Jambi (ANTARA) - Hutan di kawasan Taman Nasional Berbak dan Sembilang (TNBS), Jambi, telah menjadi sumber hidup bagi banyak masyarakat yang berada di 10 desa berbatasan langsung dengan wilayah konservasi, mulai dari ikan yang ada di sungai-sungai, sampai buah yang ada di pohon-pohon.

Pada akhirnya, masyarakat terjebak menjadi pelaku perusakan atau pembalakan hutan secara liar. Perusakan alam itu tanpa disadari memberi dampak tidak baik bagi kelangsungan hidup di masa depan.

Fakta itu terlihat ketika menuju ke Simpang Bungur, bagian dari Taman Nasional Berbak dan Sembilang (TNBS), jejak-jejak pucuk pohon sawit tertinggal di permukaan sungai, tenggelam di air berwarna cokelat sebagai akibat longsornya pinggiran Sungai Batanghari karena ketiadaan vegetasi penahan erosi.

Begitu juga ketika menyusuri Sungai Air Hitam Dalam di kawasan itu, ada bekas pembalakan liar yang terjadi belasan tahun sebelumnya. Tunggul pohon yang tertinggal dengan bekas potongan rapi, entah di mana batangnya berlabuh.

Helmi adalah salah satu pelaku pembalakan liar di TNBS, yang kini sudah insaf dan beralih profesi menjadi nelayan serta pembudi daya lebah madu. Ia menjadi salah satu contoh proses pemberdayaan masyarakat yang berhasil dan kini terus dilakukan oleh pengelola TNBS untuk memutus mata rantai pembalakan liar di wilayah tersebut.

Ketika ditemui ANTARA di kawasan hutan itu, Helmi mengaku mengenal banyak petugas di Wilayah I TNBS, karena ketika masih menjadi pembalak liar, para petugas itu adalah salah satu manusia yang dia hindari.

Proses Helmi "bertobat" sebagai pembalak liar, dimulai dari kesadaran, bahkan penyesalan. Dia merasa letih berlari dari kejaran para polisi hutan dan petugas taman nasional serta menyadari bahwa kini pohon yang menjadi targetnya sudah tidak lagi sebanyak dulu, akibat penebangan liar tiada henti.

Kini, dia berfokus menjadi nelayan dan membudidayakan lebah madu, salah satu hasil pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh TNBS bersama Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).

Helmi bercerita secara filosofis bahwa saat kayu yang dia tebang secara ilegal itu daunnya belum kering, tapi uang hasilnya penjualannya langsung "kering" (habis). Hal itu berbeda dengan ketika dia menjadi nelayan, yang meskipun penghasilannya tidak seberapa dibandingkan dengan menebang hutan, dia mengaku uangnya lebih berkah dan dapat dihasilkan secara rutin.

Lelaki itu mengaku menyesal ketika mengetahui bahwa pohon kayu meranti, kini sudah semakin sedikit akibat dari perbuatan dia dan kawan-kawannya. Kesadaran itu muncul setelah beberapa kali ia mendapatkan pencerahan dari petugas TNBS mengenai upaya pelestarian lingkungan dan dampak dari kerusakan hutan yang tidak segera dihentikan.

Tidak hanya itu, bersama belasan warga desa lain, pria berusia 32 tahun tersebut kini juga menjadi anggota kelompok masyarakat yang membudidayakan lebah madu. Meski tidak besar, upaya itu cukup menambah penghasilan mereka sebagai nelayan, yang kerap mereka lakukan di zona tradisional TN Berbak Sembilang.

Untuk sampai ke titik kesadaran tersebut, membutuhkan waktu dan proses yang tidak sebentar. Pendekatan dimulai dari penyadaran oleh personel TN Berbak Sembilang secara kontinu dan berkelanjutan. Berkat usaha yang tidak mengenal lelah dari personel taman nasional, warga desa mulai paham bahwa aktivitas ilegal dari menebang hutan itu tidak akan membuat mereka sejahtera.

Akhirnya, mereka menyadari bahwa aktivitas penebangan ilegal itu memiliki risiko tinggi di dalam hutan. Selain ada polisi hutan yang mengintai, mereka juga bisa menjadi sasaran mangsa dari hewan liar dan buas.

Untuk membawa Hilmi dan kawan-kawan berhenti dari mengincar kayu di hutan untuk ditebang itu, memang memerlukan kesabaran dan pola-pola pendekatan ala masyarakat desa. Dengan ketekunan dan komitmen untuk menyelamatkan lingkungan dan alam, akhirnya masyarakat sadar bahwa mereka sendiri yang nantinya akan terkena dampak dari aksi perusakan hutan itu, termasuk anak keturunannya.

Selain berdampak pada terjadinya bencana alam dan lingkungan, penebangan liar itu juga dapat merusak keanekaragaman hayati dan sehatnya ekosistem yang dibutuhkan untuk mendukung kelangsungan alam yang juga dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup.

Berkaca pada keberhasilan yang kini telah ditempuh Hilmi dan beberapa warga lainnya, manajemen TNBS akan menduplikasi pola pendekatan yang ke masyarakat desa lainnya yang kini masih menjadi pelaku pembalakan liar. Mengingat kebanyakan pembalak itu bermotif masalah ekonomi, maka penyediaan lapangan alternatif untuk mencari nafkah dengan cara legal dan ramah lingkungan menjadi pilihan yang tepat.

Warga tetap bisa memanfaatkan potensi yang disediakan oleh alam di kawasan hutan itu, namun tidak membawa dampak merusak bagi lingkungan, seperti memanfaatkan potensi peternakan lebah yang madunya bisa dijadikan sandaran hidup oleh warga desa.

Kepala Seksi Wilayah I TNBS Bobby Sandra mengatakan bahwa pembalakan liar muncul karena adanya kebutuhan masyarakat lokal maupun yang berasal dari luar wilayah, bahkan sampai dari Pulau Jawa akan kayu-kayu tersebut, salah satunya untuk membuat kapal.

Masalah tersebut menjadi salah satu isu yang menjadi perhatian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan membutuhkan pelibatan masyarakat lokal untuk mencegah hal tersebut terus terjadi. Karena itu TNBS terus berupaya melahirkan Hilmi-Hilmi lain yang ternyata bisa beralih profesi dengan tetap bersahabat dengan hutan.

Kepala Seksi Wilayah I TN Berbak dan Sembilang Bobby Sandra ketika ditemui di Simpang Bungur, TN Berbak dan Sembilang, Jambi, Selasa (6/8/2024) (ANTARA/Prisca Triferna)
Kawasan konservasi

Aliran Sungai Air Hitam Dalam menggiring perahu secara perlahan, melewati juntaian dahan pohon tumbuh mendekat ke arah air. Itulah perjalanan yang harus dilewati pengunjung ketika ingin sampai ke kawasan Simpang Bungur, bagian dari Taman Nasional Berbak dan Sembilang (TNBS), Jambi.

Simpang Bungur berada tepat di wilayah Taman Nasional Berbak Sembilang, yang merupakan kawasan konservasi hutan rawa terbesar di Asia Tenggara. Ketika sampai di lokasi itu, sebuah pos resor sudah menyambut di dekat gerbang dalam situs Ramsar yang merupakan konvensi internasional untuk melindungi ekosistem lahan basah.

Simpang Bungur sendiri menjadi salah satu lokasi inisiasi ekowisata yang dapat dikunjungi oleh turis, untuk merasakan pengalaman bertualang di dalam kawasan hutan ekosistem gambut dan rawa yang dimiliki TN Berbak Sembilang.

Kepala Balai TNBS Eduward Hutapea menjelaskan bahwa TN Berbak memiliki luas kawasan sekitar 141 ribu hektare, dengan lanskap gabungan antara hutan rawa air tawar dan hutan rawa gambut, berbeda dengan tetangganya, yakni Sembilang yang memiliki kekhasan vegetasi mangrove.

TN Berbak Sembilang juga menjadi contoh kayanya keanekaragaman hayati ekosistem hutan rawa dan gambut, termasuk memiliki beberapa satwa kunci, seperti harimau sumatera (Panthera tigris sondaica), tapir asia (Tapirus indicus) dan beberapa jenis buaya. Total tercatat di wilayah itu ada 33 jenis mamalia, 224 jenis burung, 44 jenis reptilia dan 105 jenis ikan.

Untuk kekayaan vegetasi, di TN Berbak Sembilang sudah tercatat 261 jenis tumbuhan, di antaranya 23 jenis palem, 10 jenis pandan, 57 jenis anggrek serta 8 jenis nephentes atau kantong semar. Beberapa flora penting, termasuk anggrek bulan sumatera (Phalaenopsis sumatrana), jelutung, ramin dan rotan juga ada di kawasan itu.

Kawasan konservasi itu sendiri dibagi menjadi beberapa bagian, zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi dan zona tradisional.
 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024