Direktur Eksekutif Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada, Hasrul Halili, mengatakan fenomena tersebut terjadi ketika adanya harapan yang tinggi di masyarakat termasuk di kalangan aktivis antikorupsi supaya ada penegakan hukum yang optimal terhadap para koruptor tetapi kenyataannya penegakan hukum berjalan lamban.
"Peribahasanya jauh panggang dari api. Nah fenomena deprivasi sosial ini juga menimpa aktivis antikorupsi," katanya.
Dalam novel karya R. Toto Sugiharto itu, dikisahkan seorang aktivis antikorupsi bernama Jiwo Utomo. Dalam perjalanannya, dia terlibat dalam gerakan antikorupsi bawah tanah yakni Oposisi Bulan Kembar yang sangat idealis. Sementara terdapat juga gerakan antikorupsi lainnya yakni Operasi Berantas Koruptor yang menggunakan cara-cara kekerasan terhadap tersangka dan terpidana korupsi.
Karena ketidakpuasan terhadap perjuangan melawan korupsi, Jiwo kemudian mengalami proses radikalisasi. Klimaksnya, dia melakukan penganiayaan berat yang berujung tewasnya seorang terpidana korupsi.
Hasrul mengatakan novel tersebut juga merupakan otokritik terhadap para aktivis antikorupsi untuk mewaspadai aksi pencucian uang yang dilakukan para koruptor dengan memanfaatkan para pejuang antikorupsi.
"Juga mengkritik para aktivis antikorupsi ketika berada pada pilihan yang dilematis. Contohnya ketika Jiwo jadi bagian dari Oposisi Bulan Kembar, rekeningnya sering ditransfer sejumlah uang dengan nominal besar. Harusnya Jiwo berhati-hati jangan sampai terlibat dalam money laundering," katanya.
Pihaknya berharap novel tersebut bisa menyuarakan aspirasi agar tindak pidana korupsi harus diberantas secara optimal dan para aktivis antikorupsi diminta untuk berhati-hati dalam perjuangannya melawan korupsi. (A064)
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014