Kesadaran sosial yang menyeluruh bahwa narkoba adalah musuh bersama, sedikitnya bisa mengarahkan pembasmian masalah narkoba yang lebih permanen di Kampung Boncos
Jakarta (ANTARA) - Tiga wartawan berjalan kaki menyusuri gang selebar sekitar 2 meter di Kampung Boncos, Palmerah, Jakarta Barat. Panas Matahari pada bulan Juli menerobos masuk lewat sela-sela atap rumah warga, menyertai setiap tetes keringat dan wajah kusam para pendulang berita itu.

Tepat di tikungan gang, tampak ibu-ibu duduk santai di depan sebuah warung. Beberapa dari mereka menggendong bayi, beberapa lagi asik bercerita layaknya ibu-ibu perumahan yang sedang menunggu suami mereka pulang kerja.

Seorang ibu berujar kepada para wartawan yang lewat, "ada polisi, Bang di sana."  Ibu ini seolah-olah tahu ke mana para wartawan itu pergi. Mendengar peringatan itu, para wartawan pun hanya tersenyum, menyapa ibu-ibu itu lalu melanjutkan langkah mereka menuju suatu tempat spesifik di Kampung Boncos.

Hari itu, tepatnya pada Rabu (17/7) siang, polisi menggerebek Kampung Boncos dan menemukan sebanyak 42 orang positif mengonsumsi narkotika dan mengamankan sekitar lima klip sabu dari sebuah lapak di tempat itu.

Ke-42 orang itu terbukti positif mengonsumsi narkotika jenis sabu usai mengikuti tes urine di sebuah lapangan terbuka di Kampung Boncos, tempat para pecandu melampiaskan nafsu mengonsumsi obat terlarang itu.

Adapun ketiga wartawan itu datang untuk meliput penggerebekan narkoba yang sudah bosan disaksikan oleh warga di sekitar lokasi. Tak ada ekspresi kaget atau bingung yang tampak dari wajah warga. Mereka tetap beraktivitas seperti biasa saat penggerebekan terjadi, seolah-olah itu peristiwa harian yang mereka saksikan.

Para ibu tetap duduk berkerumun sambil bercerita, para pemilik warung pun tetap membuka kios mereka, begitu pun dengan aktivitas warga lainnya. Bahkan para murid sekolah, mulai dari SD sampai dengan SMA, tampak tetap tertawa seperti yang anak-anak lain lakukan usai pulang sekolah.

Para siswa SD berseragam Pramuka begitu bersemangat ketika ditanya oleh para wartawan tentang cita-cita mereka. Ada yang mau jadi polisi, perawat, bahkan yang mengejutkan, ada yang mau jadi kartel narkoba! Rupanya ada anak yang terinspirasi dengan budaya narkoba Kampung Boncos.

Siapa yang dapat mencegah hal itu? Pemandangan para pecandu menggunakan narkoba serta informasi-informasi sensitif mengenai barang haram tersebut sudah tidak asing lagi bagi anak-anak di Kampung Boncos. Demikian sekilas potret sosial di Kampung Boncos, Palmerah.

Mari sedikit bergerak mundur ke bagian awal tulisan ini. Dari teguran ibu-ibu tadi, dapat tercium peringatan agar tidak menuju lapangan, lantaran di sana ada polisi yang telah mengamankan puluhan pecandu narkoba.

Dari teguran itu, dapat diketahui yang pertama bahwa ibu itu mengira bahwa ketiga wartawan yang lewat ingin bertransaksi atau mengonsumsi narkotika di lapangan Kampung Boncos. Kedua, ibu itu ingin melindungi para wartawan yang mereka kira sebagai pecandu atau pembeli narkoba dari tangkapan polisi.

Secara lebih luas, tampak warga Kampung Boncos membentuk semacam mekanisme pertahanan untuk melindungi para pecandu berikut jaringan narkotika yang terlibat di dalamnya dari aparat berwajib. Informasi yang diberikan oleh ibu itu--entah secara sadar atau spontan--menggambarkan bagaimana posisi sistem sosial sekitar terhadap masalah narkoba berlarut-larut yang ada di Kampung Boncos.

Fenomena ini seharusnya menjadi evaluasi mendasar pada pola penanganan masalah narkoba Kampung Boncos. Jika penggerebekan sudah dilakukan dan para pecandu serta pemasok narkotikanya terus diungkap dan ditangani kepolisian, namun masalah narkotika itu tetap bermunculan di Kampung Boncos, bukankah itu seharusnya menjadi pertanyaan yang perlu diajukan kepada semua pihak bertanggung jawab dan kepada masyarakat sendiri?

Secara lebih sederhana, jika penegakan hukum sudah dilaksanakan sebagaimana mestinya namun tidak membuahkan hasil berarti bagi pembasmian permanen masalah narkotika dari Kampung Boncos, sisi apa lagi yang perlu dievaluasi?


Sekilas kasus narkoba Kampung Boncos

Sebanyak 42 dari 46 orang yang dites urinenya dalam penggerebekan oleh Kepolisian di Kampung Boncos, Kota Bambu Selatan, Palmerah, Jakarta Barat, pada Rabu (17/7) siang, positif mengonsumsi narkoba jenis sabu. Hasil tersebut diketahui usai puluhan orang itu dites urine yang dilakukan oleh Satuan Reserse Narkoba (Satresnarkoba) Polres Metro Jakarta Barat.

Dari penggerebekan itu, polisi mengamankan barang bukti berupa lima buah paket kecil narkotika jenis sabu, satu "senjata api" yang aslinya korek api, dua buah senjata tajam, 10 pipet bekas pakai, dan sejumlah uang pecahan Rp5.000.

Adapun 42 orang yang positif mengonsumsi narkotika tersebut akan diperiksa lebih lanjut oleh pihak kepolisian. 

Kapolresta Metro Jakarta Barat Kombes Pol. M Syahduddi menambahkan bahwa awalnya penggerebekan Kampung Boncos dimulai penangkapan dua tersangka berinisial IS dan HS di salah satu tempat parkir hotel di Palmerah, Jakarta Barat.

Berdasarkan hasil interogasi yang dilakukan penyidik terhadap IS dan HS, sebanyak 2 kilogram dari barang bukti tersebut akan diedarkan ke Kampung Boncos, sedangkan 8 kilogram lainnya akan disimpan sebagai stok untuk pengedaran narkotika selama kurang lebih 1 bulan berikutnya.

Atas informasi tersebut kemudian jajaran Polres Metro Jakarta Barat dari Satresnarkoba, Polsek Palmerah, serta beberapa personel Polres Metro Jakarta Barat melakukan serangkaian kegiatan penindakan dan penertiban terhadap peredaran narkotika di kawasan Kampung Boncos.

Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) DKI Jakarta pada 21 Juli 2024 lalu menyatakan bahwa 26 wilayah di Jakarta masuk dalam kategori bahaya dan 107 wilayah berada di kategori waspada peredaran narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif berbahaya lainnya.


Solusi selain penggerebekan

Perkara di atas hanya satu dari sekian banyak kasus narkoba yang telah diungkap kepolisian setempat selama bertahun-tahun. Diketahui, lahan kosong yang digunakan oleh para pecandu untuk bertransaksi serta mengonsumsi narkotika itu ternyata milik salah satu perusahaan swasta besar di Indonesia.

Jumpa pers penggerebekan Kampung Boncos, Kota Bambu Selatan, Palmerah, Jakarta Barat, terkait kasus penyalahgunaan narkotika, Rabu (17/7/2024). ANTARA/Risky Syukur
  Berangkat dari situ, pembangunan, menurut kepolisian, dapat mengatasi secara permanen masalah narkotika di Kampung Boncos. Hal itu menyusul lapak-lapak narkoba di lahan kosong di Kampung Boncos dengan sendirinya akan hilang secara permanen jika dilakukan pembangunan di lahan kosong itu.

Pada Agustus 2023, mantan Kapolsek Palmerah Kompol Dodi Abdul Rohim menyebut bahwa perusahaan swasta pemilik lahan kosong Kampung Boncos telah berencana membangun gedung tinggi dan lapangan bulu tangkis internasional di tempat tersebut. Saat itu, pihak perusahaan mengalami kendala tertentu sehingga rencana pembangunan itu tak memiliki kejelasan.

Kemudian pada Juli 2024, Kapolres Metro Jakarta Barat Kombes Polisi M Syahduddi mengaku telah melakukan sejumlah koordinasi terkait kejelasan rencana pembangunan dari perusahaan itu, tetapi ternyata perusahaan bersangkutan belum berencana mengeksekusi pembangunan tersebut.

Kepolisian telah melakukan sejumlah pembatasan atau blokade di lapangan Kampung Boncos, tetapi tetap bisa diterobos oleh para pecandu. Hingga kini, kepolisian mengandalkan penindakan berkelanjutan untuk tetap menekan eskalasi narkoba di Kampung Boncos.

Selain itu, kepolisian juga rutin melakukan sosialisasi antinarkoba di sekolah-sekolah yang masuk zona merah peredaran narkoba, termasuk Kampung Boncos. Sosialisasi tersebut efektif untuk mencegah anak-anak dari pengaruh atau bahaya narkoba.

Kemudian dari segala rangkaian upaya kepolisian, muncul pertanyaan pada benak publik. Apakah masalah narkoba Kampuung Boncos dapat benar-benar teratasi secara permanen? Ataukah penindakan rutin hanya membuatnya mati sementara lalu tumbuh lagi? Atau lebih jauh, masalah narkoba serta pecandu dan jaringan yang terlibat di dalamnya hanya akan berpindah lokasi (crime displacement) dengan adanya penindakan rutin di Kampung Boncos?

  Membangun kesadaran sosial

Untuk menyelesaikan persoalan narkoba di Kampung Boncos ataupun zona merah peredaran narkoba lainnya di Jakarta dan Indonesia, butuh kesadaran mendalam dari sistem sosial atau masyarakat. Penegakan secara rutin yang dilakukan kepolisian tidak akan menyelesaikan apa-apa tanpa dukungan masyarakat.

Potret sosial di Kampung Boncos yang cenderung apatis dan bahkan secara tidak langsung mendukung eskalasi kasus narkoba di tempat tersebut mesti menjadi evaluasi bersama, dalam hal ini aparat kepolisian, pemerintah setempat, serta utamanya masyarakat.

Salah satu pertanyaannya adalah bagaimana jika penindakan rutin dari kepolisian hanya akan membuat kasus narkoba, baik pecandu maupun sindikat pengedarnya, berpindah dari Kampung Boncos ke sistem sosial atau masyarakat yang lain? Bukankah penindakan rutin hanya akan menjadi lingkaran setan tanpa akhir dan evaluasi?

Kriminolog Universitas Indonesia Josias Simon Runturambi menyebutnya dengan istilah crime displacement, yang artinya pemindahan kejahatan dari satu tempat, waktu, sasaran, pelanggaran, atau taktik ke yang lainnya sebagai dampak dari inisiatif pencegahan kejahatan.

Masalah narkoba berlarut-larut di Kampung Boncos, menurut dia, dapat saja menjadi tanda masyarakat sekitar sudah beradaptasi dengan budaya narkoba, beradaptasi dengan kelakuan para pecandu atau bentuk-bentuk transaksi narkoba yang terjadi di situ.

Lebih jauh lagi, aktivitas penyalahgunaan narkotika di Kampung Boncos, bisa saja dicurigai menguntungkan bagi warga setempat atau ada oknum warga yang terlibat jaringan untuk kepentingan ekonomi.

Hal itu terbukti dari diungkapnya sebuah lapak berjeruji besi tempat transaksi narkoba di Kampung Boncos. Di dalam lapak itu terdapat semacam pintu rahasia yang langsung terhubung dengan lahan kosong di baliknya. Orang yang tinggal di lapak itu mengaku bahwa pintu rahasia itu digunakan untuk kabur sewaktu-waktu operasi yang ia jalankan terungkap oleh kepolisian.

Lapak yang aneh itu pun terletak tidak jauh dari pos RW setempat yang menandakan rendahnya pengawasan warga setempat, termasuk unsur pemerintah berupa RW di tempat tersebut.

Menurut Josias, akibat masyarakat yang sudah beradaptasi dan mungkin saja mendapatkan keuntungan dari peredaran narkoba di lokasi tersebut, menjadikan penindakan polisi adalah sesuatu yang mengganggu bagi mereka.

Oleh karena itu, guna membangun kesadaran sosial, warga Kampung Boncos atau zona merah peredaran narkoba lainnya dinilai perlu diikutkan dalam program jangka panjang dan berkelanjutan, seperti kampung bersinar, kampung bebas narkoba, dan konsep-konsep lain dengan pengawasan total dan melekat.

Mengenai pengelolaan wilayah dalam rangka pemanusiaan manusia, Josias menyebut  pemerintah setempat lebih paham dan mengenal karakter wilayahnya. Dengan demikian dapat membuat program atau kebijakan yang mangkus.

“Jadi enggak sekadar rutinitas gitu, habiskan anggaran,” kata Josias.

Kesadaran sosial yang menyeluruh bahwa narkoba adalah musuh bersama, menurut dia, sedikitnya bisa mengarahkan pembasmian masalah narkoba yang lebih permanen di  Kampung Boncos.

Dengan adanya kesadaran sosial yang menyeluruh, crime displacement dalam kasus Kampung Boncos juga dapat dicegah. Hal tersebut karena ke sistem sosial mana pun sindikat narkoba itu beroperasi, masyarakat sekitar sudah punya kesadaran untuk melawan bahaya narkoba.

Editor: Achmad Zaenal M
 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024