Waktu itu Museum Nusantara di Delft tutup karena kehabisan anggaran, koleksinya ingin diserahkan kepada museum lain, termasuk Indonesia
Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid mengisahkan dirinya sempat menolak membayar biaya logistik pengembalian benda budaya dari Museum Nusantara di Delft, Belanda.

"Waktu itu Museum Nusantara di Delft tutup karena kehabisan anggaran, koleksinya ingin diserahkan kepada museum lain, termasuk Indonesia. Karena museumnya tutup, enggak punya duit, barangnya dikembalikan, dan sebelum barangnya dikembalikan, harus dikosongkan dari museum tersebut, ditaruh di gudang. Indonesia kemudian disuruh bayar gudangnya, saya enggak mau," kata Hilmar dalam seminar di Gedung Kemendikbudristek Jakarta, Selasa.

Ia menegaskan, isu logistik mesti masuk ke dalam bahasan mengenai riset provenans, atau riset untuk mencari sumber dan sejarah kepemilikan karya seni dan temuan arkeologi.

"Siapa yang bertanggung jawab mengembalikan, siapa yang harus bayar ongkosnya benda itu kembali dari Belanda ke Indonesia, mesti jadi bahasan. Saat itu ketika menolak, beritanya Dirjen Kebudayaan menolak pengembalian dari Belanda, padahal saya menolak bayar ongkosnya karena mereka yang mengembalikan. Mereka yang punya masalah, mengapa kita yang harus bayar?" katanya.

Ia menekankan, negosiasi di dalam proses restitusi itu juga tidak mudah karena penuh dengan dinamika.

"Kita juga harus memiliki sikap yang jelas. Ini di luar restitusi terkait ketidakadilan historis, karena waktu itu museumnya enggak punya duit, jadi mau dikosongkan barang-barangnya. Kalau kita mau menegakkan keadilan historis, tentunya harus dengan cara yang benar juga," ujarnya.

Ia mengemukakan, terkait restitusi berdasarkan riset provenans, dalam kasus tersebut maka yang harus membayar biaya adalah Belanda.

"Kamu -Belanda- dulu ngambil juga tanpa izin, sekarang harus bertanggung jawab mengembalikan, mengapa tanggung jawab itu jatuh ke kita, dan itu adalah proses dari negosiasi agar teman-teman tahu mengapa mengembalikannya lama," katanya.

Hilmar menjelaskan, diskusi tentang restitusi berubah di tahun 2019-2020, di mana Belanda berubah sikap karena ada satu tren di Eropa yang dimulai oleh Presiden Macron di Prancis ketika mengembalikan koleksi yang ada di Museum Prancis ke Afrika.

"Ada gelombang diskusi yang besar setelah itu, kita mulai diajak diskusi pada 2019-2020 tentang bagaimana caranya mengelola restitusi atau pengembalian benda-benda yang diperoleh dengan cara penjarahan atau tidak sah di masa lalu," tuturnya.

Ia menyampaikan, penegakan benda-benda jarahan perlu melibatkan riset provenans, karena Indonesia perlu tahu dari mana benda-benda sejarah yang sekarang dipajang di Belanda itu berasal, dengan cara apa sampai akhirnya dikoleksi di sana, dan bagaimana narasinya.

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: M. Tohamaksun
Copyright © ANTARA 2024