Beijing (ANTARA) - Komposer sekaligus pakar musik Timur-Barat asal Inggris, Alec Roth, yang pernah menghasilkan dan menampilkan komposisi gamelan di Bloomsbury Theatre, London, setelah belajar di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), Surakarta menyebut sintesa dapat muncul dari pertemuan sistem musik yang berbeda.

Menggunakan analogi ilmu botani, Roth menyebut bila seseorang memindahkan satu tanaman dari iklim, tanah, dan tradisi tertentu ke iklim, tanah, dan tradisi lainnya, maka tanaman itu hanya akan bertahan hidup bila berakar kuat. Akar yang kuat itu terjadi bila si tanaman diberikan nutrisi di tanah yang baru.

Proses "pengakaran" gamelan di luar ekosistemnya di Indonesia, pun hanya terjadi bila gamelan itu dibawa keluar dan dirawat dengan benar oleh perawat yang telaten.

Salah satu "perawat" yang telaten tersebut adalah Risnandar (41 tahun), dosen di Central Conservatory of Music (CCOM atau Pusat Konservatorium Musik) Beijing.

Pria yang telah mengajar di CCOM sejak 2015 tersebut menilai gamelan punya potensi besar di China, secara khusus di Beijing. Masyarakat China hampir tidak ada yang mengenal gamelan, padahal gamelan punya kedekatan budaya dengan negara itu karena ada nilai-nilai kerja sama dan saling berkomunikasi, seperti juga yang terdapat dalam permainan gamelan.

Sebelum mengajar di CCOM, Risnandar sudah menjadi pengajar seni karawitan pada periode 2014-2019 di almamaternya, yaitu Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta atau sebelumnya ASKI Surakarta. Ia menamatkan sarjana dan master di bidang seni karawitan di kampus tersebut.

Pada 2012, ia pertama kali datang ke China untuk program singkat di beberapa sekolah musik di China, seperti di Shanghai maupun di Beijing. Karena CCOM membuka satu kelas gamelan secara "serius", ia pun memutuskan menjadi pengajar di sekolah tersebut.

"Dosen gamelan pertama di CCOM bukan saya, melainkan senior saya dari ISI Solo juga. Jadi pada 2014-2019 saya masih di dua tempat, ISI Solo dan CCOM, tapi akhirnya harus memilih, dan saya memilih mengajar penuh di CCOM karena potensi tadi," kata Risnandar kepada ANTARA di Beijing.


Proses pengakaran

Mengajarkan gamelan kepada orang yang belum pernah melihat dan mendengar lantunan gamelan sama sekali, seperti masyarakat China, bukan perkara mudah, apalagi ditambah dengan perbedaan bahasa.

Risnandar sendiri sejak 2015 sudah mempersiapkan diri dengan belajar bahasa Mandarin, sehingga telah lulus Ujian Standar Bahasa Mandarin (Hanyu Shuiping Kaoshi atau HSK) tingkat 5. Meskipun demikian, untuk dapat membuat silabus dan sistem pembelajaran gamelan yang ajek dan cocok untuk masyarakat China, ia butuh proses 3-4 tahun.

Ia juga tidak sendirian dalam membuat silabus tersebut. Risnandar dibantu dengan asisten dosen, yaitu Bijin Zhan (36 tahun), perempuan China yang jatuh cinta dengan musik Jawa, meski awalnya belajar musikologi Barat.

Dalam pembuatan silabus tersebut harus memadukan sudut pandang orang Indonesia dan China. Apalagi Risnandar dan Bijin ingin membuat program pembelajaran yang menunjukkan gamelan bukan hanya bagaimana bermain gamelan, melainkan juga nilai musik gamelan itu sendiri, kenapa harus mempelajari gamelan, bagaimana gamelan memberikan rasa rileks, prinsip komunikasi, hingga kebijaksanaan.

Kelas gamelan di CCOM sendiri digabungkan dengan kelas tari Indonesia yang pengajarnya adalah Titik Parmuji (41 tahun), istri Risnandar.

Kelas tersebut setiap semesternya dibagi menjadi tiga, yaitu kelas pemula untuk jenjang sarjana, kelas pemula untuk jenjang master dan doktoral, dan kelas senior untuk jenjang sarjana, master dan doktoral. Setiap kelas maksimal menerima 20 siswa dan selalu penuh pada semester ganjil.

Meski dapat berbahasa Mandarin, dalam mengajar di kelas Risnandar mengaku tetap membutuhkan bantuan Bijin untuk menerangkan kata-kata khusus dalam bahasa Jawa, seperti iromo (irama), laras (nada), slendro (sistem 5 nada), pelog (sistem 7 nada) dan istilah-istilah lainnya.

Selain tantangan bahasa, tantangan lain adalah keterbatasan pengajar dan waktu berlatih. Bila di ISI Surakarta, dalam satu kelas bisa ada empat orang pengajar untuk 20 mahasiswa, namun di CCOM, hanya ada satu pengajar dibantu satu asisten dan mahasiswa juga hanya dapat berlatih selama 90 menit dalam satu pekan, atau satu kali pertemuan.

Bijin bercerita, awalnya saat Risnandar pertama kali mengajar bermain gamelan, mahasiswa ke-20 bermain ponsel, dan begitu Risnandar selesai mengajarkan mahasiswa ke-20, mahasiswa pertama sudah lupa lagi caranya. Jadi kesulitan teknis dalam mengajar itu memang sangat nyata.

Apalagi mahasiswa diajarkan semua instrumen dalam perangkat gamelan, antara lain bonang, kendang, demung, saron, peking, slenthem, kenong, kempyang, kempul, gambang, gong, dan instrumen lain.

Terlebih gamelan tidak punya notasi khusus saat dimainkan. Berbeda bila bermain piano yang memiliki notasi tertulis. Para mahasiswa pun sempat meminta Risnandar untuk menuliskan notasi, sehingga mereka bisa mengikutinya.

Akhirnya Risnandar menuliskan notasi satu per satu, tapi hasilnya para mahasiswa itu bermain gamelan seperti layaknya robot. Karena itu, notasi tersebut akhirnya tidak digunakan lagi. Akhirnya ditemukan cara yang lebih tepat, yaitu dengan menuliskan melodi balungan (pokok), kemudian notasi itu bisa tertulis hanya saat latihan, bukan saat pentas. Jadi para mahasiswa itu tetap harus mendengar ritme teman-temannya yang menggunakan alat lain.

Setelah berbagai uji coba, akhirnya Risnandar dan Bijin menemukan formula pengajaran dan menolong para mahasiswa untuk memainkan gamelan seperti di Indonesia.

Setelah mendapatkan formula pengajaran tersebut, Risnandar saat ini sedang fokus untuk tidak hanya mengajarkan bagaimana cara bermain gamelan, tapi juga nilai-nilai yang ada dalam gamelan itu sendiri, yaitu bagaimana gamelan dapat membantu seseorang untuk merasakan relaksasi, mengekspresikan diri maupun filosofi lain dalam gamelan.

Apalagi nilai-nilai dalam gamelan, memiliki kesamaan dengan nilai-nilai di masyarakat China, seperti kerja sama, saling menghargai satu sama lain, dan berangkat dari kesamaan tersebut, ia berharap gamelan dapat lebih dikenal di negeri Tirai Bambu itu.

Risnandar juga menilai tingkat stres masyarakat China cukup tinggi dengan kompetisi yang ketat, dan musik yang dihasilkan dari gamelan dapat menolong untuk relaksasi maupun meditasi.

Dengan perkembangan teknologi dan pendidikan di China, mereka sudah ada satu program musik untuk relaksasi dan sebenarnya gamelan bisa masuk ke ranah tersebut, terlebih di relief Candi Borobudur sudah ditunjukkan nilai-nilai gamelan yang penuh spritualisme, relaksasi, kebijaksanaan, tinggal bagaimana menuangkannya menjadi pengajaran konkrit


Bijin sang asisten

Risnandar mengaku ia tidak akan dapat mengajarkan gamelan dengan baik di CCOM, tanpa bantuan Bijin Zhan, asistennya yang juga belajar gamelan dan tari tradisional Indonesia.

Bijin, perempuan yang memperoleh gelar sarjana dan master bidang etnomusikologi dari China Conservatory of Music, Beijing, itu mengaku pertama kali mengenal gamelan pada 2015 saat berkunjung ke ISI Surakarta.
Bijin Zhan, asisten dosen kelas gamelan di Central Conservatory of Music (CCOM) Beijing. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Saat itu, Bijin dibawa Risnandar ke pesta pernikahan orang Jawa dan ada gamelan. Bijin melihat, saat itu, pemain gamelannya tampak sangat santai, bisa sambil merokok, lalu ada yang makan pepaya, kemudian ada juga yang makan nasi dulu, lalu balik main lagi. Mereka bermain musik dan penuh santai. Kok bisa begitu ya? Demikian yang muncul dalam pikiran Bijin, kala itu.

Bijin yang lama bermain alat musik Barat, seperti piano, mengaku tidak pernah melihat hal itu sebelumnya. Meski menyukai piano, namun saat bermain ia mengaku merasa grogi dan "deg-degan".

Selain itu Bijin mengaku kagum karena gamelan sebagai musik tradisonal masih banyak dimainkan dan digunakan dalam keseharian masyarakat, khususnya di Jawa. Musik gamelan itu pun tumbuh karena inisiatif masyarakat, bukan karena perintah dari pemerintah.

Sehingga saat ia kembali ke Beijing, Bijin ingin mengenalkan gamelan ke masyarakat China lainnya.

"Saya orang China, tapi kenapa mau membagikan soal gamelan? Karena saya ingin agar orang lain tahu ada musik yang bisa dimainkan dengan santai, dinikmati, membangun hubungan dengan musik, lepas dari ketukan, notasi, tempo yang ketat dan tepat, seperti permainan alat musik yang selama ini diketahui orang China," kata Bijin.

Bijin kemudian mendalami hal mengenai lintas budaya, khususnya di bidang musik, sehingga ia dapat melihat gamelan sebagai seni tradisional Indonesia dan bagaimana juga perkembangan musik tradisional China dan didukung dengan latar belakangnya yang belajar musik Barat.

Kesimpulannya adalah semua musik berharga, dan musik dapat membuka pikiran kita karena lewat musik, kita, bahkan dapat berkomunikasi dengan orang yang tidak paham bahasa kita.

Saat CCOM membuka kelas "cross culture", termasuk kelas gamelan dan tari tradisional Indonesia, Bijin melihat hal itu menjadi jalan yang tepat bagaimana mempelajari budaya berbagai negara lewat musik karena ada juga kelas tabla dari India, musik tradisional Korea Selatan, Irak, dan negara-negara lainnya.

Setelah mengenal dan belajar gamelan sejak 2015, Bijin juga merasakan perbedaannya. Awalnya, Bijin merasa gamelan sangat rumit dengan ritme, notasi, istilah yang sama sekali berbeda dari alat musik yang ia pelajari.

Kemudian setelah makin mempelajari gamelan, ia malah merasa teknik dan aturan bermain gamelan tidak sulit, dan bahkan lebih longgar dibanding musik Barat.

Saat Bijin sudah "terikat" dengan gamelan, ia pun merasa bahwa gamelan itu punya nilai-nilai yang dalam, bahkan saat mengambil sikap bersila untuk bermain gamelan, sikap itu pun punya nilai sendiri.

Jadi, saat ini, setiap bermain gamelan, dia merasa ada hal baru yang dipelajari. Dia berpikir dalam 10, 20, 30 tahun bermain gamelan akan tetap ada hal baru yang dipelajari, seperti rasa rileks, menikmati, dan hal lainnya. Itulah kedalaman yang diperoleh Bijin dalam gamelan.

Bijin sendiri sedang mempersiapkan disertasinya yang ingin membedah struktur bangunan musikal gamelan untuk menjelaskan mengapa gamelan dipelajari banyak orang di dunia, meski teknik permainannya tidak sulit.

Di Beijing, telah nyata sintesa gamelan yang berakar itu telah berkarya. Kelak, akar dari sintesa gamelan itu bukan hanya berbuah suara musik, melainkan juga semakin mempererat hubungan antara Indonesia dengan China lewat jembatan budaya tradisional Jawa itu.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024