Jakarta (ANTARA) - Koperasi sebagai self-regulatory organization (SRO) dalam tata kelembagaan sistem perekonomian nasional di Indonesia merujuk pada kemampuan koperasi untuk mengatur dan mengawasi dirinya sendiri, sesuai dengan prinsip-prinsip dan regulasi yang telah ditetapkan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, koperasi di Indonesia diakui sebagai kumpulan orang yang berperan penting dalam kesejahteraan anggotanya dan masyarakat luas.

Koperasi di Indonesia beroperasi berdasarkan asas kekeluargaan dan gotong royong, yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang menekankan ekonomi kerakyatan.

Dalam konteks internasional, koperasi diakui sebagai entitas yang dapat berfungsi sebagai SRO, di mana mereka memiliki otoritas untuk menetapkan standar operasional, memantau kepatuhan, dan menegakkan aturan di antara anggotanya, tanpa campur tangan langsung dari pemerintah.

Prinsip ini sejalan dengan definisi koperasi, menurut International Cooperative Alliance (ICA), yang menekankan bahwa koperasi adalah asosiasi otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial, dan budaya mereka melalui perusahaan yang dimiliki bersama dan dikendalikan secara demokratis.

Praktik koperasi sebagai SRO di Indonesia juga mencakup kolaborasi dengan pemerintah dalam berbagai program pembangunan.

Sebagai contoh, koperasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berperan aktif dalam upaya penanggulangan stunting melalui kerja sama dengan pemerintah daerah dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

Inisiatif seperti ini menunjukkan bagaimana koperasi dapat berfungsi sebagai soko guru perekonomian yang tidak hanya berfokus pada aspek ekonomi, tetapi juga pada isu-isu sosial yang kompleks, dengan tetap menjaga jati dirinya sebagai entitas yang mandiri dan berorientasi pada kesejahteraan bersama.

Pengawasan usaha simpan pinjam koperasi di berbagai negara menunjukkan variasi model yang menarik, dengan tetap mempertahankan kearifan lokal dan model bisnis khas koperasi.

Di Jerman, misalnya, koperasi kredit (Volksbanken dan Raiffeisenbanken) beroperasi di bawah pengawasan Federal Financial Supervisory Authority (BaFin)) dan Deutsche Bundesbank.

Sistem ini menggabungkan pengawasan ketat ala perbankan dengan prinsip-prinsip koperasi yang mengakar kuat dalam masyarakat di negara itu.

Koperasi kredit Jerman tetap mempertahankan fokus pada layanan kepada anggota dan komunitas lokal, sambil mematuhi standar tata kelola perusahaan yang baik (GCG), melalui audit wajib oleh asosiasi koperasi regional dan nasional.

Di Kanada, credit unions (setara koperasi simpan pinjam), diawasi oleh otoritas provinsi masing-masing, dengan beberapa provinsi membentuk badan pengawas khusus untuk sektor ini. Misalnya, di British Columbia, Financial Services Authority (BCFSA) bertanggung jawab atas pengawasan credit unions.

Model ini memungkinkan pengawasan yang lebih dekat dengan karakteristik lokal setiap provinsi, sambil tetap menegakkan standar nasional untuk keamanan dan kesehatan lembaga keuangan.

Credit unions Kanada berhasil memadukan nilai-nilai koperasi, seperti demokrasi dan kepedulian terhadap komunitas dengan praktik manajemen risiko dan tata kelola modern.

Sementara itu, di India, koperasi simpan pinjam berada di bawah pengawasan ganda, yakni Reserve Bank of India (RBI) untuk aspek perbankan dan Kementerian Koperasi untuk aspek kelembagaan koperasi.

Model ini mencerminkan upaya untuk menyeimbangkan kebutuhan akan stabilitas keuangan dengan pelestarian identitas koperasi yang kuat di India.

Meskipun menghadapi tantangan dalam implementasi, pendekatan ini memungkinkan koperasi simpan pinjam India untuk mempertahankan fokus pada pemberdayaan ekonomi di akar rumput dan inklusi keuangan, sambil secara bertahap meningkatkan standar tata kelola dan manajemen risiko mereka sesuai dengan praktik terbaik internasional.


Perkuat peran

Koperasi sebagai self-regulatory organization (SRO), dalam konteks usaha simpan pinjam di Indonesia dapat dimaknai sebagai upaya untuk memperkuat peran koperasi dalam mengatur dan mengawasi dirinya sendiri, sambil tetap mematuhi prinsip-prinsip koperasi dan good corporate governance (GCG).

Koperasi simpan pinjam di Indonesia dituntut untuk menjalankan prinsip pengelolaan keuangan yang bertanggung jawab dan dilengkapi dengan legalitas usaha yang jelas, sebagaimana diatur dalam Surat Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia Nomor: B-533/KUKM/Dep.1/XII/2021 yang diedarkan ke seluruh dinas koperasi dalam upaya peningkatan tata kelola koperasi ke depan.

Dalam perannya sebagai SRO, koperasi simpan pinjam di Indonesia harus mampu menyeimbangkan antara kepentingan anggota dan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku.

Koperasi dituntut untuk menerapkan prinsip-prinsip GCG, seperti transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan kewajaran dalam operasionalnya.

Hal ini, termasuk membatasi kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan prinsip koperasi, seperti larangan menyalurkan pinjaman ke pihak selain anggota koperasi atau melakukan layanan jasa keuangan di luar usaha simpan pinjam.

Dengan demikian, koperasi simpan pinjam dapat mempertahankan identitasnya sebagai lembaga keuangan berbasis keanggotaan yang fokus pada pemberdayaan ekonomi anggotanya.

Konsep pengaturan dan pengawasan koperasi simpan pinjam yang ideal dapat dibangun dengan menerapkan sistem berjenjang yang melibatkan gerakan koperasi pada masing-masing model bisnis, melalui koperasi sekunder mereka.

Pendekatan ini memungkinkan terciptanya mekanisme pengawasan mandiri yang efektif, sambil tetap mempertahankan prinsip kemandirian dalam perkoperasian.

Dalam sistem ini, koperasi primer akan berada di bawah pengawasan langsung koperasi sekunder, sesuai dengan model bisnisnya, seperti Inkopdit untuk koperasi kredit, Inkopsyah untuk koperasi simpan pinjam syariah, Inkud untuk koperasi konsumen, dan Inkowapi untuk koperasi wanita.

Koperasi sekunder ini akan berperan sebagai lembaga pengawas tingkat pertama yang melakukan proses screening dalam perizinan dan menerima pelaporan rutin dari koperasi primer.

Mereka akan menjalankan fungsi pengawasan, pembinaan, dan dukungan teknis kepada koperasi primer anggotanya, memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip koperasi dan standar operasional yang telah ditetapkan.

Dengan adanya sistem berjenjang ini, pemerintah dapat berperan sebagai regulator dan pengawas tingkat akhir, fokus pada pembuatan kebijakan dan pengawasan makro terhadap sektor koperasi.

Peran aktif koperasi sekunder dalam pengawasan dan pembinaan akan membantu meringankan beban pemerintah, sekaligus meningkatkan efektivitas pengawasan karena dilakukan oleh lembaga yang lebih memahami karakteristik dan kebutuhan spesifik masing-masing jenis koperasi.

Sistem ini juga mendorong partisipasi aktif gerakan koperasi dalam mengatur diri sendiri, memperkuat rasa kepemilikan dan tanggung jawab bersama, serta meningkatkan profesionalisme dalam pengelolaan koperasi.

Dengan demikian, prinsip kemandirian koperasi dapat dipertahankan, sementara pemerintah tetap dapat menjalankan fungsi pengawasannya secara lebih efisien dan efektif.

*) Penulis adalah Warek III Ikopin University, Ketua Umum IMFEA dan ADEKMI.


Copyright © ANTARA 2024