Jakarta (ANTARA) - Pengamat terorisme dan pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail mengingatkan bahwa keluarga berperan penting dalam mencegah radikalisasi di kalangan remaja, sehingga tidak terjebak dalam ideologi yang bertentangan dengan NKRI.

“Sebagai upaya pencegahan terhadap swa-radikalisasi (radikalisasi secara mandiri) di kalangan generasi muda, diperlukan peran keluarga yang proaktif dalam menanamkan literasi digital yang baik,” kata Noor dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, radikalisasi pada generasi muda bisa terjadi dengan relatif cepat dan tanpa diketahui oleh lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, selain keluarga, pendekatan komprehensif dan sinergi juga perlu dilakukan oleh negara dan masyarakat.

“Sebaran narasi positif yang konsisten dan penegakan hukum yang tegas menjadi faktor pendukung dalam membentuk generasi muda yang resisten terhadap ideologi transnasional,” imbuh Noor.

Lebih lanjut, dia menjelaskan, gejala terpaparnya seseorang atau kelompok tertentu bisa dikenali dengan menyoroti tiga aspek atau juga dikenal dengan konsep 3N, yakni needs (keinginan), network (jaringan), dan narration (narasi).

Needs, mungkin si individu yang terpapar ini sedang galau, mencari identitas, ataupun punya keinginan untuk dihormati. Pemenuhan kebutuhan emosional ini bisa jadi salah satu pintu masuknya seseorang terhadap kelompok radikal,” kata Noor.

Sementara network berkaitan dengan jangkauan jaringan ideologi transnasional yang semakin meluas, yakni pemikiran radikal bisa diakses melalui internet. Dalam hal ini, peran keluarga penting untuk mengawasi apa yang diakses oleh anggota keluarganya.

Narration, kesiapan lingkup keluarga dalam menyikapi narasi intoleran akan menentukan seberapa tinggi resistensi Indonesia terhadap paham radikal terorisme. Sedari dini, generasi muda harus bisa memahami bahwa apa yang ada di internet itu tidak semuanya benar,” jelas Noor.

Noor mengatakan hal itu merespons penangkapan tersangka terorisme HOK di Batu, Malang, Jawa Timur. Remaja berusia 19 tahun itu berencana melakukan bom bunuh diri dengan sasaran tempat ibadah yang kemudian ditangkap pada Rabu (31/7).

“Kita harus apresiasi aparat penegak hukum karena bisa menangkap terduga teroris sebelum mereka bisa melancarkan rencana terornya. Namun, perlu dipahami pula bahwa penangkapan ini hanyalah tip of an iceberg, ibarat puncak gunung es saja. Kejadian seperti ini sangat mungkin untuk terulang kembali,” ujarnya.

Baca juga: Akademisi: Program Duta Damai dan Sekolah Damai cegah swa-radikalisasi
Baca juga: BNPT minta mahasiswa deteksi kelompok radikal bukan dari ciri fisik 
Baca juga: Kepala BNPT RI kenalkan Museum Adhi Pradana ke delegasi Brunei

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2024