Jakarta (ANTARA) - Sebuah film dokumenter di Amerika Serikat berhasil mengangkat isu baru di sektor pertanian. Film berjudul "Kiss the Ground" yang dirilis empat tahun lalu itu mengenalkan istilah pertanian regeneratif di kalangan orang awam, selebritis, politikus, hingga para ahli yang terlibat dalam isu perubahan iklim.

Istilah pertanian regeneratif sebetulnya padanan dari istilah-istilah yang telah populer sebelumnya, seperti pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture), pertanian ramah lingkungan (eco-friendly farming), pertanian organik (organic farming) pertanian konservasi (conservation agriculture), pertanian cerdas iklim (climate smart farming), pertanian agroekologi (agroecology farming).

Tentu, setiap istilah memiliki penekanan tertentu, tergantung konteks yang dihadapi dunia pertanian di setiap tempat.

Terminologi regeneratif memiliki makna regenerasi atau membangun kembali. Dengan demikian pertanian regeneratif bermakna pertanian yang prosesnya membangun kembali sumber daya pertanian, termasuk tanah, air, flora dan fauna, serta manusia.

Hal ini berarti bahwa pertanian konvensional tidak berhasil menjaga kelestarian tanah, air, biota yang berdampak buruk terhadap sosioekonomi manusia, baik sebagai produsen (petani) ataupun sebagai konsumen pangan.


Antitesis konvensional

Pertanian skala industri di negara Barat telah berhasil menggunakan mekanisasi untuk mencapai produksi pangan yang tinggi. Hanya saja, industrialisasi yang mengandalkan pupuk anorganik dan pestisida sintetis telah merusak sumber daya tanah.

Bahan organik berupa sisa tanaman telah terkuras habis dalam tanah. Struktur tanah hancur akibat pengolahan tanah yang terlalu sering.

Hal ini menyebabkan permukaan tanah menjadi resisten dengan air, air hujan tidak meresap ke dalam tanah, malah mencuci tanah permukaan dari lereng ke sungai. Tanah yang subur lama-kelamaan menjadi tandus.

Di Indonesia, walaupun pertanian pangan mayoritas dikembangkan oleh rakyat kecil dan belum berskala industri, tetapi pengelolaan pertanian dan tanah juga tidak berimbang, sehingga seiring waktu tanah menjadi kurang subur.

Serasah tanaman dan jerami dibakar, tanah dibiarkan telanjang tanpa penutup, sehingga rentan terjadi erosi.

Pengolahan tanah terus-menerus secara monokultur mengakibatkan hilangnya keragaman hayati. Alhasil, tanah yang kurang subur akan menghasilkan tanaman yang kurus dan rendah gizi.

Di Tanah Deli, Sumatera Utara, pada abad ke-19 dan 20, terkenal dengan perkebunan tembakau Deli. Para petani tembakau kolonial Belanda menemukan bahwa tanah yang baru dibuka dari hutan alami akan menghasilkan tembakau bermutu tinggi.

Namun setelah ditanami 2-3 tahun, tanah tersebut tidak lagi menghasilkan tembakau yang berkualitas.

Petani kolonial Belanda melihat petani Indonesia yang mengandalkan sistem pertanian berpindah. Lahan dibuka dan ditanami selama beberapa tahun, kemudian ditinggalkan dan pindah ke tempat lain, agar tanah yang telah ditanami sebelumnya dapat sembuh atau kembali subur.

Ketika itu lahan masih luas, sehingga pemerintah kolonial mendukung diterapkannya sistem pertanian berpindah itu.

Lahan yang telah ditanami tembakau satu kali dibiarkan kembali menjadi hutan selama 8 tahun, sebelum ditanam kembali. Para petani mengetahui bahwa tanah perlu istirahat untuk mengembalikan bahan organik dan keragaman hayati.

Tentunya sekarang di era moderen, Pemerintah Indonesia tidak dapat lagi mengandalkan sistem pertanian berpindah untuk membangunkan, memulihkan, dan menyehatkan tanah yang telah letih dan rusak.

Pertanian regeneratif menjadi salah satu opsi untuk memperbaiki tanah dan lingkungan untuk mencapai pertanian berkesinambungan.


Beragam versi

Banyak pendapat mengenai apa yang disebut pertanian regeneratif. Petani Amerika Gabe Brown, dalam bukunya "From Dirt to Soil" (Dari Debu menjadi Tanah), menganjurkan enam prinsip sistem pertanian yang dapat digolongkan pertanian regeratif.

Pertama, pertanian regeneratif selalu melihat konteks lahan. Setiap lahan pertanian memiliki masalah dan kapasitas yang berbeda, sehingga tidak ada satu macam sistem pertanian yang bisa diterapkan di semua lahan.

Kedua, pertanian regeneratif berprinsip mengurangi gangguan terhadap tanah, termasuk gangguan fisik (mengurangi pengolahan tanah), kimia (mengurangi penggunaan pupuk kimia dan pestisida), dan biologi (meningkatkan keragaman hayati).

Ketiga, pertanian regeneratif berupaya selalu menutup permukaan tanah, sehingga tanah harus selalu ditutupi oleh tanaman dan/atau serasah tanaman.

Keempat, pertanian regeneratf berupaya meningkatkan keragaman hayati, sehingga menghindari tanaman monokultur karena keanekaragaman tanaman yang tinggi di lahan pertanian dapat memperkaya tanah dengan berbagai keragaman hayati, termasuk flora dan fauna.

Kelima, pertanian regeneratif memberi ruang pada akar untuk hidup. Tanaman yang tumbuh di tanah akan menghasilkan akar yang membantu melancarkan siklus hara dan mengikat tanah, sehingga tidak mudah tererosi.

Keenam, berintegrasi dengan ternak. Pertanian yang mengintegrasikan tanaman dan ternak akan membantu siklus hara, di mana ternak bisa memakan hasil tanaman dan berkontribusi melalui kotorannya menjadi nutrisi tanaman.

Dengan demikian, tidak ada model baku pertanian regeneratif. Pertanian regeneratif bukan satu model yang dapat diterapkan di semua tempat. Tidak ada satu formula yang bisa diterapkan secara universal.

Sistem yang dikembangkan di Amerika Serikat diutamakan untuk lahan peternakan, belum tentu akan berhasil di Indonesia, sehingga perlu kita sesuaikan dengan kondisi lokal.

Di Indonesia, sistem pertanian tradisional, seperti subak di Bali, adalah sistem pertanian yang ramah lingkungan, sehingga dapat digolongkan sebagai pertanian regeneratif.

Bahkan, ada yang mengira pertanian regeneratif hanyalah mendaur ulang limbah pertanian sebagai bahan kompos.


Era digital

Empat tahun belakangan, selain pertanian regeneratif, populer juga istilah pertanian digital. Keduanya seperti beradu ruang untuk merebut perhatian publik.

Di era digital saat ini memang tengah dipromosikan pertanian 4.0 yang sederhananya adalah pertanian digital yang memanfaatkan teknologi dan mekanisasi.

Di sisi lain, pertanian regeneratif malah dianggap tidak mengandalkan teknologi. Hal ini karena pertanian regeneratif diartikan secara sempit.

Padahal, sudah seharusnya pertanian regeneratif tidak anti pada teknologi, apalagi teknologi digital, karena popularitas pertanian regeneratif juga berasal dari kemajuan teknologi digital berupa film dokumenter.

Peneliti di The University of Sydney, Australia, memberi definisi pertanian regeneratif sebagai "Segala sistem produksi tanaman dan/atau ternak yang menghargai keragaman alami dan kapasitas lingkungan, untuk meningkatkan kualitas produk dan ketersediaan sumber daya pertanian, seperti tanah, air, biota, dan energi terbarukan, serta manusia".

Definisi ini tidak mengacu pada satu sistem, melainkan segala sistem regeneratif yang berupaya membangun kembali sumber daya alam yang telah menipis dan meningkatkan fungsi ekosistem dengan mengembalikan siklus alami.

Dengan demikian, maka pertanian regeneratif bisa dipadukan dengan pertanian digital. Pertanian digital mengandalkan efisiensi produksi, sedangkan pertanian regeneratif memperhatikan lingkungan. Perpaduan kedua konsep tersebut melahirkan digital regenerative agriculture.

Digital regenerative agriculture memprioritaskan kinerja lingkungan pertanian untuk meningkatkan produktivitas pertanian.

Kedua konsep ini tidak terpisah, namun sejalan, dengan meningkatkan kerja sama antarpetani, sehingga produk pertanian yang dihasilkan dapat didukung secara digital.

Ini berarti konsumen bisa mengetahui bagaimana produk pangan yang mereka beli diproduksi secara ramah lingkungan.

Dengan perpaduan tersebut, bukan hanya ketahanan pangan dan lingkungan yang diperhatikan, namun kesejahteraan petani juga dapat ditingkatkan.

Demikian pula manusia yang menjadi konsumen tetap sehat karena konsumsi pangannya juga sehat. Pertanian regeneratif bertujuan ke arah itu.


*) Prof. Budiman Minasny adalah guru besar di Sydney University, Sydney, Australia.


 

Copyright © ANTARA 2024