Jakarta (ANTARA News) - Reformasi yang diagendakan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk memberikan porsi lebih besar kepada negara berkembang, utamanya China, Korea Selatan, Turki dan Meksiko, tidak akan banyak berguna karena tidak menyentuh masalah dasar dalam mengubah karakter "kolonialisme" yang dijalankannya. Koordinator Koalisi Anti Utang (KAU) Kusfiardi di Jakarta, Jumat, mengatakan, reformasi IMF itu tetap saja meneguhkan sistem one dolar one vote yang artinya suara negara tergantung nilai saham dananya yang disetorkan ke badan internasional keuangan itu, bukannya one country one vote yang artinya setiap negara memiliki hak sama di dalam pengambilan keputusan. "Tetap saja AS pegang kendali di IMF (dengan ada atau tidaknya reformasi itu). AS dan sekutunya yang pegang kendali kemana IMF dijalankannya," katanya saat ditemui di sela seminar "Penjajahan Bentuk Baru dan Kejahatan Kemanusiaan Bank Dunia dan IMF" di Jakarta. Sebelumnya dewan direktur IMF telah menyepakati untuk mereformasi lembaga keuangan itu dengan memberikan porsi lebih besar kepada negara-negara berkembang, akibat terjadi pergeseran keseimbangan kekuatan dalam ekonomi global. Berdasarkan inisiatif itu, menurut Direktur Pelaksana IMF, Rodrigo Rato di Tokyo, negara China, Korea Selatan, Turki, dan Meksiko akan menikmati porsi suara yang lebih besar sebagai bagian dari program reformasi IMF dalam dua tahun ke depan. Tiga negara yang mendapat akses suara terbesar di IMF saat ini yaitu AS (17,08 persen), Jepang (6,13 persen) dan Jerman (5,99 persen). Sedangkan China yang terus berkembang maju perekonomiannya hanya porsi suaranya 2,94 persen (di bawah Italia dan Kanada), dan kemungkinan China akan meningkat menjadi 3,65 persen berdasarkan formula reformasi yang diusulkan Rato.Berdasarkan data IMF, Indonesia memiliki hak suara 0,97 persen dengan sebanyak 21.043 suara, sesuai dengan dana yang disetorkan 2.079,3 SDR (Special Drawing Right, unit hitung IMF). Kusfiardi juga mengatakan, IMF dan Bank Dunia sama saja menjadi pusat-pusat kapitalisme dunia dengan dalangnya AS untuk menciptakan kolonialisme dengan jenis utang luar negeri yang disalurkannya. "Untuk menciptakan kebutuhan utang, mereka mengajarkan kepada negara berkembang termasuk Indonesia yang melalui `mafia Barkeley` ini dengan cara menyusun anggaran defisit. Tentunya karena anggaran defisit, negara itu butuh utang, dan kembali arahan permintaan kreditnya dari Bank Dunia atau IMF," katanya. Menurut dia, dua jenis utang luar negeri yang menjadi produk pembiayaan IMF dan Bank Dunia itu yaitu pinjaman proyek dan pinjaman program, sama-sama menjadi alat penjerat negara penerima utang. Pinjaman proyek yang diberikan oleh kreditor dalam bentuk barang dan jasa menjadi alat bagi kreditor untuk memasarkan barang dan jasa dari negara-negara pemberi utang, katanya. Kemudian pinjaman program, yang bisa diterima dalam bentuk tunai, ditujukan dalam bentuk bantuan teknis untuk penyusunan undang-undang, peraturan dan kebijakan pemerintah. "Sudah jelas negara pemberi utang meminta ke negara penerima utang agar peraturan yang dibuat untuk memudahkan aliran barang dan jasa dari mereka. Termasuk melapangkan jalan perusahaan-perusahaan asing asal negara pemberi utang, untuk menguasai pangsa pasar nasional," katanya. Yang lebih memberatkan lagi selain pemerintah harus tunduk memenuhi persyaratan utang, pemerintah juga harus membayar biaya komitmen utang walau utang belum dicairkan. Sebaliknya efektivitas penyerapan dan penggunaan dana utang luar negeri bagi negara debitor tidak menjadi urusan negara kreditor. "Akibatnya negara debitor bukan saja harus membayar pokok utang dan bunga tetapi juga biaya komitmen utang, sehingga wajar saja utang luar negeri Indonesia ini menumpuk dan semakin membebani negara," katanya. Menurut data Bappenas 2006, utang negara sudah mencapai 130 miliar dolar AS, terdiri atas utang luar negeri 67,9 miliar dolar AS dan utang domestik Rp658 triliun. Setiap tahunnya pemerintah harus membayar cicilan utang luar negeri yang jatuh tempo Rp96 triliun, ditambah beban utang dalam negeri Rp60 triliun, sehingga setiap tahun Indonesia harus membayar utang Rp150 triliun hingga Rp170 triliun.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006