Jakarta (ANTARA News) - Perusahaan jasa TKI (PJTKI) melaporkan tindak pidana korupsi dalam proses seleksi perusahaan pelayanan asuransi tenaga kerja Indonesia (TKI) dan penerbitan serta pelaksanaan surat keputusan Menakertrans No.Kep-279/Men/VII/2006 dan SK No.Kep-280/Men/II/2006 ke Tim Tastipikor.
Ketua Bidang Hukum dan Organisasi Asosiasi Perusahaan Jasa TKI ke Asia Pasific (Ajaspac) Halomoan Hutapea di Jakarta, Kamis, melaporkan kasus tersebut pada 6 September 2006 dan menyampaikan tembusannya ke Presiden, Kepala Kejagung, dan Kapolri pada hari yang sama.
Halomoan meminta kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengganti Erman dari jabatan Menakertrans karena tidak menjalan amanat Presiden agar memberi kemudahan, proses yang murah dan cepat kepada TKI.
Sebaliknya, Depnakertrans memeras TKI agar membayar Rp400.000 dengan dalih asuransi perlindungan sementara pada sejumlah negara, seperti Singapura, Malaysia, Hong Kong, Taiwan, dan Korea Selatan para TKI sudah diasuransikan oleh majikannya.
"Itu artinya terjadi `double cover insurance` yang merugikan TKI, dan asosasi majikan akan menuntut agar TKI yang mereka pekerjakan tidak perlu diasuransikan lagi di negara tujuan penempatan," kata Halomoan.
Dia juga mempertanyakan dana perlindungan TKI sebesar 15 dolar AS per TKI yang dipungut sejak 20-an tahun atas nama pendapatan negara bukan pajak (PNBP), tetapi mengapa Depnakertrans masih mewajibkan TKI membayar dana perlindungan kepada perusahaan asuransi swasta.
Dijelaskann SK Menakertrans No.Kep-279/Men/VII/2006 bertanggal 21 Juli mengatur tentang pencabutan penunjukan lima lembaga asuransi perlindungan TKI, sedangkan SK No.Kep-280/Men/II/2006 tentang penetapan Konsorsium Asuransi TKI yang diketuai oleh PT Jasindo dengan anggota enam perusahaan asuransi dan penunjukan PT Grasia Media Utama sebagai pialang asuransi Konsorsium Asuransi TKI.
Halomoan menyatakan SK Menakertrans No.Kep-279/Men/VII/2006 dibuat tanpa mekanisme dan prosedur hukum yang transparan dan tidak wajar, karena tidak melalui pemeriksaan dan penelitian terhadap kinerja dan laporan yang telah disampaikan kelima lembaga perlindungan TKI informal yang sebelumnya ditunjuk Depnakertrans.
Alasan pencabutan kelima lembaga perlindungan TKI sebelumnya juga sangat sumir atau dicari-cari dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademisi maupun institusi pemerintahan.
Keputusan Menakertrans itu telah merugikan pihak-pihak terkait karena keputusan dibuat secara sepihak dan tidak melibatkan asosiasi PJTKI seperti yang dijanjikan Menakertrans pada 30 Juni 2006.(*)