Menjadi sangat penting adanya kementerian yang mengurusi urusan masyarakat adat, termasuk ....
Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) dan sejumlah tokoh adat mengajukan permohonan uji materi Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terhadap UUD NRI Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi untuk menjamin kepastian urusan masyarakat adat.

Para pemohon dalam perkara Nomor 67/PUU-XXII/2024 itu menyatakan bahwa Pasal 5 ayat (2) UU Kementerian Negara belum memuat urusan adat sehingga mengakibatkan tidak masuknya urusan adat dalam nomenklatur kementerian yang secara khusus mengurusi masyarakat hukum adat.

"Menjadi sangat penting adanya kementerian yang mengurusi urusan masyarakat adat, termasuk melakukan inventarisasi dan memberikan status sebagai masyarakat hukum adat sebagai bentuk pengakuan negara terhadap eksistensi masyarakat adat," kata kuasa hukum para pemohon, Viktor Santoso Tandiasa, dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Selasa.

Perkara tersebut diajukan oleh APHA yang diwakili oleh Prof. Laksanto Utomo selaku ketua umum dan Rina Yulianti selaku sekretaris jenderal serta enam tokoh masyarakat adat lainnya.
 
Ketua Umum APHA Indonesia Prof. Dr. St. Laksanto Utomo, S.H., M.Hum. (kedua dari kiri) ketika berada di Desa Wae Rebo, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Ubhara Jaya) ini menuju desa adat terpencil itu menggunakan sepeda motor dengan waktu tempuh 4 jam dari Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT, kemudian mendaki ke lokasi selama 2 jam. ANTARA/Dokumentasi Pribadi


Para pemohon mendalilkan bahwa Pasal 5 ayat (2) UU Kementerian Negara bertentangan secara bersyarat terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal yang diuji menjadi salah satu dasar untuk menyusun nomenklatur kementerian negara. Akan tetapi, para pemohon menyoroti bahwa urusan adat belum termasuk ke dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kementerian Negara.

Padahal, menurut para pemohon, urusan adat yang subjek hukumnya masyarakat hukum adat secara eksplisit telah disebutkan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

Viktor menjelaskan bahwa hal ini menjadikan urusan adat masih belum terlembaga secara penuh atau terpecah di beberapa kementerian. Oleh sebab itu, akan lebih konstitusional jika dibentuk kementerian yang nantinya mengurusi urusan adat.

Berdasarkan dalil-dalil tersebut, para pemohon meminta MK memasukkan kata "adat" ke dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kementerian Negara. Dengan demikian, bunyi pasal tersebut diminta untuk diubah menjadi:

"Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b meliputi urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, pendidikan, kebudayaan, adat, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan."

Baca juga: APHA: Perlu "political will" untuk tuntaskan masalah masyarakat adat 
Baca juga: APHA: Membentuk Kementerian Masyarakat Adat lewat MK lebih efektif 

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024