Tidak seperti pesakitan korupsi lainnya, pria yang bernama lengkap Ida Bagus Putu Sutika itu sama sekali tidak didampingi pengacara. Bahkan, tak satu pun anggota keluarganya turut mengantar Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Lembu Rarud itu.
Dengan lugunya, pria yang sehari-hari menggembalakan sapi itu tidak tahu bahwa setiap terdakwa kasus korupsi berhak didampingi penasihat hukum.
"Mohon maaf yang mulia majelis hakim, saya tidak memiliki penasihat hukum karena tidak mampu bayar," tuturnya menjawab pertanyaan Gunawan Tribudiono selaku ketua majelis hakim yang menyidangkan perkara itu.
Menanggapi hal itu, majelis hakim memberi waktu kepada Aji Rarud untuk mencari pengacara. "Setiap persidangan di Pengadilan Tipikor, setiap terdakwa harus didampingi oleh penasihat hukum. Cari dulu, kalau tidak mampu pengadilan yang akan menyediakannya," kata Gunawan.
Sidang pun ditunda. Namun di luar persidangan, Aji Rarud masih sempat berkelakar. "Dulu saya mengandangkan sapi, tapi sekarang malah dikandangkan oleh sapi," ujar pria berusia 60 tahun itu sekan tanpa beban.
Tentu saja sapi yang dimaksud dalam pernyataannya itu adalah dana bantuan Gapoktan Lembu Rarud untuk peternakan sapi di Desa Petanahan.
Ia diduga menilap uang Rp10 juta dari total dana hibah Pemprov Bali untuk pengembangan ternak sapi, pembibitan lele, dan budidaya palawija.
Berbeda dengan koleganya, Ida Bagus Dedi Mahendra. Bendahara Gapoktan Lembu Rarud yang dituduh menilap dana Rp65 juta dari Pemprov Bali itu selama di persidangan mendapat pendampingan dari penasihat hukum.
Keduanya dijerat dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman penjara minimal satu tahun dan denda paling rendah Rp50 juta.
Dugaan korupsi di Gapoktan Lembu Rarud itu terbongkar berkat hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Provinsi Bali.
Kemampuan Berbeda
Pakar hukum pidana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Jacob Elfinus Sahetapy berpendapat bahwa vonis atas kedua terdakwa berbeda dalam kasus yang sama harus berbeda.
"Hal tersebut kembali lagi pada individu masing-masing karena dalam membuat keputusan vonis dibutuhkan mental yang tangguh apalagi untuk kasus besar," kata Ketua Yayasan Petra Surabaya itu dalam seminar hukum di Sanur, Kota Denpasar, akhir pekan lalu.
Ia menilai bahwa dalam sebuah kasus korupsi pastinya harus mendapatkan hukuman yang setimpal sehingga diharapkan dapat memberikan efek jera.
"Saya tidak berani mengomentari hal tersebut terkait dengan sebuah kasus karena setiap jaksa maupun hakim memiliki pertimbangan sendiri, namun yang pasti kemampuan penegak hukum berbeda-beda," ujar pria kelahiran Maluku itu.
Ia melihat kasus yang dialami oleh Ida Bagus Putu Sutika dan Ida Bagus Dedi Mahendra adalah sebuah keniscayaaan bahwa penegakan hukum akan kembali kepada para pelaksananya di lapangan.
Di mata Sahetapy, maraknya kasus korupsi di negeri ini tak terlepas dari godaan materi sehingga siapa pun orangnya, baik dari kalangan elite maupun jelata, bisa melakukannya.
"Karena orang terpelajar belum tentu bisa bebas dari jeratan korupsi. Banyak pejabat bergelar S1 hingga S3 yang terjerat kasus. Namun berbeda jika seseorang sudah terbiasa dari kecil mendapatkan pendidikan kejujuran pasti perbuatan tersebut akan enggan untuk dilakukan," ujarnya.
Terkait dengan kultur masyarakat Bali, guru besar Fakultas Hukum Unair tersebut memandangnya sebagai salah satu instrumen yang seharusnya bisa mencegah seseorang melakukan korupsi.
"Agama saja belum tentu menjadikan seseorang bisa mengerti tentang kebiasaan dan adat. Di Bali hal tersebut lebur menjadi satu," ujarnya.
Sebagai tenaga pendidik, dia menekankan sikap jujur sejak dini sangat perlu ditanamkan untuk bisa membebaskan bangsa ini dari jeratan korupsi di masa depan.
Profesor berusia 81 tahun itu mencontohkan China sebagai kekuatan baru di Asia bahkan dunia karena keberhasilannya menekan korupsi.
Namun dia pesimistis hukuman berat sekalipun tidak akan memberikan efek jera bagi koruptor di Indonesia.
"Sejarah menunjukkan, tidak ada pengaruh jika hukuman mati diterapkan kepada koruptor, tindakan korupsi akan menurun. Saya pernah membuat desertasi tentang hukuman mati, di Inggris pencopet pernah dihukum mati, namun tindakan korupsi tidak menurun. Hal tersebut berhasil ketika dilakukan pendekatan dan perubahan kulturnya," katanya.
Oleh M. Irfan Ilmie dan Made Argawa
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014