Jakarta (ANTARA) - Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyebut permohonan uji materi Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Pilkada yang membubuhkan judul Kaesang Dilarang Jadi Gubernur merupakan suatu hal yang tidak etis.
“Ini permohonan yang tidak etis, kalau saya mengatakan. Tidak boleh dikasih begini. Apalagi ini kuasa hukumnya dan pemohonnya adalah anak-anak muda, tidak perlu dikasih begitu, tidak etis,” kata Arief dalam sidang pendahuluan di Ruang Sidang Pleno MK RI, Jakarta, Senin.
Perkara Nomor 99/PUU-XXII/2024 itu diajukan oleh warga Surakarta, Jawa Tengah, Aufaa Luqmana Rea. Ia meminta Mahkamah Konstitusi untuk menetapkan agar syarat usia calon kepala daerah dihitung pada saat pelaksanaan pemungutan suara.
Merujuk pada berkas permohonan yang diunduh dari laman resmi MK, Aufaa Luqmana menuliskan judul Kaesang Dilarang Jadi Gubernur di bagian halaman depan.
Menurut Arief, judul tersebut seperti memprovokasi orang Indonesia maupun hakim konstitusi supaya memutus perkara sesuai dengan keinginan pemohon. Hal seperti itu juga tidak lazim dalam berkas permohonan uji materi undang-undang.
“Ada heading (judul) Kaesang Dilarang Jadi Gubernur, ini tidak memenuhi kaidah-kaidah kepatutan, kaidah-kaidah kepantasan. Itu tidak ada dan tidak lazim, supaya dihapus. Ini provokatif, tidak boleh permohonan begini ini,” ujar Arief.
Arief mengingatkan, praktik berhukum di Indonesia harus berkarakter Pancasila. “Jadi selain berhukum berdasarkan rule of law (aturan hukum), juga ada rule of ethics (aturan etika),” kata dia.
Mantan ketua MK itu menyarankan pemohon untuk menghapus judul tersebut.
“Itu tolong dihapus, tapi terserah saudara mau dihapus atau tidak. Tapi, dari sisi saya sebagai orang tua, memberi nasihat yang hukum itu juga ada di balik hukum, ada moral etika, kepatutan, kepantasan, kewajaran, dan ada semangat tidak saling menyakiti. Itu harus kita lakukan,” ucapnya.
Senada dengan Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Arsul Sani juga menyampaikan hal yang sama. “Sebaiknya judul permohonan yang berbunyi Kaesang Dilarang Jadi Gubernur itu tidak perlu ada,” kata Arsul.
Pada perkara ini, Aufaa Luqmana menguji konstitusionalitas Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).
Pemohon mendalilkan, pasal tersebut tidak menentukan titik penghitungan pada tahapan mana syarat usia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota.
Sebagai pemilih pada Pemilihan Gubernur Jawa Tengah 2024, pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya apabila ketentuan umur pada pasal yang diuji dimaknai sesuka hati.
“Aturan yang tidak memberikan kepastian hukum dimanfaatkan oleh beberapa orang untuk mendukung Kaesang Pangarep menjadi Gubernur Jawa Tengah yang sebenarnya belum memenuhi persyaratan Pilkada Gubernur 2024,” kata Aufaa.
Menurut dia, syarat usia calon kepala daerah pada pasal diuji seharusnya terhitung pada saat pemungutan suara dilakukan. Pemungutan suara dinilai sebagai titik akhir perdebatan makna umur karena pada tahapan itu para kontestan pilkada masih berstatus pasangan calon.
“Jika setelah pemungutan suara, maka tidak ada pasangan calon, tetapi pasangan terpilih,” ucap Aufaa yang mengikuti persidangan secara daring.
Agar menjamin kepastian hukum, Aufaa meminta MK memaknai Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada menjadi: berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota terhitung pada saat pelaksanaan pemungutan suara.
Baca juga: Mahasiswa gugat penetapan syarat usia calon kepala daerah ke MK
Baca juga: Anwar Usman tak ikut putus perkara uji materi usia calon kepala daerah
Baca juga: Partai Buruh dan Gelora minta MK percepat putus uji materi UU Pilkada
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024