Jakarta (ANTARA) - Dua orang dosen dan satu orang mahasiswa mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) ke Mahkamah Konstitusi karena ingin menjaga kemandirian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Giri Ahmad Taufik dan Wicaksana Dramanda yang berprofesi sebagai dosen, serta Mario Angkawidjaja berprofesi sebagai mahasiswa sekaligus nasabah Bank Perkreditan Rakyat menguji konstitusionalitas norma Pasal 7 angka 57 dan 6 serta Pasal 276 angka 3, 13, dan 24 UU PPSK.

“Tujuan utama permohonan ini adalah menjaga kemandirian dan independensi LPS agar perlindungan jaminan simpanan masyarakat dapat dilakukan secara optimal, terutama ketika bank dicabut izin usahanya dan memasuki tahap likuidasi,” kata kuasa hukum para pemohon, Miko Ginting dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Rabu.

Dijelaskan Miko, para pemohon khawatir keberlakuan norma pada pasal-pasal yang diuji dapat menghilangkan independensi LPS karena adanya intervensi pihak lain yang secara tidak langsung mengendalikan keuangan LPS.

Menurut para pemohon, intervensi semacam itu bertentangan dengan praktik terbaik yang diakui dalam dunia perbankan, terutama bagi lembaga deposit insurance.

Mereka berpendapat, tindakan LPS dalam menjamin simpanan masyarakat di bank yang dilikuidasi seharusnya didasarkan pada pendekatan keahlian, bukan pertimbangan politik yang dapat menyebabkan keberpihakan pada pihak tertentu dibandingkan kepentingan masyarakat luas.

“Kita pernah mendapatkan pembelajaran berharga dari sebuah pendekatan yang tidak semata berbasis pada keahlian, yaitu pada era BLBI. Pengambilan keputusan yang tidak independen saat itu menjadi problem di kemudian hari. Hingga hari ini kita masih melihat banyaknya kewajiban obligor kepada negara yang belum terselesaikan,” kata Miko.

Lebih lanjut, Miko menjelaskan, salah satu yang disorot oleh kliennya adalah Pasal 7 angka 57 UU PPSK yang mewajibkan Ketua Dewan Komisioner LPS sebagai pimpinan lembaga independen untuk meminta persetujuan Menteri Keuangan, dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran tahunan untuk kegiatan operasional LPS.

Selain persoalan persetujuan Menteri Keuangan terhadap rencana kerja dan anggaran tahunan LPS, permohonan tersebut juga mempersoalkan kewenangan tambahan pada LPS berupa penempatan dana dalam proses penyehatan bank. Hal itu termaktub dalam Pasal 7 angka 6 UU PPSK yang berkesinambungan dengan Pasal 276 angka 3, 13, dan 24.

Miko menjelaskan bahwa adanya kewenangan tambahan pada LPS ini mengakibatkan ketidakjelasan mengenai kedudukan Bank Indonesia dan LPS terkait entitas mana yang difungsikan sebagai pemberi pinjaman terakhir.

"Penambahan kewenangan penempatan dana bagi LPS dengan persyaratan yang jauh lebih mudah dibandingkan Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek dari BI berpotensi mengakibatkan kemampuan finansial LPS menjadi lebih difokuskan untuk kepentingan tertentu dibandingkan untuk keperluan melakukan penjaminan dana nasabah masyarakat kecil secara luas, dan hal ini pada akhirnya akan merugikan masyarakat yang memiliki simpanan di bank,” tutur dia.

Atas dasar itu, para pemohon pada pokoknya memohon MK menyatakan Pasal 7 angka 57 dan 6 serta Pasal 276 angka 3, 13, dan 24 UU PPSK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Permohonan uji materi ini terdaftar dengan Nomor 85/PUU-XXII/2024. Sidang pemeriksaan pendahuluan dijadwalkan pada 1 Agustus 2024.
Baca juga: MK tolak uji materi soal batasan usia pelamar dalam lowongan kerja
Baca juga: Hakim MK cecar politisi yang uji materi Undang-Undang DKJ

 

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024