Ini jelas inkonstitusional, yang tidak menaungi hak seluruh warga negara. Oleh karena itu perlu secepatnya diubah."

Yogyakarta (ANTARA News) - Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (Sigap) Yogyakarta menilai kebijakan persyaratan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri yang terindikasi membatasi siswa berkebutuhan khusus berpotensi melanggar hak asasi manusia.

Direktur Sigap Joni Yulianto di Yogyakarta, Rabu, mengatakan pembatasan terhadap siswa berkebutuhan khusus terlihat pada persyaratan di website resmi yang dikelola Panitia Pelaksana SNMPTN 2014 dan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia.

"Persyaratan itu jelas diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia," kata Joni Yulianto.

Dalam peraturan resmi itu disebutkan bahwa seorang calon peserta SNMPTN 2014 disyaratkan tidak tuna netra, tidak tuna rungu, tidak tuna wicara, tidak tuna daksa, tidak buta warna keseluruhan, dan tidak buta warna keseluruhan mapun sebagian.

Menurut dia, Bagi anak berkebutuhan khusus, persyaratan SNMPTN 2014 tersebut dapat menutup harapan mereka untuk menjadi peserta.

"Hak mereka untuk mengembangkan minat, bakat dan kecerdasannya di perguruan tinggi negeri tertutup," katanya.

Pembatasan pendidikan terhadap difabel tersebut, menurut dia, juga inkonstitusional. Menurut dia Pasal 12 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan.

"Ini jelas inkonstitusional, yang tidak menaungi hak seluruh warga negara. Oleh karena itu perlu secepatnya diubah," kata dia.

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY, Kadarmanta Baskara Aji sependapat bahwa anak berkebutuhan khusus tidak dapat dihalangi untuk melanjutkan ke perguruan tinggi negeri.

Meski demikian, ia mengakui bahwa tidak setiap fakultas atau jurusan di Perguruan Tinggi dapat dimasuki oleh anak berkebutuhan khusus.

"Bukan dalam artian diskriminatif, tapi memang justru ada jurusan-jurusan tertentu yang justru menyulitkan bahkan membahayakan bagi anak berkebutuhan khusus. Seperti jurusan farmasi, kimia itu justru membahayakan bagi tuna netra," kata dia.

Siswa berkebutuhan khusus menurut dia tetap harus melanjutkan studinya di perguruan tinggi meskipun memilih selain jurusan eksakta.

"Mereka tetap bisa melanjutkan, misalnya di jurusan sastra, hukum, dan lainnya. Itu justru melindungi mereka serta tidak mempersulit mereka untuk lulus," kata dia. (*)

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014