Padang (ANTARA) - Program Perhutanan Sosial yang menjadi salah satu program unggulan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kini menjadi prioritas untuk diwujudkan oleh Dinas Kehutanan Sumatera Barat.

Dalam lima tahun terakhir, Program Perhutanan Sosial di Sumatera Barat (Sumbar) menunjukkan hasil positif. Hasil yang belum pernah diraih sebelumnya, yaitu terhentinya laju penebangan hutan di daerah itu.

Di tengah tren penggundulan hutan di banyak wilayah, luas kawasan hutan di Sumatera Barat malah bertambah. Hutan yang semakin luas itu tidak hanya berkontribusi pada penurunan efek rumah kaca, tetapi juga dirasakan manfaatnya secara ekonomis oleh masyarakat pinggiran hutan.

Terhentinya laju penggundulan hutan di Sumatera Barat itu juga diakui oleh kelompok masyarakat yang menaruh perhatian tinggi pada upaya pelestarian hutan yang dilakukan melalui analisis citra satelit secara independen.

Berdasarkan citra satelit itu, KKI Warsi mencatat pada 2023 terjadi penambahan tutupan hutan di Sumatera Barat sekitar 3.000 hektare. Pada 2022, tutupan hutan di Sumbar seluas 1.737.964 ha, sedangkan di 2023 bertambah menjadi 1.741.848 ha.

Dari pantauan satelit diketahui pertambahan tutupan hutan itu mayoritas berada di kawasan perhutanan sosial. Itu adalah kawasan hutan yang hak pengelolaannya diserahkan secara sah oleh pemerintah kepada masyarakat. Fakta itu menunjukkan bahwa ketika masyarakat diberikan izin dan kepercayaan seperti itu mereka mampu mengelola hutan dengan baik. Terbukti dengan pertumbuhan hutan di wilayah izin yang mereka kelola.


Harapan dan tantangan

Hingga 2023, Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Barat Yozarwardi mencatat kawasan hutan yang telah mendapatkan izin pengelolaan Perhutanan Sosial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mencapai 205 unit dengan luas mencapai 287,553 hektare. Di dalam 205 unit izin yang dikeluarkan itu telah terbentuk 618 unit Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) yang fokus untuk menggarap potensi usaha di dalam kawasan pengelolaannya.

Berdasarkan survei yang dilakukan Dinas Kehutanan Sumbar, ada sekitar 175.892 Kepala Keluarga (KK) yang saat ini berada di sekitar kawasan dan memanfaatkan Program Perhutanan Sosial. Jika satu KK diasumsikan lima orang, maka terdapat 877.765 orang yang bisa menggantungkan hidup pada kawasan hutan tersebut.

Berkaca pada data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Barat yang mencatat jumlah penduduk Sumbar pada 2023 mencapai 5.757.205 orang, maka, saat ini, 15,24 persen masyarakat bisa menggantungkan hidup pada program itu. Angka itu juga masih bisa bertambah karena alokasi kawasan hutan untuk Perhutanan Sosial di Sumbar mencapai 500.000 hektare. Masih tersisa alokasi 212. 447 hektare lagi yang bisa dikeluarkan izin pengelolaan hutan melalui program itu.

Angka-angka itu menunjukkan sebuah harapan sekaligus tantangan. Harapan karena kerja keras dinas kehutanan bersama jajaran hingga ke kabupaten dan kota telah menunjukkan hasil positif. Itu artinya apa yang telah mereka kerjakan selama ini sudah pada jalur yang tepat. Hutan di Sumatera Barat yang sebelumnya terus berkurang, sekarang mulai tumbuh dan lestari kembali.

Bagi jajaran Dinas Kehutanan Sumatera Barat, keberhasilan itu adalah sebuah kebahagiaan. Sebuah pembuktian bahwa merambah hutan bukan satu-satunya cara bagi masyarakat untuk memanfaatkan hutan demi mendapatkan penghasilan. Bahwa ada cara lain yang lebih ramah lingkungan dalam memperlakukan hutan, tetapi tetap bisa memberikan penghasilan.

Tapi di sisi lain, keberhasilan itu juga merupakan sebuah tantangan. Terhentinya laju penggundulan itu harus terus dipertahankan pada tahun-tahun berikutnya agar luas kawasan hutan tidak menyusut kembali. Perlu tekad dari seluruh pihak untuk bisa menjaga keadaan tersebut. Apalagi, harus diakui belum semua kawasan hutan yang telah mendapatkan izin pengelolaan itu tumbuh dan memberikan manfaat besar secara ekonomi pada masyarakat.

Ada beberapa kawasan yang masih stagnan, sehingga perlu terus dipacu sehingga semangat masyarakat untuk betul-betul terlibat dalam upaya menjaga hutan . tidak kendor.

Penting untuk berkolaborasi dengan semua pihak, salah satunya dengan kelompok masyarakat yang selam ini menunjukkan perhatian tinggi pada bidang pelestarian lingkungan dan kehutanan. Hal itu untuk bisa menjaga antusiasme masyarakat sekitar hutan, agar bisa berinovasi memanfaatkan lahan hutan untuk bisa menghasilkan dan membantu meningkatkan kesejahteraan.

Kolaborasi pemerintah dengan elemen masyarakat yang selama ini telah terjalin dengan baik perlu terus dijaga dan ditingkatkan. Apalagi, selama ini, dinas kehutanan telah memberikan ruang seluas-luasnya kepada elemen masyarakat itu untuk menyampaikan temuan-temuan mereka di lapangan, menyampaikan kritik maupun saran. Dalam pertemuan itu, media massa juga diundang sehingga tidak ada informasi yang bisa disembunyikan.


Potensi

Program Perhutanan Sosial dengan lima skema, yaitu Hutan Desa (HD) atau Hutan Nagari, Hutan Kemasyarakatan (Hkm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA), dan Kemitraan Kehutanan (KK) memiliki potensi besar untuk memberikan peningkatan kesejahteraan pada masyarakat sekitar hutan.

Beberapa yang telah sukses, di antaranya Hutan Kemasyarakatan (HKm) Solok Radjo di Nagari Air Dingin, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok. Daerah di ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut itu sangat cocok untuk tanaman kopi. Meski awalnya harus berjalan, berkat kegigihan sejumlah anak muda yang mendirikan Koperasi Produsen & Serba Usaha (KPSU) Solok Radjo pada 2014, saat ini produknya telah menembus pasar ekspor ke Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan Korea.

Ketua KPSU dan HKm Solok Radjo Joni Sandika Putra menyebut mereka menampung hasil panen kopi dari ratusan masyarakat pemilik batang kopi di dalam kawasan HKm Solok Radjo. Buah kopi yang diterima khusus buah ceri, yaitu yang telah matang berwarna merah. Rata-rata masyarakat telah memahami jenis buah yang ditampung KPSU Solok Radjo itu.

Simbiosis antara ratusan petani dan pengelola HKm Solok Radjo itu berhasil memberikan dampak ekonomi yang signifikan terhadap masyarakat sekitar yang rata-rata adalah petani holtikultura. Penghasilan dari kopi yang dijual pada KPSU Solok Radjo bisa menjadi penyangga belanja harian bagi mereka, menjelang kebun holtikultura bisa dipanen.

Potret keberhasilan Program Perhutanan Sosial juga bisa dilihat dari Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) Taram, Kabupaten Limapuluh Kota, yang mendapatkan izin pengelolaan hutan dalam skema Hutan Nagari dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2018 seluas 800 hektare.

Saat ini, kata Ketua Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Ekowisata Kapalo Banda Muhammad Yahdi, dari pengelolaan objek wisata di kawasan itu, perputaran uang bisa mencapai Rp2 miliar per tahun. Perputaran uang itu berasal dari tiket masuk objek wisata, usaha-usaha makanan, minuman dan UMKM lainnya, serta kantong-kantong sumber pendapatan lain dari sektor jasa, seperti travel, penyewaan kendaraan bermotor dan penginapan milik masyarakat.


Mengentaskan kemiskinan

Potensi Perhutanan Sosial di Sumatera Barat itu terbukti mampu mengangkat pendapatan petani hutan (sebutan untuk masyarakat yang mengelola kawasan hutan), sehingga berpotensi mendukung upaya pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan.

Menurut definisi BPS, warga miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Sementara garis kemiskinan merupakan nilai pengeluaran minimum kebutuhan makanan dan bukan makanan yang harus dipenuhi agar tidak dikategorikan miskin.

Data BPS Sumatera Barat, pada Maret 2024, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di provinsi itu mencapai 345,73 ribu orang (5,97 persen).

Dinas Kehutanan Sumbar mencatat dalam tiga tahun terakhir pendapatan petani hutan sudah naik signifikan. Pendapatan itu jauh di atas pendapatan masyarakat kategori miskin, menurut kategori dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Pada 2020 pendapatan petani hutan di Sumatera Barat sebesar Rp1.517.160 per bulan, kemudian naik drastis menjadi rata-rata Rp2.319.511 pada 2023. Angka itu jauh di atas pendapatan masyarakat miskin versi BPS, yaitu Rp525.005 perkapita per bulan untuk perdesaan dan Rp569.299 untuk warga perkotaan.

Merujuk pada jumlah masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan sekitar 175.892 kepala keluarga (KK) atau 877.765 orang, jika diasumsikan satu KK terdapat lima orang, efek yang ditimbulkan untuk mengentaskan kemiskinan dari pinggiran hutan itu cukup signifikan.

Sumatera Barat telah menjadi contoh bagaimana program pemerintah dapat betul-betul dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, khususnya mereka yang berada di pinggiran hutan.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024