Jakarta (ANTARA) - Masyarakat Hukum Udara (MHU) meminta Mahkamah Agung mempercepat dikeluarkannya aturan hukum baru mengenai kasus sengketa penerbangan.

Hal itu disampaikan Ketua Masyarakat Hukum Udara, Anggia Rukmasari, dalam "Indonesia Workshop on the Cape Town Convention and its Aircraft Protocol" di Jakarta, Rabu.

"Semuanya atas dasar adanya implikasi atas ketidakseragaman interpretasi regulasi penerbangan di pengadilan berbagai wilayah Indonesia yang menimbulkan kekhawatiran bagi pelaku usaha penerbangan maupun masyarakat,” kata Anggia dalam keterangannya.

Baca juga: Penerbangan jalur selatan tunggu payung hukum

Sementara itu Andre Rahadian, Ketua MHU 2018-2022 yang juga Partner Dentons HPRP mengatakan, yang diperlukan dunia usaha adalah kepastian dan kejelasan dalam penerapan hukum yang berlaku dari lembaga peradilan di Indonesia.

"Agar tidak memberikan dampak negatif bagi para pemangku kepentingan, baik itu pemerintah, pelaku usaha, maupun masyarakat pengguna transportasi yang hak-haknya juga dilindungi undang-undang," kata Andre.

Baca juga: KPPU Hukum 9 Maskapai Bayar Denda Rp700 Miliar

Urgensi aturan hukum baru untuk menyelesaikan kasus sengketa penerbangan juga dilayangkan para praktisi penerbangan Indonesia setelah menganalisis sejumlah kontroversi yang muncul.

“Masih adanya disparitas antar-pengadilan di Indonesia dalam kasus sengketa penerbangan akibat tidak adanya aturan terperinci sebagai acuan,” tutur Sekjen MHU Hendra Ong.

Baca juga: Perangkat Hukum Jamin Keselamatan Penerbangan

Untuk itu, menurut Senior Associate Dentons HPRP Egaputra Novia bahwa diskusi ini merekomendasikan Mahkamah Agung mengeluarkan suatu peraturan atau edaran yang membahas secara terperinci.

"Dan MA harus memiliki wewenang memutuskan jika terjadi kekosongan hukum bila terjadi kasus sengketa penerbangan," katanya.

Baca juga: Taiwan blokir penerbangan China setelah sengketa rute

Sedangkan Dosen UNPAD dari Departemen Hukum Bisnis Transnasional, Prita Amalia, mengatakan hakim di seluruh Indonesia membutuhkan pemahaman yang sama mengenai jembatan antara implementasi Konvensi Cape Town dengan UU Penerbangan (UU No.1 Tahun 2009).

Didesak untuk bertindak cepat, Ifa Sudewi selaku Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Yogyakarta akan segera menyampaikan permasalahan ini ke Ketua Mahkamah Agung RI Muhammad Syarifuddin.

Menurut Ifa Sudewi, hakim sering ragu bila ada peraturan ganda dalam sebuah kasus kontroversi penerbangan. Cukup sulit menyatukan hukum nasional dengan Konvensi Cape Town. Artinya UU Penerbangan masih perlu diperdalam. "Kita bisa berbagi pengalaman, dan diskusi ini tidak sampai di sini. Bila memang diperlukan akan dibuat kebijakan baru," katanya..

Baca juga: Sengketa lahan Bandara Djalaluddin tidak ganggu jadwal penerbangan

"Yang jelas, kita perlu ada lompatan luar biasa dalam peraturan hukum kasus sengketa penerbangan. Mesti ada aturan yang cukup kuat untuk menjembatani Konvensi Cape Town dengan UU Penerbangan. Dibuatnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) setingkat UU bisa sebagai satu-satunya jalan. Namun itu harus ada uji publik, mengundang akademisi untuk menanggapi, tidak cukup setahun," ujar Ifa.

Adapun dalam "Indonesia Workshop on the Cape Town Convention and its Aircraft Protocol" yang digelar MHU dan Aviation Working Group ini berlangsung 30-31 Juli 2024 di Jakarta, juga dihadiri Jeffrey Wool selaku Sekjen Aviation Working Group (AWG) serta Paul Ng dari Rajah & Tann Singapore LLP.

Pewarta: Tasrief Tarmizi
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2024