Tidak sejalan saja dengan politik, tidak sejiwa, dan yang ada hanya kepentingan."

Jakarta (ANTARA News) - "Silakan saja selidiki, kan sudah tidak ada masalah. Dulu, periode sebelumnya, Komnas HAM sudah ikut langsung ke Poso. Sudah dilakukan pengecekan. Mengapa masih ada lagi? Kalau, misalnya, masih kurang, ya silakan saja," kata Wakapolri, Komjen Badrodin Haiti.

Jenderal polisi berbintang tiga yang baru menduduki jabatan Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Wakapolri), Badrodin Haiti, mengemukakan komentarnya itu guna menjawab tuduhan komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Pasalnya, Ketua Tim Tindak Pidana Terorisme Komnas HAM Siane Indriani sempat mengatakan, Badrodin adalah salah seorang yang diduga berperan pada penyerangan terhadap terduga teroris di Poso pada 2007.

Namun, Badrodin menegaskan bahwa hal itu sudah diklarifikasi di Poso dengan Komnas HAM periode sebelumnya, yang menyebutkan 110 terduga teroris yang ditembak mati tanpa melalui proses hukum.

Menurut mantan Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah (Kapolda Sulteng) itu, jika masalah terorisme Poso dibiarkan, maka akan pecah seperti konflik di Filipina dan Thailand Selatan hingga terjadi penyanderaan terhadap tiga warga negara Indonesia (WNI) pada Juni 2005.

Selain itu, Badrodin juga diduga memiliki rekening bernilai besar (gendut) berdasarkan data Pusat pelaporan Transaksi Keuangan (PPATK).

Nama Badrodin muncul di antara enam jenderal yang dituding memiliki "rekening gendut", termasuk mantan Korlantas Polri Irjen Pol Djoko Susilo.

Ia disebut-sebut memiliki harta kekayaan Rp2 miliar dan 4.000 dolar AS per 24 maret 2008 lalu dan dituduh membeli polis asuransi dari PT Prudential Life Assurance Rp 1,1 miliar dengan dana dari pihak ketiga.

Namun, ia mengaku sudah mengklarifikasi ke PPATK dengan menyerahkan dokumen-dokumen yang terkait, artinya masalah itu dianggap sudah selesai.

"Kalau nggak clear, mana bisa jadi Wakapolri," tuturnya.

Di tengah hantaman tudingan yang dialamatkan kepadanya, Badrodin mengaku saat ini memfokuskan untuk membantu tugas Kapolri dalam menyusun rencana strategi (Renstra) 2015-2019, termasuk pengamanan pesta demokrasi terbesar tahun ini, pemilihan umum legislatif (Pileg) dan pemilihan umum presiden dan wakil presiden (Pilpres) 2014.

Pemilu 2014 diakuinya sebagai pemilu yang berat jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya pada 2009, selain karena anggaran pengamanan pemilu yang hanya dikabulkan Rp1 triliun dari Rp3,5 triliun, ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang naik dari 2,5 persen menjadi 3,5 persen juga mendorong percikan-percikan konflik dalam menduduki kursi di DPR dan pemerintahan.

Tidak adanya calon presiden petahana, karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menjabat dua periode (2004 sampai dengan 2009 dan 2009 hingga 2014), juga dinilainya sebagai salah satu pemicu konflik banyak pihak untuk "bertarung" menang dalam Pemilu 2014.

"Ini yang membuat persaingan semakin ketat, internal parpol dan caleg-calegnya juga bersaing. Jangan sampai ada benturan-benturan, terutama kerawanan-kerawanan yang ada di daerah," ujarnya.

Sebagai contoh, penyerangan terhadap Posko Pemenangan Pemilu milik Zubir HT, Calon Legislatif DPRK Aceh Utara dari Partai NasDem pada Minggu (16/2) sekitar pukul 04.20 WIB yang ditemukan pula tujuh selongsong peluru dan dugaan penganiayaan terhadap saksi.

"Oleh karena itu, pengamanannya harus dilakukan ekstra, diberikan penebalan-penebalan dan jangan sampai terjadi. Kalau sudah terjadi seperti ini, kita harus ungkap mau tidak mau karena akan merembet, mengganggu penyelenggaraan pemilu," katanya.

Dia juga berharap Pemilu 2014 dapat berjalan lancar, jujur, adil, aman, bermartabat, dan tidak ada intimidasi dari pihak mana pun sehingga masyarakat bisa menggunakan haknya untuk menentukan nasib Indonesia lima tahun ke depan.

Meskipun, karir di korps kepolisan hanya sekitar 2,5 tahun lagi, perjalanan hidup pria yang lancar berbahasa Madura itu bisa dibilang sudah lengkap karena telah mengabdi selama kurang lebih 36 tahun.

Polri menilainya pernah berperan mengembalikankan perdamaian di Poso saat berdinas menjadi Kaplda Sulteng, sehingga Badrodin dipromosikan ke Mabes Polri dengan jabatan Direktur I Keamanan Ketentraman Nasional (Kamtranas) Bareskrim periode 2008-2009.

Tidak lebih dari setahun, Badrodin ditunjuk untuk menggantikan posisi Irjen Polisi Nanan Sukarna sebagai Kapolda Sumatera Utara.

Ia langsung menangani unjuk rasa masyarakat yang berujung tewasnya Ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara. Saat itu pula, jumlah bintang di pundaknya bertambah satu menjadi berpangkat Inspektorat Jenderal (Irjen).

Tak lama kemudian, Badrodin kembali ke Mabes Polri untuk mengemban tugas sebagai Kepala Divisi Hukum (Kadivkum) Polri (2010), dan berlanjut ditugasi menjadi Kapolda Jawa Timur (2010-2013).

Dari Kapolda Jawa Timur, Badrodin dipercaya menjabat Staf Ahli Kapolri (2010), kemudian Koordinator Staf Ahli Kapolri (2010-2013) dan selanjutnya menjabat Asisten Operasi Kapolri (2011-2013).

Ia kemudian dilantik menjadi Kepala Badan Pemeliharaan dan Keamanan (2013-2014) menggantikan Komjen Pol Oegroseno. Lagi-lagi Badrodin menggantikan posisi Komjen Pol Oegroseno di posisi Wakapolri hingga sekarang.

Menurut Kapolri Jenderal Pol Sutarman, Badrodin dipilih karena merupakan calon terbaik di antara pesaingnya, yakni Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian Komjen Pol Komjen Pol Budi Gunawan dan Inspektur Pengawasan Umum Komjen Pol Anton Bachrul Alam.

Ayah dua putra itu mengaku tidak tertarik di dunia politik. dan ingin berkecimpung menjadi pekerja sosial ketika pensiun nanti, seperti di yayasan panti asuhan atau palang merah Indonesia (PMI).

"Tidak sejalan saja dengan politik, tidak sejiwa, dan yang ada hanya kepentingan," tuturnya.

Meskipun tidak gentar berhadapan dengan perampok, pembunuh dan teroris, suami dari Tejaningsih Haiti itu menyimpan ketakutan terbesar, yakni masa depan kedua putranya, Farouq Ashadi Haiti dan Fakhri Subhana Haiti.

"Saya takut anak-anak saya tidak berhasil. Tugas orang tua itu memandirikan anak, kalau orang tuanya berhasil tetapi mereka gagal percuma saja, tetapi kalau berhasil sudah selesai lah tugas kita," ujarnya.

Dalam 2,5 tahun yang tersisa di korps bhayangkara negara, Badrodin ingin meningkatkan kinerja kepolisian, sehingga bisa melihat citranya lebih baik lagi di tengah keluhan-keluhan miring dari masyarakat.

"Tidak ada yang bisa memperbaiki Polri, kecuali orang yang ada di dalamnya, dari pangkat tertinggi hingga terendah," demikian Badrodin Haiti. (*)

Oleh Juwita Trisna Rahayu
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2014