Jakarta (ANTARA) - Bahkan sebelum Joe Biden mengundurkan diri menjadi calon presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat pada 21 Juli, para pemilih Demokrat sudah pesimistis Biden bisa mengimbangi Donald Trump dalam pemilihan presiden November 2024.

Para pemilih independen yang tak berafiliasi kepada baik Demokrat maupun Republik bahkan sudah bosan dengan apa yang ditawarkan dalam Pilpres 2024 karena baik Biden maupun Trump tak menawarkan nilai lain yang lebih.

Namun tatkala Biden mengundurkan diri menyusul performa buruknya dalam debat capres 27 Juni 2024 yang membuat partainya sendiri mendesak dia untuk mundur, sebagian besar pemilih Demokrat dan para pemilih independen atau segmen pemilih suara mengambang, menjadi lega.

Mereka ini adalah pemilih muda, kulit berwarna, liberal, dan perempuan yang terancam oleh legislasi-legislasi tidak ramah hak perempuan, seperti hukum anti-aborsi.

Kini mereka merasa memiliki lagi opsi yang mampu melawan retorika-retorika dan agresivitas Trump di panggung debat serta ruang-ruang kampanye politik.

Kamala Harris yang berusia 59 tahun dan Donald Trump yang berusia 78 tahun, sungguh menawarkan kontras yang memudahkan pemilih dalam menentukan pilihan serta sekaligus membuat pemilu AS menjadi semenarik di masa-masa sebelumnya.

Kontras ini tidak ditemukan dalam rematch Trump vs Biden yang berusia 81 tahun. Keduanya sama-sama dari generasi lawas yang dianggap membosankan oleh bagian besar pemilih, khususnya anak muda, khususnya Gen-Z yang menjadi aktor utama dalam gejolak politik besar di AS menyusul aksi Israel di Palestina.

Sambutan positif dan optimisme baru dari segmen-segmen pemilih progresif itu membuat elektabilitas Harris meroket hingga melampaui Donald Trump.

Padahal Harris baru dinobatkan sebagai calon presiden AS dari Demokrat pada 1-5 Agustus atau dua pekan sebelum Konvensi Partai Demokrat pada 19-22 Agustus 2024 di Chicago, Illinois.

Kecenderungan elektabilitas Harris yang meningkat itu tergambar jelas dalam berbagai jajak pendapat, termasuk poling Reuters/Ipsos awal pekan ini yang menunjukkan Harris unggul tipis dari Trump.

Harris disebutkan mendapatkan dukungan dari 43 persen pemilih terdaftar, sedangkan Trump mendapatkan 42 persen.

Kecenderungan orang untuk memilih Harris juga membesar sejak Biden mengundurkan diri dari pencalonan presiden AS.

Memikat "swing states"

Namun yang paling mengejutkan adalah bertambah besarnya tingkat akseptabilitas publik kepada Harris di negara-negara bagian suara mengambang (swing states). Rupanya, Harris cenderung memikat para pemilih di negara bagian-negara bagian suara mengambang.

Jajak pendapat Bloomberg/Morning Consult yang dirilis Selasa pekan ini misalnya, menunjukkan Harris unggul 11 poin persen atas Trump di Michigan, 2 persen poin di Arizona dan Wisconsin.

Harris juga ketat menempel Trump di Pennsylvania dan North Carolina di mana Trump masih memimpin 2 sampai 4 poin persen. Sedangkan di Georgia keduanya imbang pada angka 47 persen.

Padahal, sewaktu Biden menjadi calon presiden, Demokrat terpuruk di negara-negara suara mengambang itu.

Tak seperti di Indonesia, presiden Amerika Serikat dipilih berdasarkan jatah suara negara bagian yang biasa disebut electoral vote.

Tiap negara bagian mendapatkan alokasi electoral vote berbeda-beda, tergantung jumlah penduduknya.

Misalnya, California yang berpenduduk terbanyak di AS memiliki jatah 54 electoral vote, sedangkan Alaska yang berpenduduk sedikit mempunyai 3 electoral vote.

Walau berselisih cuma 1 persen di suatu negara bagian, seorang calon presiden dinyatakan memenangkan seluruh jatah electoral vote di negara bagian itu, dalam kata lain memenangkan negara bagian itu.

Dalam beberapa pemilu terakhir, 44-45 negara bagian dari total 50 negara bagian di AS, konsisten memilih calon dari Republik atau Demokrat.

Jika satu negara bagian konsisten memilih calon dari Republik, maka negara bagian itu disebut "red state". Sebaliknya, jika konsisten memilih calon dari Demokrat disebut "blue state".

Di luar penamaan itu, masih ada istilah negara bagian suara mengambang atau "swing state" yang juga disebut "purple state." Negara bagian-negara bagian ini tidak terus-terusan memilih calon presiden dari Demokrat atau Republik.

Tapi di negara bagian suara mengambang inilah pertarungan politik sesungguhnya terjadi. Di sini pula siapa pemenang pemilihan presiden AS acap ditentukan.

Memegang momentum

Dalam pemilu 2024 negara-negara bagian yang masuk kategori swing state adalah Michigan, Arizona, Wisconsin, Pennsylvania, North Carolina, dan Georgia.

Ternyata, berdasarkan berbagai jajak pendapat, Harris terus menyaingi elektabilitas Trump di negara bagian-negara bagian suara mengambang, bahkan mulai melampauinya. Ini menyenangkan bagi Demokrat, tapi menggelisahkan bagi Republik.

Tapi itu juga melukiskan adanya lanskap suara yang tengah berubah, di mana dukungan kepada sang wakil presiden terus meningkat, termasuk dari segmen-segmen pemilih yang malah sulit dirayu oleh Joe Biden selama kampanye Pemilu 2024.

Segmen-segmen pemilih ini adalah kaum kulit hitam, Hispanik, pemilih muda yang seperti Harris sangat kritis dalam isu-isu kontemporer khususnya krisis kemanusiaan di Jalur Gaza, pemilih perempuan, dan kalangan independen.

Perkembangan ini juga melukiskan adanya energi politik Harris yang berhasil menyuntikkan antusiasme publik kepada proses pemilu. Harris juga membangkitkan antusiasme dan optimisme di kalangan pemilih yang pada Pemilu 2020 memilih Demokrat dan Biden.

Menurut jajak pendapat Financial Times pekan ini, 73 persen pemilih Biden pada Pemilu 2020 menyatakan akan mencoblos Harris.

Lain dari itu, masuknya Harris dalam arena Pilpres AS juga mengusik para pemilih Biden pada Pemilu 2020, yang sudah memutuskan golput. Sebelum Biden mundur dari pencalonan, ada 10 persen pemilih Demokrat yang menyatakan akan golput. Tapi kini, angkanya terpangkas menjadi hanya 3 persen.

Apakah ini indikasi Harris akan mengalahkan Trump, yang elektabilitasnya sempat meroket gara-gara percobaan pembunuhan kepada dirinya pada 13 Juli 2024?

Jawabannya masih jauh untuk dipastikan. Tapi jika Harris konsisten menunjukkan tren positif setelah resmi dinobatkan pada awal Agustus nanti, maka Harris mungkin telah meretas kemenangan yang membuka prospek historis sangat menarik mengenai hadirnya wanita pertama yang menjadi presiden di AS.

Tapi, apakah waktunya terlalu singkat bagi Harris yang hanya memiliki waktu 100 hari sejak diresmikan antara 1-5 Agustus sampai pemungutan suara digelar pada 5 November, untuk memenangkan pemilu ini?

Jika melihat apa yang terjadi pada Partai Buruh di Inggris dan koalisi kiri di Prancis yang menang besar di bawah persiapan pemilu yang bisa terbilang singkat, maka waktu 100 hari tak akan terlalu singkat untuk Kamala Harris untuk mengubah pendulum suara dalam Pemilu AS 2024.

Waktu mungkin tak berpihak kepada Harris, tapi momentum mungkin lebih dipegang Harris ketimbang Trump, apalagi jika dia tampil mengesankan dalam debat capres pertamanya pada 16 September. Sebaliknya, gagal dalam debat pertama bisa menyulitkan langkah-langkahnya untuk selanjutnya.

Baca juga: Trump akan berbicara dengan FBI tentang insiden percobaan pembunuhan
Baca juga: Biden: Keputusan mundur sebagai capres adalah demi persatuan bangsa

Copyright © ANTARA 2024