Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia telah menetapkan visi "Indonesia Emas 2045" yang mencakup tujuan untuk mencapai kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat pada momen 100 tahun Indonesia merdeka itu.
Salah satu pendekatan yang diusung demi mencapai tujuan tersebut adalah konsep ekonomi kerakyatan, yang mendorong partisipasi luas masyarakat dalam pembangunan ekonomi.
Terkait hal ini, menjadi penting bagi semua kalangan untuk mengetahui prinsip ekonomi kerakyatan dan relevansinya dalam mencapai tujuan Indonesia Emas 2045, sekaligus sebagai upaya untuk mewujudkan amanat dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu kesejahteraan bagi rakyat Indonesia yang adil dan merata.
Konsep ini tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi juga kesetaraan dan kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat.
Sistem ekonomi kerakyatan, pertama kali dicetuskan oleh tokoh proklamator Indonesia, Drs. Mohammad Hatta. Pemikiran tersebut merupakan pengejawantahan dari konsep politik di lingkup sektor perekonomian, di mana yang menjadi episentrum penggeraknya adalah rakyat. Bung Hatta juga adalah peletak dasar-dasar demokrasi dan ekonomi di dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hatta percaya bahwa sistem ekonomi harus berpihak pada kesejahteraan rakyat banyak, bukan hanya segelintir orang. Ia mempromosikan konsep koperasi sebagai cara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mengurangi kesenjangan ekonomi.
Selanjutnya konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO/International Labour Organization) ke-169 pada tahun 1989 mendefinisikan ekonomi kerakyatan sebagai sistem ekonomi tradisional yang menjadi landasan bagi aktivitas masyarakat lokal dalam mempertahankan kehidupannya.
Pengertian tersebut difokuskan berdasarkan pada keterampilan dan pengetahuan masyarakat lokal dalam mengelola penghidupan serta lingkungannya.
Sehingga ekonomi kerakyatan sebagai pendekatan ekonomi yang menempatkan rakyat sebagai subjek utama dalam pengembangan ekonomi, mempunyai empat prinsip utama, yaitu partisipasi aktif, pemerataan kesejahteraan, keberlanjutan lingkungan, dan penguatan ekonomi lokal.
Partisipasi aktif itu, artinya, dalam sistem ekonomi kerakyatan, partisipasi masyarakat didorong dalam pengambilan keputusan ekonomi dan pembangunan. Prinsip pemerataan kesejahteraan diwujudkan dengan mengurangi kesenjangan ekonomi antarwilayah dan kelompok masyarakat.
Prinsip keberlanjutan lingkungan diwujudkan melalui pembangunan ekonomi yang berjalan sesuai dengan keberlanjutan aspek lingkungan.
Sementara prinsip penguatan ekonomi lokal dimaksudkan untuk mendukung pengembangan ekonomi lokal dan koperasi sebagai basis ekonomi kerakyatan.
Para pakar ekonomi dan pembangunan memberikan berbagai pandangan terkait prinsip ekonomi kerakyatan dan implementasinya di Indonesia menuju 2045, di antaranya ekonom pembangunan, sebagaimana disampaikan oleh ekonom Prof. Armida S. Alisjahbana.
Armida mengatakan bahwa ekonomi kerakyatan tidak hanya tentang pemerataan pendapatan, tetapi juga memberdayakan masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan ekonomi. Ini membutuhkan kebijakan yang inklusif dan mendukung bagi sektor-sektor ekonomi yang melibatkan masyarakat luas.
Sementara pakar ekonomi regional Dr. Didik J. Rachbini menyatakan bahwa pengembangan ekonomi kerakyatan dapat menjadi kunci untuk mengatasi disparitas regional di Indonesia.
Menurut Didik, dengan memperkuat sektor-sektor ekonomi lokal dan meningkatkan akses terhadap sumber daya, kita dapat memastikan bahwa seluruh wilayah Indonesia turut merasakan manfaat dari pertumbuhan ekonomi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa penerapan prinsip ekonomi kerakyatan tidak hanya relevan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi inklusif, tetapi juga untuk membangun fondasi ekonomi yang kuat dan berkelanjutan. Hal ini akan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi investasi serta menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak dan beragam.
Urgensi
Meski gagasan tentang ekonomi kerakyatan telah lama diungkapkan oleh Bung Hatta, tetapi penerapan sistem ini baru dilakukan enam dekade kemudian, tepatnya pada tahun 1999. Reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 disinyalir sebagai pemantik dari keputusan tersebut.
Ketika itu pemerintah bertekad kuat ingin menerapkan sistem ekonomi kerakyatan dengan mengeluarkan aturan berupa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Ekonomi kerakyatan, sejatinya merupakan sebuah sistem yang bertujuan untuk mewujudkan rakyat yang sejahtera. Sistem ekonomi ini juga bersifat terbuka, berkelanjutan, dan mandiri.
Terbuka, karena melalui sistem ini harus dapat dipastikan bahwa seluruh masyarakat dapat menjalankan usaha dan memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi yang tersedia.
Berkelanjutan, artinya, kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat dapat terus berlangsung tanpa mengorbankan masa depan dan masyarakat sendiri dalam skala yang lebih luas.
Mandiri, karena masyarakat melakukan kegiatan ekonomi dengan memanfaatkan sumber daya lokal yang tersedia dan fokusnya untuk mencukupi kebutuhan sesamanya.
Berdasarkan sifatnya tersebut, ekonomi kerakyatan juga memiliki lima sasaran pokok yang ingin diraih, yaitu tersedianya kesempatan kerja dan penghidupan yang layak bagi seluruh rakyat, terselenggaranya jaminan sosial bagi anggota masyarakat yang memerlukan, utamanya bagi anak-anak terlantar dan fakir miskin, kepemilikan modal secara material terdistribusikan merata di seluruh anggota masyarakat, pendidikan nasional dapat terselenggara dengan cuma-cuma bagi semua anak tanpa terkecuali, kemudian, setiap warga dijamin kebebasannya untuk membuat berbagai serikat ekonomi dan atau menjadi anggotanya.
Prinsip ekonomi kerakyatan memiliki potensi besar untuk mendukung visi Indonesia Emas 2045, dengan memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya diukur dari sisi angka, tetapi juga dari tingkat kesejahteraan dan keadilan sosial.
Dengan mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan ekonomi, Indonesia dapat mencapai tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan secara lebih inklusif dan berkelanjutan.
*) Lucky Akbar adalah ASN pada Kementerian Keuangan RI
Copyright © ANTARA 2024