Paris (ANTARA) - Meriahnya suasana di Porte de la Chapelle Arena pada Rabu (31/7) malam waktu setempat menjadi saksi momen inspiratif dalam cabang olahraga bulu tangkis Olimpiade. Loh Kean Yew, unggulan ke-10 asal Singapura, mengunci kemenangan lewat pukulan terarah ke garis baseline, sekaligus menyudahi perjalanan Uriel Francisco Canjura Artiga di pentas Olimpiade Paris.

Bagi pebulu tangkis asal El Salvador berusia 23 tahun tersebut, laga ini lebih dari sekadar pertandingan biasa, melainkan juga debut El Salvador dalam turnamen bulu tangkis Olimpiade.

"Ini pengalaman yang luar biasa. Saya tidak pernah membayangkan berada di tempat seperti ini, di arena yang sangat besar dengan semua pemain terbaik di dunia," ujar Canjura dengan antusias pascalaga.

Dari awal yang sederhana, bermain tanpa alas kaki di lapangan belakang rumah dengan garis lapangan yang terbuat dari abu putih, perjalanan Canjura hingga berlaga di pentas Olimpiade menjadi bukti atas ketangguhan dan tekadnya.
 
Kevin Cordon dari Guatemala melakukan selebrasi saat perempatfinal tunggal putra bulu tangkis melawan Heo Kwanghee dari Korea Selatan di Olimpiade Tokyo 2020 pada 31 Juli 2021. (ANTARA/Xinhua/Cao Can)


Pada usia 15 tahun, Canjura meninggalkan keluarganya untuk berlatih di San Salvador, sebuah kota yang sempat terkenal dengan maraknya kasus kekerasan. "(Kota) itu sangat berbahaya, Anda tidak dapat pergi dengan membawa ponsel atau uang. Untungnya, mereka tidak tahu nilai sebuah raket bulu tangkis," kenang Canjura, mengingat ironi tersebut sembari tertawa kecil.   

Demikian pula halnya dengan Anuoluwapo Juwon Opeyori, pebulu tangkis asal Nigeria yang tampil di dua edisi Olimpiade berturut-turut. Dia menjadi mercusuar asa bagi rekan-rekan senegaranya.

Sebagai olahraga yang awalnya dipopulerkan oleh ekspatriat Inggris di India, bulu tangkis kini didominasi oleh negara-negara Asia, seperti China dan Indonesia, dengan persaingan ketat dari negara-negara Eropa, seperti Denmark. Namun, gelombang baru atlet asal Afrika dan Amerika Latin mulai bermunculan. Mereka bertekad mengukir prestasi di panggung olahraga paling megah tersebut.

Salah satu pelopornya adalah Kevin Cordon, pebulu tangkis asal Guatemala yang berhasil mencapai babak semifinal di Olimpiade Tokyo sekaligus menorehkan tonggak sejarah baru bagi negara dan kawasannya. Kendati cedera memaksa Cordon mundur lebih awal di Olimpiade Paris, kisahnya terus menginspirasi para pebulu tangkis muda di seluruh Amerika Latin, termasuk Canjura.

"Dia adalah inspirasi kami. Mencapai babak semifinal di ajang Olimpiade tidaklah mudah. Dia berhasil melakukannya. Jadi, mengapa saya tidak bisa melakukan hal serupa?" tutur Canjura.
 
   
  Kevin Cordon dari Guatemala bertanding pada pertandingan perebutan medali perunggu tunggal putra melawan Anthony Sinisuka Ginting dari Indonesia di Olimpiade Tokyo 2020 pada 2 Agustus 2021. (ANTARA/Xinhua/Ou Dongqu)    

Berasal dari permukiman kumuh di Lagos, Opeyori ditemukan oleh pelatihnya saat bermain sepak bola. Meski minim fasilitas dan pelatihan yang layak dengan peralatan yang telah usang, dia berhasil menjadi juara Afrika sebanyak empat kali dan bertekad mematahkan kutukan bulu tangkis Afrika di Olimpiade, di mana belum pernah ada pebulu tangkis tunggal putra Afrika yang mencapai fase gugur.

"Kami biasanya berlatih menggunakan kok bekas, yang membatasi intensitas latihan," ungkap Opeyori, sembari menunjukkan berbagai tantangan yang dihadapi oleh para pebulu tangkis Afrika dalam mengakses peralatan berkualitas.

Opeyori, kapten tim bulu tangkis Nigeria di ajang Olimpiade, menghadapi lawan yang tangguh di Paris dan menyerah di fase grup di tangan Li Shifeng, unggulan keenam asal China. Meski mengalami kegagalan, Opeyori maupun Canjura tetap tidak gentar, mengakui peran mereka dalam mewakili dan menginspirasi negara mereka.

"Ini merupakan tanggung jawab yang besar bagi saya, tetapi saya melakukannya selangkah demi selangkah," tutur Canjura.

Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2024