Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Pengamat hubungan internasional Universitas Jember Abubakar Eby Hara mengatakan bahwa pembunuhan terhadap pemimpin utama Hamas Ismail Haniyeh merupakan bukti bahwa Israel benar-benar antiperdamaian.

"Walaupun belum ada pengakuan dari Israel, banyak orang memastikan bahwa tentara Israel yang bertanggungjawab terhadap pembunuhan itu," katanya di Kabupaten Jember, Kamis.

Ismail Haniyeh terbunuh dalam serangan udara pada Rabu (31/7) di Teheran, Iran setelah menghadiri pelantikan Presiden baru Iran Masoud Pezeshkian.

"Haniyeh, seorang moderat dan bersedia untuk berunding, sejak lama adalah salah satu tokoh yang menjadi target pembunuhan Israel," ucap dosen FISIP Unej itu.

Laporan-laporan media yang makin terbuka, transparan dan kasat mata menunjukkan kekejaman Israel yang membunuh rakyat, terutama anak-anak dan perempuan tidak berdosa, bahkan anggota keluarga Haniyeh sendiri, termasuk tiga orang anak dan cucunya terbunuh akibat serangan Israel.

"Kematiannya menambah derita dan jumlah orang Palestina yang terbunuh kini mencapai 39.445 dan korban luka 91.073 sejak Israel melancarkan serangan militernya di Gaza 10 bulan lalu," katanya.

Ia menjelaskan bahwa pembunuhan terhadap pimpinan politik Hamas yang bersedia untuk berdialog, dapat dipahami dari kerangka bahwa Israel tidak ingin ada perdamaian dengan Palestina karena eksistensi Israel ada justru karena adanya Palestina yang dianggap terus mengancam.

"Pembunuhan Haniyeh dan pembantaian Israel selama ini semakin membuka mata, bahwa tidak ada satu pun yang dapat diterima dari alasan yang diberikan oleh Israel," tuturnya.

Eby Hara mengatakan bahwa pembantaian itu semakin membuka mata orang tentang kampanye kebohongan Israel yang selalu diulang-ulang seperti bahwa mereka berhak membela diri dan mereka sedang melawan terorisme.

"Justru pembantaian itu menjadikan orang semakin yakin siapa yang sebenarnya teroris dan siapa sebenarnya yang membantai dan melakukan genosida," ujarnya.

Guru besar Unej itu mengatakan bahwa pembunuhan Haniyeh memperkuat tesis bahwa Israel memang negara dibangun dengan membayangkan ancaman musuh terus menerus dan dengan mengonstruksi bangsa Palestina layak dimusnahkan.

"Dalam konteks demikian eksistensi dan identitas Israel berdiri pada pondasi yang sebenarnya sangat rapuh dan dibangun dari satu kebohongan ke kebohongan yang lain," katanya.

Dunia internasional termasuk media-media semakin tidak percaya pada propaganda Israel, bahkan kesadaran kemanusiaan seperti di AS sendiri semakin kuat dengan ditunjukkan pada protes-protes masyarakat dan mahasiswa terhadap Israel dan pengakuan pada negara Palestina terus bertambah.

Pewarta: Zumrotun Solichah
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2024