Paris (ANTARA) - Di tengah tepuk tangan yang meriah di South Paris Arena, atlet veteran dari cabang olahraga (cabor) tenis meja, Ni Xia Lian (61), melambaikan tangannya ke arah penonton dengan air mata haru membasahi matanya, seakan-akan dia baru saja meraih medali emas Olimpiade.

Padahal, atlet Luksemburg ini baru saja kalah terhormat di babak 32 besar nomor tunggal putri Olimpiade Paris di tangan petenis meja nomor satu dunia asal China, Sun Yingsha. Kekalahan tersebut menutup petualangannya yang luar biasa di ibu kota Prancis itu.

Namun, kehadiran Ni di ajang bergengsi itu, yang merupakan kali keenam dirinya tampil dalam Olimpiade, dan statusnya sebagai atlet tenis meja tertua dalam ajang tersebut, menjadi inspirasi yang kuat bagi rekan-rekannya dan para penggemar di seluruh dunia.

Setelah Sun Yingsha (23) meraih kemenangan telak dengan skor 4-0, Ni memberikan pelukan hangat kepada Sun, dengan wajah yang lebih gembira daripada sang lawan, seperti seorang senior berpengalaman yang menunjukkan kekagumannya pada seorang anak muda yang luar biasa.

"Bibi Ni merupakan sosok panutan bagi kami para petenis meja China yang lebih muda. Dia adalah perwujudan dari semangat atlet yang tangguh," ungkap Sun sebelum pertandingan mereka, memanggil atlet veteran kelahiran Shanghai itu dengan sebutan "Bibi Ni", yang menunjukkan rasa hormat dan ikatan erat di antara mereka. Memulai perjalanannya di cabor tenis meja pada usia tujuh tahun di China, Ni bergabung dengan tim nasional (timnas) China pada 1979 dan meraih dua medali emas di Kejuaraan Dunia 1983 di Tokyo. Kemudian, dia meninggalkan timnas pada 1986 untuk belajar di luar negeri dan akhirnya menetap di Luksemburg pada 1991. Ni bahkan menjadi pembawa bendera Luksemburg saat upacara pembukaan Olimpiade Paris.

Sehari sebelumnya, Sun, bersama rekan setimnya Wang Chuqin, berjaya dalam babak final nomor ganda campuran, mengalahkan pasangan petenis meja Republik Rakyat Demokratik Korea (RRDK) yang begitu tangguh dan menyabet medali emas Olimpiade pertama China di nomor tersebut, yang menjadi sebuah penebusan atas kekalahan China di ajang Olimpiade Tokyo 2020.

Dengan teknik left-handed, long-pimpled yang unik, Ni memiliki kemiripan dengan petenis meja putri dari RRDK, Kim Kum Yong, secara aktif menjadi rekan berlatih bagi pasangan China tersebut, membantu mereka mempersiapkan diri untuk menghadapi gaya permainan yang tidak familier.

"Saya sangat beruntung memiliki kesempatan untuk memberikan sesuatu kepada tim China. Saya sangat senang bisa membantu. Saya mendoakan yang terbaik untuk mereka," ujar atlet veteran itu.

Memulai perjalanannya di cabor tenis meja pada usia tujuh tahun di China, Ni bergabung dengan tim nasional (timnas) China pada 1979 dan meraih dua medali emas di Kejuaraan Dunia 1983 di Tokyo. Kemudian, dia meninggalkan timnas pada 1986 untuk belajar di luar negeri dan akhirnya menetap di Luksemburg pada 1991. Ni bahkan menjadi pembawa bendera Luksemburg saat upacara pembukaan Olimpiade Paris. Sepanjang pertandingan, mata Ni berbinar-binar penuh semangat. Dia melompat-lompat di tengah rasa frustrasi karena kehilangan poin dan sering tersenyum, menunjukkan bahwa dirinya benar-benar menikmati setiap momen dengan penuh semangat.

"Saya datang ke Luksemburg, tetapi saya tidak pernah berpikir, 'Saya ingin berlaga di Olimpiade.' Itu pernah menjadi tujuan saya, tetapi saya tidak pernah berpikir saya bisa mencapainya," kenang Ni. "Luksemburg menginginkan saya sebagai pelatih, dan saya berusia 26 tahun kala itu.

Kemudian mereka menyadari bahwa saya bisa bermain, dan saya juga menyadari bahwa saya masih bisa bermain, jadi saya terus melanjutkannya dan setelah 10 tahun, saya menjadi sangat baik."

Ni melakukan debut di ajang Olimpiade pada Olimpiade Sydney 2000, saat Sun bahkan belum dilahirkan. Pertandingan mereka di Olimpiade Paris dijuluki oleh banyak penggemar China sebagai "duel nenek dan cucu."

"Sungguh kesempatan yang sangat langka. Dia adalah yang terbaik di dunia. Bertemu dan bertarung dengannya di Olimpiade adalah momen yang mengharukan. Saya merasa sangat terharu, sangat senang bahwa saya mendapatkan kesempatan untuk bermain dengan 'Shasha'," ujar Ni, menyebut Sun dengan nama panggilannya.

"Kita semua adalah pewaris semangat tenis meja China. Meski banyak (mantan pemain China) tersebar di seluruh dunia, hati kami selalu bersama," ujarnya.

Sepanjang pertandingan, mata Ni berbinar-binar penuh semangat. Dia melompat-lompat di tengah rasa frustrasi karena kehilangan poin dan sering tersenyum, menunjukkan bahwa dirinya benar-benar menikmati setiap momen dengan penuh semangat

"Ini merupakan semangat Olimpiade. Menang atau kalah bukanlah yang utama; yang terpenting adalah kecintaan yang penuh gairah pada olahraga," komentar seorang pengguna web asal China setelah menonton pertandingan mereka.

"Saya tahu saya bukan yang termuda, tetapi saya selalu mengatakan, 'Hari ini saya lebih muda dari besok.' Jika Anda memiliki tekad, usia tidak akan menjadi penghalang," katanya dalam sebuah wawancara.

Sebagai seorang pemimpi muda, Ni tetap optimistis tentang kemungkinan yang tak terbatas di masa depan ketika mempertimbangkan apakah Olimpiade Paris akan menandai penampilan terakhirnya sebelum pensiun. "Jika kami berhasil, itu bagus; jika tidak, setidaknya kami sudah mencoba," sebut Ni.

Setelah pertandingan yang berlangsung pada Rabu (31/7) itu, pelatih sekaligus suami Ni, Tommy Danielsson, membisikkan kata-kata penyemangat dan memberikan kecupan lembut kepadanya.

"Dia mengatakan kepada saya bahwa saya bermain dengan baik. Dia selalu menggunakan kesempatan ini untuk memberi saya kecupan," ujar Ni sambil tersipu malu, seperti seorang wanita muda yang sedang jatuh cinta.


Pewarta: Xinhua
Editor: Hanni Sofia
Copyright © ANTARA 2024