Jakarta (ANTARA) -
Nikah siri merupakan pernikahan yang dilakukan secara tidak resmi di hadapan negara, sering kali menjadi topik kontroversial dalam masyarakat Indonesia.

Secara istilah "nikah siri" berasal dari bahasa Arab "sirr," yang berarti rahasia. Dalam buku Aneka Masalah Perdata Islam di Indonesia karya Abdul Manan, dijelaskan bahwa kata "siri" berasal dari "sirran" dan "siriyyun," berarti rahasia atau tersembunyi.
 
Dalam pandangan Islam, nikah siri memiliki beberapa aspek penting yang perlu dipertimbangkan jika Anda ingin melakukannya.

Menurut hukum Islam, nikah siri dilaksanakan sesuai dengan syariat Islam, yaitu dengan adanya akad nikah yang sah dan disaksikan oleh para saksi-saksi.
 
Namun, pernikahan ini tidak dicatat secara resmi oleh instansi pemerintah, sehingga tidak memiliki akta nikah yang diakui oleh negara.

Status secara hukum

Dalam peraturan utama mengenai perkawinan diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dan diperbarui dengan UU Nomor 16 Tahun 2019. Perubahan tersebut menetapkan batas usia minimum pernikahan menjadi 19 tahun untuk kedua mempelai.

Pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa keabsahan perkawinan ditentukan berdasarkan kepercayaan masing-masing pihak, mengingat pernikahan melibatkan aspek-aspek dimensional. Namun, ayat 2 menegaskan bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi oleh negara.

Nikah siri dianggap menjadi masalah besar dalam hubungan keluarga yang sulit diselesaikan secara hukum negara.
 
Sebab, pasangan yang menjalani nikah siri tidak dapat membuktikan status pernikahan mereka secara hukum, yang bisa merugikan istri, terutama dalam kasus konflik harta warisan setelah suami meninggal atau saat menuntut nafkah dari suami.
 
Selain istri, anak yang lahir dari pernikahan siri juga dapat mengalami kerugian. Menurut undang-undang, anak hasil pernikahan siri dianggap sebagai anak di luar nikah.
 
Secara syariat, nikah siri memang dibenarkan. Namun, pernikahan seperti ini dapat menimbulkan kesulitan di masa depan.
 
Anak yang lahir dari pernikahan tersebut juga akan menghadapi kesulitan karena tidak tercatat dalam administrasi kependudukan.
 
Akibatnya, status hukum anak hanya terkait dengan ibunya, dan nama ayah tidak tercantum dalam akta kelahiran.
 
Secara bernegara dijelaskan bahwa pernikahan harus dilaksanakan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Meskipun nikah siri dianggap sah menurut norma agama, pernikahan tersebut tidak sah secara hukum karena tidak tercatat di KUA.
 
Oleh karena itu, disarankan agar setiap pernikahan dicatatkan di KUA dan tidak dilakukan secara siri. Nikah siri memiliki banyak dampak negatif bagi perempuan atau istri.
 
Jika terjadi perceraian, istri tidak dapat menuntut pembagian harta gono-gini. Selain itu, anak yang lahir dari pernikahan siri tidak memiliki hak warisan (status hukumnya tidak jelas).
 
Penting bagi pasangan yang berencana melaksanakan nikah siri untuk memahami sepenuhnya konsekuensi dan risiko yang mungkin timbul.
 
Berkonsultasi dengan ulama atau pakar hukum Islam serta mendaftarkan pernikahan di lembaga pemerintah merupakan langkah bijak untuk menjamin perlindungan hukum dan hak-hak yang adil.

Baca juga: Korban pernikahan sesama jenis di Cianjur dapat pendampingan

Baca juga: Ketua KPU Dompu kena sanksi karena nikah siri

Baca juga: Saksi: Gubernur Aceh pergi ke Turki bersama Stefy

Baca juga: Akademisi: Nikah siri ditulis di KK bentuk perlindungan warga negara
 
 

Pewarta: M. Hilal Eka Saputra Harahap
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2024