Jakarta (ANTARA) - Waktu menunjukkan pukul 08.00 WIB, saat berada di bibir dermaga Markas Komando Lintas Laut Militer, Jakarta Utara, Sabtu.

Bukan sejuknya udara pagi yang dirasakan, justru panasnya cahaya Matahari, layaknya sudah berada di pukul 12.00 WIB.

Tepat di tepi dermaga, di atas rumput sintetis berbahan plastik, berbaris rapi pasukan marching band. Mereka berdiri tegak, walau tali brass dan bas dram tergantung ketat di pundak.

Satu sampai tiga lagu mereka putar berulang-ulang, seakan ingin menyambut seseorang, namun yang ditunggu tidak segara datang.

Selang beberapa lama, muncul sesosok kapal kecil dengan layar yang ramping dari kejauhan laut. Kehadirannya seakan menabrak gelombang fatamorgana yang goyangannya semakin menguat karena panasnya Matahari.

Selang beberapa lama, kapal yang dari jauh terlihat kecil, perlahan membesar, kala mendekati dermaga.

Laju kapal begitu lambat, anggun dan kokoh. Kesan gagah sangat terasa kala kapal kayu itu berjalan mendekati dermaga.

Ketika kapal tiba di dermaga, barulah tahu seberapa besar dan panjang kapal berwarna putih bercorak biru itu.

Dialah Kapal Republik Indonesia (KRI) Bima Suci, kapal kayu milik TNI AL yang ukurannya hampir dua kali lebih besar dari pendahulunya, sekaligus sang legenda, yakni KRI Dewaruci.

KRI Bima Suci merupakan kapal latih TNI AL yang mulai dioperasikan pada 2017, di era Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Proses perakitan kapal ini dilakukan oleh Contruccon Navales Freire Shipyard, Spanyol, selama dua tahun.

Kapal ini memiliki panjang 111,2 meter dan lebar mencapai 13,65 meter, dan panjang enam meter.

Jika melihat penampilan dari luar, kesan klasik, namun kokoh, tampak terasa ketika naik ke atas kapal latih untuk para taruna Akademi Angkatan Laut (AAL) itu. Hal itu terlihat dari mayoritas lantai kapal terbuat dari kayu dengan beberapa corak emas sebagai penghias interior.

Kemudi kapal yang ada di luar pun juga terbuat dari kayu dengan beberapa corak emas.

Selain itu, di tengah badan kapal berdiri tegak tiga tiang setinggi 50 meter dengan warna kuning keemas-emasan.

Tiga tiang itu menjadi roda utama kapal saat mengarungi lautan lantaran di tiang itulah terbentang 26 layar utama.

Masing-masing tiang itu memiliki nama, yakni "Tanggap", "Tangguh", dan terakhir "Trengginas".

Tiga tiang itu dibalut oleh lilitan tali tambat yang rapi, sehingga menambah kesan klasik dan anggun.

Karena ukurannya yang besar, tidak heran kalau kapal ini dapat menampung 210 orang, termasuk kru dan kadet atau taruna.

Kapal yang baru berumur 7 tahun ini juga memiliki fasilitas yang tidak dimiliki oleh KRI Dewaruci, yakni ruang aula untuk belajar yang bisa menampung 90 orang.

Walau terkesan klasik, kapal ini juga dilengkapi dengan peralatan moderen, seperti kamera pengintai untuk melihat jalur, mesin, hingga alat komunikasi canggih yang bisa dipakai oleh internal awak.

Kembali lagi ke momen ketika kapal ini datang, semua awak TNI AL yang ada di dermaga menyambut ratusan kru yang ada di dalam dengan antusias.

Ternyata, ratusan kru yang disambut meriah oleh jajaran TNI AL di tepi dermaga itu adalah peserta ASEAN Plus Cadet Sail (APCS).


Ajang diplomasi

APCS sendiri adalah ajang pelatihan yang digelar TNI untuk taruna TNI AL dan seluruh taruna laut yang ada di negara-negara Asia dan beberapa dari benua Eropa serta Amerika.

Beberapa negara yang terlibat dalam kegiatan tersebut, di antaranya Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, Timor Leste, Australia, Chilie, China, India, Italia, Jepang, Korea Selatan, Belanda, dan Turki.

Komandan KRI Bima Suci Letkol Laut (P) Hastaria Dwi Prakoso menjelaskan tercatat ada 32 kadet dari negara sahabat yang ikut serta dalam kegiatan tersebut.

Mereka sudah berlayar dari Surabaya ke Jakarta dan direncanakan akan berakhir di Singapura pada 9 Agustus 2024.

Di kapal inilah mereka akan saling bersosialisasi, berinteraksi, hingga membangun keakraban yang hangat demi terciptanya hubungan bilateral yang baik antarnegara.

Jalinan hubungan baik itu akan terjadi dalam beberapa kegiatan yang telah dirancang oleh TNI AL, yakni dari mulai pelatihan navigasi bintang dan beberapa teknis lain soal tata cara menakhodai kapal.

Para kadet juga akan diberikan tanggung jawab untuk menakhodai kapal dengan cara manual demi melatih kemampuan navigasi. Manual dalam hal ini adalah hanya mengandalkan angin, layar dan faktor alam lainnya.

Kondisi-kondisi inilah yang akan memicu para kadet dari berbagai negara untuk bahu-membahu dan bekerja sama guna menjalankan tugas.

Tidak hanya itu, para kadet juga akan dihadapkan dengan beragam materi di kelas yang memicu terciptanya diskusi tentang kelautan.

Sejauh ini, para kadet dari berbagai negara sudah larut dalam suasana akrab. Meskipun demikian, tidak dipungkiri adanya kendala gegar budaya yang sempat menjadi penghambat di masa awal kegiatan. Diperlukan beberapa proses adaptasi, dari mulai bahasa hingga dari segi makanan yang disajikan.

Tentu ang saja komunikasi menjadi kendala, mengingat banyak dari para kadet negara tetangga sebenarnya tidak berbahasa Inggris secara lancar.

Meskipun demikian, keterbatasan itu justru dianggap sebagai sarana perekat hubungan karena dipaksa harus saling mengerti satu sama lain.

Beberapa kadet pun juga harus diperingatkan agar soal betapa pedasnya "sambal". Lidah para kadet negara asing itu memang tidak akrab dengan rasa pedas dari sambal yang di Indonesia sudah menjadi kebiasaan sehari-hari.

Hal yang terpenting dari semua ini adalah bagaimana hubungan antara kadet tingkat internasional ini bisa terjalin dengan baik.

Dengan terjalinnya tersebut hubungan sejak masih berstatus siswa taruna, diharapkan hubungan itu bisa menguat hingga mereka menjadi petinggi di matra angkatan laut masing-masing negara.

Karena yang terpenting dari kegiatan itu adalah para taruna TNI AL dapat membangun jaringan tingkat internasional.

Jaringan lintas negara inilah yang akan memudahkan Indonesia membina hubungan baik dengan negara sahabat.

Dengan hubungan yang terbina dengan baik sedari muda, niscaya kerja sama militer hingga dukungan politik dari negara sahabat akan dengan mudah didapatkan.

Gubernur Akademi Angkatan Laut (AAL) Laksamana Muda (Laksda) TNI Supardi menegaskan bahwa begitu lulus dari pendidikan dan menjadi perwira, mereka sudah memiliki jaringan dan budaya kerja sama dalam mewujudkan kekuatan maritim di tingkat global.

Dengan demikian, maka KRI Bima Suci kelak menjadi saksi lahirnya kekuatan militer baru lintas benua di masa depan.

Karena itu, tidak salah jika pada KRI Bima Suci disematkan "status" sebagai kapal panggung diplomasi TNI tingkat tinggi. Lewat KRI Bima Suci, para calon perwira TNI matra laut itu sedang mengarahkan layar untuk membawa masa depan diplomasi militer Indonesia ke tingkat dunia.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024