Jakarta (ANTARA) - Koalisi Masyarakat Sipil mengatakan pemerintah harus lebih terbuka dalam proses pembahasan Revisi UU TNI dan Polri demi terciptanya asas transparansi dalam demokrasi.
Hal tersebut dikatakan pihak Koalisi Masyarakat Sipil lantaran sedari awal pembahasan di RUU tersebut dari mulai tahap di DPR hingga Eksekutif terkesan tertutup.
"Harus memastikan partisipasi bermakna dari publik, semua harus bisa terlibat karena dua organisasi ini adalah organisasi penting untuk pertahanan dan juga keamanan negara," kata Wakil Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Menteng, Jakarta Pusat, Rabu.
Menurut Arif, karena pembahasan yang terkesan tertutup, beberapa poin revisi pun luput dari pantauan masyarakat yakni soal penghapusan larangan anggota TNI untuk berbisnis, perpanjangan masa jabatan hingga penempatan anggota TNI aktif di jabatan-jabatan sipil.
Poin-poin revisi itu, menurut Arif, kurang tepat dalam menunjang kinerja TNI dalam melayani masyarakat saat ini. Tidak hanya itu, pihaknya juga menganggap pembahasan RUU TNI dan Polri melanggar aturan karena tidak masuk dalam Prolegnas 2024.
Karena hal tersebut, Arif melaporkan pihak eksekutif dan legislatif ke Komnas HAM atas pembahasan RUU ini.
Dengan adanya pelaporan ini, pihaknya berharap Komnas HAM dapat menelusuri dan membuktikan adanya kejanggalan dalam pembahasan RUU tersebut.
Sebelumnya, Kementerian Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) RI sedang membahas usul menghapus pasal yang melarang personel TNI untuk menjalankan bisnis dalam UU TNI Nomor 34 Tahun 2004.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Marsekal TNI (Purn) Hadi Tjahjanto ketika ditemui di Jakarta Utara, Rabu (17/7) menjelaskan pembahasan itu dilakukan jajaran Kemenko Polhukam dalam rangka Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU TNI.
"Ya ini kan masih dalam proses ya, kita utamanya untuk TNI adalah Pasal 47 dan 53, namun terkait dengan kegiatan bisnis, ini masih terus dalam pembahasan," kata Hadi.
Untuk diketahui, dua pasal yang disebut Hadi yakni soal perpanjangan masa jabatan dan penempatan personel TNI di jabatan publik.
Menurut Hadi, seluruh pihak berhak memberikan masukan kepadanya demi memastikan RUU TNI tepat untuk kebutuhan masyarakat.
Pihak dari unsur TNI pun memiliki hak untuk mengusulkan jika dirasa undang-undang tersebut tidak relevan dengan situasi zaman saat ini.
"Karena sudah 20 tahun UU TNI berjalan, dan kita harus menyesuaikan dengan kebutuhan kekinian," kata Hadi.
Karenanya, dia memastikan seluruh masukan, termasuk penghapus larangan berbisnis, akan dipertimbangkan dengan matang.
Hadi juga akan mendengarkan pendapat dari ahli hingga akademisi dalam proses DIM RUU TNI sebelum diserahkan ke parlemen.
Untuk diketahui, pihak TNI diketahui mengusulkan kepada Kemenko Polhukam untuk menghapus larangan anggota TNI membuka usaha yang tercantum pada Pasal 39 huruf C dalam UU TNI Nomor 34 Tahun 2004.
Usul tersebut disampaikan salah satu anggota TNI dalam forum diskusi yang disediakan Kemenko Polhukam untuk membahas RUU TNI di Jakarta Pusat (11/7).
Usulan tersebut kemudian memicu beragam respons dari kalangan masyarakat dari mulai pengamat hingga akademisi.
Dalam pasal 39 UU TNI 2004 dijelaskan beberapa hal larangan yang diperuntukkan untuk anggota TNI diantaranya dilarang menjadi anggota partai politik, dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis, dilarang terlibat dalam kegiatan bisnis dan terakhir dilarang terlibat dalam kegiatan yang bertujuan untuk dipilih sebagai anggota legislatif ataupun jabatan lain yang bersifat politis.
Baca juga: Menko Polhukam libatkan elemen masyarakat bahas RUU TNI Polri
Baca juga: DPR RI sudah terima surpres RUU TNI, Polri, dan Kementerian Negara
Baca juga: Ketua DPR masih tunggu DIM dari pemerintah guna bahas RUU TNI-Polri
Pewarta: Walda Marison
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024