Jakarta (ANTARA) - ECPAT Indonesia berkolaborasi dengan Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (ASPERHUPIKI) mengelar Konferensi ASEAN tentang Pencegahan dan Respon terhadap Penyalahgunaan Penyedia Jasa Keuangan dalam Eksploitasi Seksual Anak di Bali pada 7-8 Agustus.
ECPAT Indonesia merupakan bagian dari ECPAT Internasional, yaitu sebuah jaringan global yang bekerja untuk menentang kegiatan eksploitasi seksual anak.
Gelaran Konferensi ASEAN itu didukung oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI serta Sekretariat ASEAN.
Konferensi ASEAN juga didukung lembaga-lembaga yang memiliki kepedulian pada perlindungan anak, seperti Yayasan Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA), OUR Rescue Indonesia dan Yayasan Kasih Yang Utama (YKYU), demikian menurut pernyataan pers Sekretariat ASEAN di Jakarta, Rabu.
Adapun tujuan utama Konferensi ASEAN tersebut untuk meningkatkan kesadaran mengenai penyalahgunaan penyedia jasa keuangan dalam kejahatan eksploitasi seksual anak, menjelaskan situasi dan mengeksplorasi cara negara-negara ASEAN merespons dan mengatasi masalah kritis tersebut.
Konferensi itu untuk melibatkan banyak pemangku kepentingan dalam diskusi dengan fokus utama untuk mendapatkan formula yang tepat dan praktik-praktik terbaik dari negara-negara di kawasan ASEAN dalam mengatasi penyalahgunaan penyedia jasa keuangan untuk kejahatan eksploitasi seksual anak.
Untuk mengidentifikasi dan menghentikan eksploitasi seksual anak di negara-negara ASEAN maka diperlukan pendekatan bersama dengan pemerintah, industri (penyedia jasa keuangan), dan masyarakat luas serta rencana aksi regional.
Baca juga: Mahasiswa UNP cegah kekerasan seksual anak dengan aplikasi sendiri
Menurut pernyataan itu, terdapat sejumlah langkah yang harus segera dilakukan negara anggota ASEAN, diantaranya menyusun instrumen hukum bagi perusahaan sektor swasta untuk melaporkan dan menghapus materi kekerasan seksual anak dari platform dan layanan mereka, dan bagi penyedia jasa keuangan diwajibkan melaporkan transaksi mencurigakan yang mungkin terkait dengan materi kekerasan seksual anak.
Selain itu, diperlukan langkah untuk memobilisasi dan meningkatkan keterlibatan dengan sektor swasta dan pemangku kepentingan terkait lainnya untuk secara aktif terlibat dalam pemantauan, pencegahan dan respons melalui peraturan, tanggung jawab sosial perusahaan, dan kolaborasi untuk pengembangan langkah-langkah efektif guna mendeteksi, menghapus, dan melaporkan konten ilegal.
Selanjutnya, membangun kemitraan yang solid antara pemerintah, penegak hukum dan lembaga sektor swasta untuk berbagi informasi terkait dengan materi kekerasan seksual anak yang terjadi di wilayah ASEAN dan membantu penyedia jasa keuangan untuk mengidentifikasi dan melaporkan transaksi yang mencurigakan terkait eksploitasi seksual anak.
Menurut Laporan Financial Intelligence Alliance, eksploitasi seksual pada anak dimungkinkan karena adanya transaksi finansial antara pelaku dan korban, antara pelaku dan fasilitator/mucikari atau antara pelaku dan pemasok (pembelian konten-konten materi kekerasan/eksploitasi seksual anak).
Transaksi tersebut terjadi karena adanya kemudahan dalam pemanfaatan teknologi finansial yang saat ini banyak dikembangkan jasa penyedia keuangan di ranah global. Untuk itu, diperlukan kecerdasan finansial dalam mendeteksi dan menghentikan eksploitasi seksual terhadap anak pada sektor keuangan.
Kejahatan eksploitasi seksual anak, termasuk perdagangan anak untuk tujuan seksual, diketahui menghasilkan keuntungan yang cukup besar.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan total keuntungan yang diperoleh dari penggunaan kerja paksa, termasuk eksploitasi seksual, yakni sebesar 150,2 miliar dolar AS (sekitar Rp2,4 kuadriliun) per tahun.
Baca juga: Polri tetapkan empat tersangka kasus eksploitasi seksual anak daring
Menurut ILO, total keuntungan tahunan berada pada batas tertinggi di Asia (51,8 miliar dolar AS) dan negara maju (46,9 miliar dolar AS) pada 2014. Penyebabnya adalah tingginya jumlah korban di Asia dan besarnya keuntungan per korban di negara maju.
Sementara itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan transaksi keuangan sebesar Rp114 miliar terkait tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan pornografi anak pada 2022, yang mana kedua kejahatan tersebut masuk ke dalam bentuk kejahatan eksploitasi seksual anak.
Pelacakan PPATK tersebut berhasil diungkap melalui aktivitas transaksi perbankan.
PPATK menyatakan bahwa banyak pelaku pornografi anak menggunakan dompet digital/e-wallet untuk pembayaran konten dan pelaku dari eksploitasi seksual anak ini bukan hanya berasal dari wilayah Indonesia saja, namun juga berasal dari luar negeri.
Mereka mencari konten eksploitasi seksual anak di Indonesia dan melakukan pembayaran dengan menggunakan bank dan penyedia jasa keuangan lainnya yang dapat digunakan untuk mengirim uang.
Baca juga: KPAI dan PPATK teken MoU cegah TPPU yang libatkan anak
Pewarta: Asri Mayang Sari
Editor: Yuni Arisandy Sinaga
Copyright © ANTARA 2024