Jakarta (ANTARA) - Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali menyebut buku baru karya Laksamana TNI (Purn.) Prof. Marsetio, KSAL periode 2012–2014, bakal menjadi bacaan wajib para perwira TNI AL.

Dia mengatakan buku  yang berjudul “Sea Power Indonesia di Era Indo-Pasifik” merupakan bacaan yang penting karena memberi analisis tajam mengenai situasi geopolitik di Indo-Pasifik dan Laut China Selatan sehingga perlu dibaca oleh para perwira muda yang nantinya akan menjadi generasi penerus TNI Angkatan Laut.

“Saya mengucapkan selamat dan terima kasih kepada Prof. Marsetio yang telah meluncurkan buku ini. Buku ini penting bagi TNI Angkatan Laut terutama bagi generasi muda Angkatan Laut,” kata Laksamana Ali saat jumpa pers selepas acara peluncuran buku di Wisma Elang Laut, Jakarta, Selasa.

Dalam kesempatan yang sama, KSAL juga berterima kasih kepada seniornya itu karena dia bakal memberikan buku terbarunya itu ke seluruh jajaran Armada TNI AL, yang terdiri atas Komando Armada (Koarmada) I, Koarmada II, dan Koarmada III.

Dalam kesempatan yang sama, Marsetio menyebut buku itu merupakan kelanjutan dari buku Sea Power Indonesia, yang terbit pada 2014.

Dalam buku terbarunya itu, Marsetio menyampaikan pandangannya mengenai kekuatan maritim (sea power) Indonesia di tengah kontestasi kekuatan militer dua negara, yaitu Amerika Serikat dan China di kawasan Indo-Pasifik, termasuk di Laut China Selatan.

Angkatan Laut Amerika Serikat, katanya, tidak meratifikasi dan menandatangani Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut (UNCLOS), dan atas nama kebebasan berlayar (freedom of navigation) kapal-kapal perang Amerika Serikat saat ini berlayar dengan bebas di perairan internasional, termasuk di Laut China Selatan yang 99 persen wilayahnya diklaim secara sepihak oleh China.

Dengan demikian, menurut Marsetio, potensi konflik terbuka di Laut China Selatan pun tak dapat dihindari. Namun dalam bukunya, dia menemukan ada peluang untuk mengubah perairan Laut China Selatan yang rentan konflik itu menjadi kawasan kerja sama.

Dia mencontohkan kerja sama itu dapat dibentuk seperti Arctic Council yang berdiri pada 19 September 1996 dan saat ini beranggotakan delapan negara yaitu Kanada, Denmark, Finlandia, Islandia, Norwegia, Rusia, Swedia, dan Amerika Serikat.

“Kenapa tidak dibentuk misalnya Indo-Pacific Council, South China Sea Council, yang semata-mata tadi, di buku saya juga saya tulis yang utama bagaimana dunia akan ada ke depan apabila negara-negara dunia memahami yang disebut Sustainable Development Goals (SDGs),” kata Marsetio.

Menurut dia, tujuan bersama negara-negara dunia untuk mencapai SDGs dapat menjadi rujukan untuk membentuk kerja sama di perairan dan kawasan yang rentan konflik tersebut.

Dalam acara peluncuran buku “Sea Power Indonesia di Era Indo-Pasifik”, sejumlah tokoh hadir, di antaranya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, KSAL dari masa ke masa, dan mantan menteri pertahanan serta menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro. Di lokasi acara, ada juga pejabat utama Markas Besar TNI dan Markas Besar TNI AL.
Baca juga: Buka diskusi IMSS, KSAL tekankan pentingnya ketahui potensi ancaman
Baca juga: KSAL menghadap Wapres laporkan situasi keamanan laut Indonesia
Baca juga: KSAL resmikan Gedung Simulator SMPS untuk perkuat Korps Hiu Kencana

 

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024