Disertasi ahli radiologi, dr Yopi Simargi, Sp.Rad., Subsp. TR (K), MARS tentang riset CT Scan toraks mengantarkannya untuk meraih gelar doktor (S3) pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).
Melalui taklimat media yang diterima di Jakarta, Jumat, Dr Yopi Simargi mengambil disertasi berjudul "Peran CT Scan Toraks Kuantitatif, HIF-1α, dan Faktor Klinis Terhadap Kejadian Hendaya Kognitif pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik"
Staf pengajar Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, serta Kepala Instalasi Radiologi RS Atma Jaya, Jakarta itu menjelaskan bahwa penelitian ini menunjukkan pentingnya CT Scan Toraks Kuantitatif (CTK) sebagai pemeriksaan tambahan pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
"Karena prosedur ini, selain mampu mendeteksi lebih awal PPOK, juga dapat memperlihatkan risiko hendaya kognitif (HK) pada pasien PPOK," katanya.
Dengan demikian, menurut dia, tatalaksana holistik dapat dilakukan lebih awal, di mana hal ini akan membantu menurunkan risiko penyakit demensia (kepikunan) pada pasien PPOK, yang pada pasien dengan HK memiliki tiga kali lebih berisiko terkena demensia dalam 2-5 tahun.
Baca juga: Pendaftaran Pemilihan Rektor UI 2024–2029 diperpanjang
Baca juga: Pendaftaran Pemilihan Rektor UI 2024–2029 diperpanjang
Ia menjelaskan hipotesis awal dan yang umumnya diketahui, hipoksia kronik melalui peningkatan ekspresi gen HIF-1 alpha dianggap sebagai dasar yang paling sering disebutkan untuk menyebabkan pasien PPOK mengalami HK.
Namun salah satu temuan penting dari penelitian ini menunjukkan, inflamasi sistemik derajat rendah dapat menjadi faktor lain yang lebih dasar terbentuknya HK tersebut.
Hal ini terbukti pada penelitian ini dengan adanya hubungan secara langsung dan tidak langsung dari kerusakan paru yang terlihat pada CTK.
Ia mengharapkan ke depan, CTK dapat masuk dalam guideline sebagai pemeriksaan rutin bagi pasien PPOK.
Dia mengemukakan data WHO 2019 mencatat PPOK sebagai penyebab ketiga kematian (3,23 juta), dan diperkirakan kematian PPOK akan mencapai 5,4 juta pada 2060.
PPOK sangat umum terjadi, namun di Indonesia sendiri PPOK bisa dikatakan kurang terdeteksi dengan baik, terlihat dari data PPOK nasional yang masih tergolong minim.
Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan prevalensi PPOK di Indonesia berdasarkan wawancara pada masyarakat usia ≥ 30 tahun 3,7 persen, di mana tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (10 persen) dan terendah di Provinsi Lampung (1,4 persen).
Sedangkan Survei Epidemiology and Impact of COPD (EPIC) Asia mengungkapkan prevalensi PPOK di Indonesia mencapai 4,5 persen.
Ia menyatakan bahwa tanpa disadari, katanya, penyakit ini mampu menurunkan kualitas hidup pasien.
PPOK, kata dia, merupakan kondisi peradangan paru kronis yang menyebabkan terhambatnya aliran udara dari paru-paru. Pasien akan mengalami sesak napas yang kian memburuk, serta rentan infeksi sehingga menyebabkan serangan akut/eksaserbasi akut.
Baca juga: Guru Besar FK UI raih penghargaan obstetri internasional RANZCOG
Baca juga: UI tempati ranking pertama di Indonesia versi Webometric
Baca juga: UI tempati ranking pertama di Indonesia versi Webometric
Pewarta: Budhi Santoso
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2024