Pemohon telah dirugikan hak konstitusioanalnya dengan diberlakukannya UU Sistem Keolahragaan Nasional

Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) yang dimohonkan pengurus Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).

KONI menguji Pasal 36 ayat (1), (3), Pasal 37, Pasal 38 ayat (3), Pasal 40, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 88 ayat (2), (3) UU Sistem Keolahragaan Nasional.

"Pemohon telah dirugikan hak konstitusioanalnya dengan diberlakukannya UU Sistem Keolahragaan Nasional," kata kuasa hukum KONI Agus Dwi Warsoni, saat sidang pemeriksaan pendahuluan di Jakarta, Senin.

Dia mengungkapkan bahwa Pasal 36 ayat (1) menyebutkan induk organisasi cabang olahraga seperti dimaksud Pasal 35 membentuk suatu komite olahraga nasional.

Pasal 36 ayat (3)-nya menyebut induk organisasi cabang olahraga dan komite olahraga nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat mandiri.

Agus menilai Pasal 36 ayat (1), (3) multitafsir dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena dimungkinkan setiap orang membentuk KONI di tingkat pusat lebih dari satu.

Dia juga mengungkapkan bahwa Pasal 37 ayat (2), Pasal 38 ayat (3) pembentukan KONI di tingkat provinsi dan kabupaten/kota juga bersifat multitafsir yang memungkinkan pembentukan KONI daerah lebih dari satu.

Sementara Pasal 40 menyebut pengurus komite olahraga nasional, komite olahraga provinsi, dan komite olahraga kabupaten/kota bersifat mandiri dan tidak terikat dengan kegiatan jabatan struktural dan jabatan publik.

Pasal 40 yang mengatur larangan rangkap jabatan pengurus KONI dengan jabatan publik dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

"Pasal 43 UU SKN juga bersifat multitafsir terkait penafsiran untuk tingkat wilayah yang dimaksud pasal tersebut. Sementara Pasal UU SKN tak ada perintah membentuk Komite Olimpiade Nasional (KOI). Jika menggunakan pendekatan sosiologis-organisatoris adanya dua badan KONI dan KOI akan berimplikasi inefisiensi dan inefektivitas serta belenggu birokratisasi organisasi," katanya.

Sedangkan Pasal 69, Pasal 70, Pasal 88 UU SKN dinilai juga multitafsir terkait ketidakpastian kejelasan pendanaan baik dari APBN dan APBD.

Pendanaan keolahragaan yang menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat, namun faktanya tidak ada sumber pendanaan yang jelas dan pasti, baik dalam APBN dan APBD.

"Pasal 70 UU SKN bersifat multitafsir khususnya kata kecukupan dan berkelanjutan," katanya.

Oleh karena itu, lanjut Agus, KONI meminta MK menafsirkan secara bersyarat pasal-pasal yang dimohonkan tersebut.

Majelis panel yang memeriksa permohonan pengujian UU SKN ini diketuai Hakim Konstitusi Anwar Usman didampingi Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan Hakim Konstitusi Mhammad Alim sebagai anggota.

Menaggapi permohonan ini, Maria Farida Indrati meminta pemohon menjelaskan kerugian konstitusional yang dialaminya. "Uraikan kerugian konstutusonalnya itu apa yang dijamin dalam UUD 1945, sebab kerugian konstitusional yang dialami pemohon tidak jelas," kata Maria.

Dia juga mempertanyakan dalil pemohon yang menyatakan pasal-pasal yang diuji multitafsir.

"Multitafsirnya seperti apa, ini harus jelas uraiannya. Ada beberapa uraian permohonanya dikatakan multitafsir, tetapi tidak jelas multitafsirnya apa," katanya.

Untuk itu majelis panel memberikan waktu 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya.

Pewarta: Joko Susilo
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014