsur masyarakat.

Kolaborasi yang dilakukan TWNC dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, misalnya, telah berhasil dilakukan dalam bentuk monitoring populasi harimau sejak 2012. Pada awal, mereka berhasil mengidentifikasi 24 individu harimau di kawasan tersebut dan sampai saat ini sudah teridentifikasi lebih dari 50 individu.

Mereka juga bekerja sama untuk melakukan rehabilitasi harimau yang berkonflik dengan manusia dan cedera akibat berbagai alasan serta pelepasliaran ke alam. Sejak tahun 2008 sudah dilakukan rehabilitasi terhadap 13 individu dan dilepasliarkan tujuh individu.

Langkah tersebut merupakan salah satu bentuk upaya bersama untuk meningkatkan populasi harimau sumatera di kampung halamannya, yang ditargetkan dapat mencapai dua kali lipat dari populasi saat ini.

Kolaborasi demi konservasi yang lebih baik diperlukan untuk menjaga keberadaan sang "datuk" di rumahnya di Sumatera, sekaligus menorehkan keberhasilan menjaga keanekaragaman hayati yang dilakukan Indonesia.

Editor: Achmad Zaenal M
 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024