Jakarta (ANTARA) - Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional RS Marzoeki Mahdi Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf, Sp.KJ memaparkan bahwa ide mengakhiri hidup bisa terdeteksi pada remaja, menurut hasil studi.

"Ini adalah disertasi saya tahun 2019 yang mana datanya diambil pada akhir 2019, sebelum pandemi di Jakarta. Yang berisiko adalah 13,8 persen dari 910 remaja (125)," kata Nova dalam forum diskusi Denpasar 12 secara daring di Jakarta, Rabu.

Nova menjelaskan remaja adalah orang yang masih senang mengambil risiko dan merasa mampu melakukan segala-galanya. Pada usia remaja, kematian sepertinya masih jauh sehingga akhirnya banyak mengambil keputusan-keputusan yang ceroboh (reckless). Pemikiran mereka juga abstrak.

Baca juga: Pengalaman masa kecil yang positif kurangi risiko depresi remaja

Baca juga: Gejala depresi remaja bukan hanya perasaan sedih


Adapun ketahanan jiwa remaja, menurut dia, bergantung dari ada atau tidaknya perasaan kesepian, ketiadaan harapan, merasa menjadi beban, serta keinginan menjadi bagian dari sesuatu, ujarnya.

"Ketika itu ada terdeteksi, risikonya 5,39 kali lebih besar untuk mempunyai ide bunuh diri dibandingkan yang tidak," kata Nova.

Pada 2021, Nova mengulangi pengambilan sampel tersebut dengan menyasar mahasiswa-mahasiswi satu kampus di Kota Bogor sebanyak 2.181 sampel. Hasilnya terlihat ide bunuh diri terdeteksi pada 49,1 persen dari 2.181 atau sekitar 1.070 sampel.

Menurut Nova, Jawa Barat memiliki angka prevalensi depresi dua minggu terakhir pada penduduk umur 15 tahun ke atas tertinggi nasional sebesar 3,3 persen. Lebih dari dua kali lipatnya Jakarta (1,5 persen) berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023.

Baca juga: Remaja depresi lebih sensitif terhadap kritik orang tua

Baca juga: Media sosial pemicu depresi terbesar remaja

Baca juga: Remaja rentan mengalami depresi, ini faktor pemicunya

 

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2024