"Hutan Desa merupakan instrumen tepat untuk memberikan hak masyarakat lokal terhadap lahan. Cara tersebut memaksa pihak luar membuat pengecualian untuk menggunakan lahan di kawasan Hutan Desa," kata Principal Scientist Forest and Livelihood Programme Center for International Forestry Research (CIFOR) William Sunderlin disela-sela workshop internasional Deforestation and the Right of Forest Peoples di Palangkaraya, Kalimantan Tengah (Kalteng), Kamis.
Meski demikian, William mengatakan instrumen pemberian hak kelola hutan pada masyarakat dalam bentuk Hutan Desa ini perlu mendapatkan dukungan mengingat perolehan izin pengelolaannya butuh waktu bertahun-tahun.
"Sangat berbeda dengan perizinan yang diberikan untuk perusahaan besar dan itu yang perlu diubah," ujar William.
Lebih lanjut ia mengatakan pelaksanaan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU⿐X/2012 tentang Hutan Adat menjadi penting dilakukan karena langkah pertama yang harus dilakukan memang memberikan hak pengelolaan hutan kepada masyarakat adat dan masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan.
"Dengan mengikuti putusan MK tentu akan mempermudah masyarakat memperoleh ijin mengelola Hutan Desa tersebut," ujar dia.
Selain memberikan apa yang menjadi hak dari masyarakat adat, "One Map Policy" di Indonesia perlu segera diberlakukan guna memecahkan masalah tumpang tindih di sektor kehutanan.
Forest advisor untuk Britains Department for International Development (DFID) Andy Roby mengatakan perusahaan kayu dan produsen minyak sawit menjadi pihak yang banyak membuka hutan.
Meski mereka tidak membuka hutan secara ilegal namun banyak yang beroperasi tidak secara lestari.
Intervensi pasar merupakan langkah yang masih perlu dilakukan untuk menekan deforestasi di Indonesia, seperti memberlakukan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) meski Andy mengakui sistem sertifikasi itu ternyata belum mampu menangkal deforestasi.
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014