Simferopol, Ukraina (ANTARA News) - Para pemimpin Pro-Rusia di Krimea telah menuntaskan persiapan terakhir referendum yang akan membuat semenanjung di Laut Baltik ini memisahkan diri dari Ukraina untuk bergabung dengan Rusia, di tengah ancaman sanksi dan kutukan dari Barat.

Referendum hari Minggu esok itu disebut Ukraina tidak sah dan memicu krisis terburuk Timur-Barat sejak Perang Dingin, serta meningkatkan ketegangan di Ukraina timur di mana dua orang terbunuh.

Hari Sabtu ini jalan-jalan di ibukota Krimea, Simferopol, tenang meski ada kehadiran luar biasa militer.

Perdana Menteri Krimea Sergei Aksyonov mengatakan bahwa referendum akan berlangsung aman.

"Saya kira kami punya cukup orang berupa lebih dari 10.000 pasukan bela diri, lebih dari 5.000 unit pasukan Kementerian Dalam Negeri dan pasukan keamanan Republik Krimea," kata dia.

Di Kiev, parlemen Ukraina memutuskan membubarkan parlemen Krimea yang mengorganisasi referendum dan menyatakan bergabung dengan Rusia itu.

Kebanyakan elektorat Krimea yang berpenduduk 1,5 juta orang diperkirakan akan memilih bergabung dengan Rusia dalam referendum nanti mengingat mayoritas penduduknya adalah keturunan Rusia. Tapi sebagian lainnya memilih karena alasan ekonomi.

"Di Rusia saya bisa berpendapatan tiga kali dari yang saya dapat di Ukraina," kata Svetlana Dzubenko, pekerja Krimea di jaringan kereta Ukraina yang masih berumur 20 tahunan seperti dikutip Reuters.

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2014