Jakarta (ANTARA) -
Wakil Ketua Umum PBNU Zulfa Mustofa memaparkan ulama Nusantara pada zaman dulu memiliki sejumlah keistimewaan, di antaranya kemampuan penguasaan kitab kuning dan kemampuan mengontekstualisasi Al Quran, hadits, maupun kitab-kitab yang muktabar.
 
"Jadi, tidak tekstualis ulama dulu itu. Nah, Kemampuan ini sesungguhnya menjadi tradisi yang mahal kalau sekarang masih ada," ujar Kiai Zulfa dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
 
Pernyataan tersebut disampaikan Zulfa Mustofa dalam Pembukaan Seminar “Sistem Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail” di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis.
 
Zulfa mengatakan bahwa di kalangan kiai dan santri yang tidak tersedia pelajaran analisa sosial (at-tachlil al-ijtima'i), terkadang menjadi tekstualis, hanya merujuk sesuai apa yang tertulis dalam kitab.

Baca juga: Ketum PBNU bersungkawa atas kematian petinggi Hamas Ismail Haniyeh

Baca juga: Kemerdekaan dan "framing" sejarah NU di era digital
 
"Kalau model santri kita semacam ini, dia tidak mengikuti perkembangan zaman. Apa yang ada di kitab yang itu terjadi 300, 500, 700 tahun yang lalu, kemudian tidak dikontekstualisasikan, ya, jadi begini. Repot memahami hukum," kata Kiai Zulfa.
 
Ia mencontohkan Syekh Nawawi Al-Bantani, yang mampu mengontekstualisasikan apa yang ada dalam kitab-kitab klasik.
 
"Yang diikuti ulama dulu itu manhaj (metode berfikir)-nya, bukan aqwal (pendapat-pendapat)-nya semata. Sebab aqwal harus bisa berubah, tapi kalau manhaj kan tidak," kata dia.
 
Kiai Zulfa menyebut dalam Kitab Nihayatuz Zein, Syekh Nawawi Al-Bantani mengikuti pendapat gurunya Imam Al-Bajuri dalam hukum membagikan zakat, apakah wajib rata kepada delapan ashnaf? Menurut Syekh Nawawi, tidak harus. Tiga ashnaf sudah cukup.
 
Padahal, kata Zulfa, dulu Imam Syafi'i mewajibkan zakat dibagikan rata kepada delapan ashnaf.
 
"Kenapa Syekh Nawawi berani mengatakan cukup tiga. Karena kata Syekh Nawawi, Syekh Al-Bajuri, begitu juga Imam Ibnu 'Ujail al-Yamani, kondisi sudah berbeda, kondisi zaman sudah berbeda. Dulu mencari ashnaf tsamaniyah mudah, sekarang sulit," kata dia.
 
Sementara itu, Rektor UIN Sunan Kalijaga, Al-Makin, mengaku bangga institusinya menjadi tempat berkumpul para pengurus NU dan kiai serta nyai dari berbagai pesantren.
 
Ia bercerita ketika Saudi masih dalam naungan Turki Usmani, para ulama Indonesia sudah berperan di kancah internasional dengan menjadi imam dan guru seperti Syekh Nawawi al-Bantani. Hal itu menjadi inspirasi dan teladan bagi generasi sekarang.
 
Al-Makin mengajak peserta untuk ikut berkontribusi aktif di tengah masyarakat. "Sebagai motor penggerak peradaban Indonesia, Nahdlatul Ulama sangat wajar untuk mengambil peran dalam berkontribusi untuk mendamaikan bangsa ini," ujarnya.
 
Senada dengan Rektor UIN, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Yogyakarta, Ahmad Bahiej, menyampaikan kolaborasi tiga institusi dalam membahas pengambilan hukum Islam menjadi hal yang sangat penting, mengingat banyaknya persoalan di tengah masyarakat.*

Baca juga: Wapres: PBNU dan PKB seharusnya tidak berkonflik

Baca juga: Anggota Pansus Haji: Permasalahan haji tak ada kaitannya dengan NU

Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2024