Hitungan di atas kertas, masing-masing anggota KUPS Agroforesty Danau Raya telah memiliki tabungan sekitar Rp3--Rp3,5 miliar per orang
Padang (ANTARA) -
Jorong Aia Abu, Nagari V Koto, Kecamatan Bonjol, Kabupaten Pasaman Barat, akhir Juli ini tengah musim durian. Sepeda motor dengan modifikasi keranjang besar di bagian belakang, setiap saat melintas membawa raja buah itu ke tempat pengepul.

Pada musim durian seperti itu, sebagian warga Jorong Aia Abu beralih profesi menjadi pengumpul buah. Penghasilannya lumayan untuk menutup kebutuhan sehari-hari. Apalagi, jumlah pohon durian di daerah itu cukup banyak.

Durian bonjo, begitu orang biasa menyebut. Memang bukan jenis terkenal seperti musang king. Akan tetapi orang Pasaman maupun Sumatera Barat sudah kenal dengan rasanya yang istimewa. Legit, nikmat. Durian itu sebagian juga dibawa ke Pekanbaru, Riau, dan Medan.

Nagari V Koto memang mendapatkan anugerah tanah yang subur untuk pertanian. Meski konturnya berbukit dan berlembah, segala yang ditanam tumbuh subur. Namun layaknya tanaman pertanian, hasilnya tidak bisa dipanen setiap hari, sementara biaya hidup terus mendesaknya.

Biaya anak pergi sekolah adalah pengeluaran yang tidak bisa ditunda. Setidaknya butuh Rp15 ribu setiap hari bagi anak SMP atau SMA untuk ongkos pergi-pulang sekolah dan belanja harian.

Jorong Aia Abu berada sekitar 2 kilometer dari jalan lintas Palupuah-Pasaman. Jika dihitung dari Ibu Kota Kabupaten, Lubuk Sikaping, waktu tempuhnya sekitar 1 jam perjalanan. Sekolah rata-rata berada di jalan lintas tersebut.

Oleha karena itu, untuk pergi sekolah, anak-anak biasanya menggunakan jasa ojek. Mau tidak mau, orang tua harus mencari pendapatan harian agar anak-anaknya bisa terus sekolah.

Ketika musim durian dan pemasukan lumayan besar, masyarakat tidak terlalu pusing. Namun bila musim panen berlalu, maka mereka harus kembali memutar otak untuk bisa mendapatkan penghasilan. Tidak ada duit, artinya anak tidak bisa berangkat ke sekolah.

Hal itulah yang memaksa mayoritas masyarakat di daerah itu akhirnya memilih pergi ke hutan, menebang pohon. Sebelum 2017, lebih dari 90 persen masyarakat pergi ke hutan menebang pohon jika butuh uang cepat.

Sekali masuk hutan biasanya berombongan hingga 30 orang. Pohon yang ditebang di dalam kawasan hutan itu sudah berupa kayu dan papan berbagai ukuran saat dibawa keluar rimba.

Rata-rata sekali pergi ke hutan, masing-masing anggota kelompok bisa mendapatkan Rp100 ribu. Cukup untuk membeli kebutuhan harian dan biaya anak pergi sekolah.

Tidak mengherankan. Sebelum 2017, Jorong Aia Abu pernah menjadi lima besar daerah rawan pembalakan atau illegal logging di Sumatera Barat sehingga mendapatkan perhatian serius Dinas Kehutanan.
 
Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) Nagari V Koto, Pasaman, Amalrudin menyebut Program Perhutanan Sosial dengan skema Hutan Desa/Nagari kemudian dipilih untuk membendung aksi pembalakan di daerah itu.

Hak Pengelolaan Hutan Nagari (HPHN) dikeluarkan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup pada 2018 seluas 380 hektare. Masyarakat nagari diizinkan mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan untuk menambah penghasilan secara legal.

Targetnya, menumbuhkan rasa memiliki di tengah masyarakat sehingga tergugah untuk ikut menjaga kelestarian hutan. Masyarakat yang semula melakukan penebangan pohon ilegal memiliki pilihan untuk menggarap lahan untuk usaha.

Namun, mengubah kebiasaan secara instan memang bukan persoalan mudah. Setelah mendapatkan HPHN, dibentuklah Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) sebagai wadah.
 
Sejurus kemudian, pengurus LPHN merumuskan AD/ART organisasi, membuat rencana pengelolaan, lalu membentuk kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) untuk menjalankan rencana itu.

Akan tetapi, karena tidak ada bimbingan, masyarakat bingung harus memulai dari mana. Mereka tidak tahu harus melakukan apa sehingga akhirnya jalan sendiri-sendiri dan tidak menghasilkan apa-apa.

Daerah perladangan di Jorong Aia Abu memang berada agak jauh dari permukiman masyarakat. Akibatnya sulit untuk mengawasi ladang secara terus menerus. Jika tidak diawasi, maka hama--terutama monyet--akan merusak tanaman.

Penguatan kelembagaan 
 
Pendampingan yang dilakukan oleh Word Resource Institute (WRI) Indonesia kemudian menjadi bantuan yang tidak diduga-duga. Melalui pendampingan itu masyarakat yang tergabung dalam LPHN V Koto belajar tentang dokumen rencana aksi tahunan, SOP, AD/ART kelompok, dan rencana pengelolaan hutan desa/nagari di tingkat kelompok perhutanan sosial.

Maka, mulailah terbentuk beberapa KUPS di bawah LPHN yang berkonsentrasi pada bidang usaha yang berbeda. KUPS yang pertama berdiri adalah KUPS Madu pada 2021 kemudian KUPS Agroforestry Danau Raya dan KUPS Induak Upiah pada 2022.

Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) Nagari V Koto, Pasaman, Amalrudin dipercaya menjadi Ketua KUPS Agroforestry Danau Raya. Anggota awalnya, 18 orang.

Sesuai dengan namanya Agroforestry Danau Raya, KUPS ini berkonsentrasi pada pengelolaan sumber daya yang memadukan kegiatan pengelolaan hutan atau jenis kayu-kayuan dengan penanaman tanaman semusim dan beberapa jenis tanaman pertanian.​​​​​​​

KUPS itu membagi kawasan perladangan mereka menjadi tiga kategori. Pertama untuk tanaman jangka pendek seperti cabai rawit, jahe, sayur-sayuran, dan lainnya. Kedua tanaman musiman seperti, durian, jengkol, alpukat, dan mangga. Dan terakhir untuk tanaman jangka panjang, antara lain, kayu manis, surian, mahoni, dan meranti.

Pembagian itu punya filosofi tersendiri. Tanaman jangka pendek seperti cabai rawit di tanam seluas 15 hektare, jahe juga seluas 15 hektare, demikian juga dengan sayur-sayuran seperti lobak ladang.​​​​​​​

Awalrudin menceritakan awal bercocok tanaman jangka pendek itu. Mereka dicemooh masyarakat. Maklum, selama ini semua upaya berladang selalu kandas diserang hama monyet.

Namun, dengan menerapkan sistem piket yang mengikutsertakan semua anggota dalam pengelolaan dan pengawasan, gangguan hama monyet bisa diatasi sehingga tanaman bisa menghasilkan.

Cabai rawit itu bisa dipanen sekali seminggu atau sekali 15 hari. Sekali panen menghasilkan 200--300 kilogram dengan harga rata-rata Rp35 ribu per kilogram. Demikian juga dengan jahe. Sekali panen jahe bisa mencapai 300 kilogram bahkan lebih dengan harga Rp 22 ribu per kilogram.

Hasil panen tanaman jangka pendek itu menjadi penghasilan yang bisa memenuhi kebutuhan harian masyarakat. Dengan demikian, mereka yang dulu harus masuk hutan untuk mendapatkan uang cepat, bisa mengandalkan tanaman jangka pendek itu.

Untuk tanaman musiman, telah ditanam di atas lahan seluas 25 hektare dalam Program Rehabilitas Hutan dan Lahan (RHL). Bibit yang ditanam di antaranya manggis, durian, alpukat, kayu manis, dan petai. Masing-masing 2.500 batang, kecuali petai sebabyak 1.000 batang.

Dalam beberapa tahun ke depan, tanaman musiman tersebut juga akan memberikan hasil yang bisa meningkatkan pendapatan masyarakat Jorong Aia Abu.

Yang paling menarik adalah untuk tanaman jangka panjang seperti kayu manis, surian, mahoni, dan meranti. Tanaman itu adalah tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Saat ini seluruh anggota KUPS Agroforesty Danau Raya yang telah tumbuh menjadi 30 orang anggota, rata-rata memiliki ladang yang ditanami 3.000 batang kayu manis. Umurnya sudah 2 tahun.

Bagi anggota KUPS, ladang berisi kayu manis itu disebut sebagai tabungan masa depan. Tabungan yang akan diambil untuk kebutuhan mendesak seperti biaya kuliah anak, biaya kenduri saat anak-anak mereka telah menemukan jodoh, atau kebutuhan mendesak lainnya.

Nilai tabungan itu sungguh fantastis. Satu batang kayu manis jika telah berumur 10 tahun, setidaknya bernilai Rp1--1,5 juta per pohon, sementara satu orang anggota memiliki minimal 3.000 batang kayu manis.

Hitungan di atas kertas, masing-masing anggota KUPS Agroforesty Danau Raya telah memiliki tabungan sekitar Rp3--Rp3,5 miliar per orang. Tidak banyak orang di Indonesia yang memiliki tabungan sebanyak itu. Sebagian orang malah tidak pernah bermimpi untuk melihat uang sebanyak itu.

Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Barat, Yozarwardi menyebut pengelolaan kawasan hutan di Jorong Aia Abu, Nagari V Koto, Pasaman merupakan salah satu potret keberhasilan Program Perhutanan Sosial di Sumbar.

Pada 2017 sebelum adanya perhutanan sosial, 90 persen masyarakat daerah itu pergi ke hutan untuk menebang kayu. Namun setelah adanya program itu pada 2018, berangsur-angsur masyarakat yang menebang kayu di hutan semakin berkurang bahkan kini bisa dikatakan tidak ada lagi.

Seiring dengan meningkatnya pendapatan masyarakat sekitar hutan lewat Program Perhutanan Sosial melalui skema Hutan Nagari itu, pada 2024, Jorong Aia Abu telah bebas dari praktik pembalakan. Hutan-hutan yang menjadi sumber air bagi daerah sekitar terus terjaga dan lestari.

Editor: Achmad Zaenal M

 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024